Psychological bullying itu menorehkan luka yang dalam dan menjadi beban yang sangat berat bagi seseorang seperti Katarina yang tidak memiliki catatan buruk selama hidupnya. Seperti terjebak dalam gumpalan benang perasaan yang kusut dan menjeratnya di tengah-tengah, sampai pernah terpikir olehnya untuk mati. Gosip – entah apapun itu –seakan dicapkan dengan besi panas ke wajahnya agar semua orang dapat melihat.
Katarina tidak ingat lagi sudah berapa lama ia bersembunyi di kelas. Ditundukkan terus kepalanya dan dihadapkan wajahnya ke meja setiap kali bel istirahat berbunyi. Ia memilih berteman dengan pena dan kertas.
Aksi yang ditunjukkan Billy dan Linda di depan kelas – jika bukan di belakangnya – semakin berani, mereka saling melempar rayuan dan meneriakkan kata-kata kotor. Mereka memang cocok. Katarina tidak perlu melihat, ia dapat menilai dari suara dan sorakan di sekelilingnya.
Jika Billy mengira Katarina diam karena cemburu padanya, dia salah. Katarina sedang mengisolasi perasaannya memilih moda bertahan dari gosip buruk yang menerpa, untuk menyelamatkan serpihan rasa waras yang masih tersisa, demi bertahan hidup.
Hari itu, Katarina merasakan frustasinya memuncak, jika harus berada di dalam kelas lebih lama lagi ia akan benar-benar gila! Ia membayangkan orang-orang akan menatapnya dan bisik-bisik liar itu akan mulai lagi ketika mereka melihatnya bergerak, namun ia tetap memberanikan diri untuk keluar kelas.
Matanya terpicing ketika sinar matahari menyambut langkahnya keluar kelas, menyeberangi koridor menuju balkon. Di sepanjang koridor itu hanya beberapa siswa siswi yang sedang asik bercengkrama, mereka tidak terlalu memperhatikan Katarina. Lega.
Ia menatap pada lapangan volley yang terletak jauh di bawahnya, anak-anak kecil berkejaran dengan bahagia dan teriakannya menggema pada dinding kelas yang mengelilinginya, membuat Katarina tersenyum sendiri. Lihatlah, Kat, dunia tetap berputar apapun yang terjadi.
Kemudian senyumnya memudar, seandainya ia bisa kembali ke masa lalu, ia akan memperbaiki semuanya. Sungguh suatu ironi bahwa dalam semalam reputasinya yang putih menjadi begitu hitam.
"Kat!" Seruan Hadi menggema melintasi lapangan volley yang terbentang jauh di bawah mereka, membuat Katarina mendongak. Ketika pandangan mereka bertemu, lelaki itu menyeringai lebar dan segera berlari mengelilingi koridor untuk menghampirinya. Wajahnya yang cerah menyapanya, "Tumben baru keliatan, Kat?"
Oh, Tuhan ... ia sangat merindukan sahabatnya. Dadanya terasa perih mendengar suara Hadi lagi dari jarak dekat. Katarina menatap Hadi lama, lalu dengan wajah cemberut, ia menjawab ketus pertanyaan Hadi, "Lo tuh yang gak pernah cari gue, Di. Kemana aja lo?"
"Lo yang keasikan pacaran sampe lupa sama temen." Balas Hadi tajam, mereka beradu tatapan. Kemudian mata Hadi melembut, meminta maaf atas kata-katanya. "Sorry ...."
Hadi benar ... dialah yang bermasalah, bukan sahabatnya. Katarina mengalihkan kembali pandangannya jauh ke bawah. "Lo bener, Di ... gue yang salah. Sorry."
"Lo gak papa, Kat?" Katarina merasakan tatapan Hadi mempelajarinya.
"Emangnya gue kenapa?" Jawab Katarina datar.
Tinggi tubuh Hadi membuatnya harus memiringkan kepala mendekat untuk berbisik di telinga Katarina. "Kabarnya lo dah putus sama Billy ya?" Ia tidak menjawabnya, tentunya semua orang sudah tau ketika melihat Billy berkeliaran kemana-mana berdua dengan Linda. "Soalnya ada gosip dimana-mana tentang alasan dia mutusin lo."
Katarina menoleh cepat ke Hadi. "Dia mutusin gue? Gak salah tuh orang?! Gosipnya apa, Di?"
Kepalanya terasa berdenyut mencerna informasi dari Hadi. Katarina berusaha terdengar santai, namun buku-buku jarinya memutih mencengkram railing balkon. Kebohongan apa lagi yang sudah disebarkan Billy kemana-mana?
"Lo beneran gak tau?" Tanyanya lagi sambil melemparkan tatapan prihatin. Katarina menggeleng menjawab pertanyaannya. Hadi menarik nafas panjang, kemudian dipalingkan wajahnya menatap jauh ke langit biru sebelum menjawab, "Parah deh, Kat, pokoknya."
Antara ingin tau dan takut, Katarina mengulang lagi pertanyaannya, "Gosipnya apa, Di?" Ia mencengkram lengan seragam batik Hadi tanpa sadar.
Hadi menggenggam lembut kepalan Katarina pada lengan seragam batiknya. Tatapannya sekarang penuh rasa kasihan, "Mending lo gak usah tau, Kat."
Alih-alih melepaskan lengan baju Hadi, Katarina mencengkramnya lebih dalam dan memuntir kain batik dalam genggamannya. Pandangannya gelap oleh rasa marah, gerahamnya terkunci dengan suara gemeretuk dan matanya berkaca-kaca. Rasanya ia ingin mengoyak-ngoyak lelaki berandalan itu sekarang juga.