Kamis, 14 February 2019.
Menyetir dalam mobilnya yang nyaman dengan kondisi jalan raya yang terbilang lancar, pikiran Katarina melayang ke hari sebelumnya. Kemarin atasannya – secara aneh – memanggilnya menghadap ke ruangan dan minta Katarina untuk membatalkan semua jadwal meetingnya besok.
"Kat, besok aku mau kau bertemu calon bisnis partner baru kita. Kau tau PT. Suara Emas Sakti?" Tanya Tommy – atasannya – ketika mereka duduk berhadapan dalam ruang kantornya yang luas. Katarina dapat melihat pemandangan langit siang hari itu dari jendela tinggi di samping tempat duduknya. Harum pewangi ruangan yang keluar dari air purifier membuat tubuhnya rileks. Katarina mengalihkan pandangannya ke atasannya dan menggeleng.
"PT. SES adalah perusahaan developer raksasa yang tidak hanya terkenal di Indonesia namun sampai benua Amerika dan orang yang akan kau temui ini adalah pengambil keputusan penting perusahaan itu. Jujur saya sangat terkejut ketika Marcom mereka tiba-tiba menghubungi kantor dan minta dibuatkan janji pertemuan dengan-mu." Manik mata Katarina melebar dan alisnya bertautan ketika telunjuk Tommy mengarah lurus padanya.
"Denganku?"
"Iya, Katarina, hanya kamu seorang." Kata atasannya. Telunjuknya maju mundur menunjuknya lagi dari balik meja kerja berwarna Mahoni berpelitur yang terbentang lebar diantara mereka.
"Aneh sekali. Saya baru dua tahun disini sementara rekan lainnya sudah di atas lima tahun, ap - apa Bapak tidak salah?"
"Permintaannya begitu jelas seperti berkaca dalam cermin, mereka menyebutkan ingin bertemu dengan Ibu Katarina Wijaya, itu namamu kan?" Katarina mengangguk. "Sewaktu kutanyakan nama client yang akan kau temui nanti, Marcom PT. SES mengatakan bahwa informasi itu confidential, bahkan mereka tidak mau menyebutkan jenis kelaminnya. Dia pasti orang yang sangat penting ... atau jangan-jangan malah ownernya sendiri yang akan menemuimu."
Manik mata atasannya menerawang ketika ia menyelesaikan kata terakhirnya. Tommy sedang berangan-angan bahwa tanda tangan kesepakatan itu berhasil, tanpa sadar mengindahkan keberadaan Katarina yang masih terheran-heran mendengar informasi barusan. Namun sebagai seorang marketing komunikasi PT. Rajawali Bangun Perkasa (RBP) – perusahaan konstruksi dan infrastruktur terbesar di Indonesia – adalah tugasnya untuk mempresentasikan perusahaannya di depan setiap tamu, calon bisnis partner dan para pemegang saham. Tidak peduli bahkan apabila clientnya ini tidak berbentuk, ia tetap akan menemuinya.
"Dimana meetingnya, Pak?" Pertanyaan Katarina membuat lelaki paruh baya dalam balutan kemeja biru mudanya tertarik kembali ke dunia nyata dan mengejap-ngejapkan matanya.
"Amuz Gourmet Restaurant." Tommy menyeringai lebar melihat manik mata Katarina yang membulat. Dicondongkan tubuhnya agar suaranya terdengar lebih dramatis di wajah Katarina, "Kau bisa percaya itu, Kat?! Dia pasti sangat berkuasa hingga restoran termahal dan yang memiliki daftar tunggu panjang saja bisa didapatkannya. Jika saja dia tidak menyebut kau seorang, aku akan mendampingimu ke sana."
"Ah ... aku jadi tambah khawatir, Pak. Bagaimana jika aku tidak bisa mendapatkan tanda tangan itu." Katarina merasa ujung-ujung jarinya dingin.
"Usahakan yang terbaik, Kat. Dan demi Tuhan, banyak-banyaklah tersenyum atau tertawa. Wajahmu yang terlalu sendu, membuatku ingin menangis, kau tau? Aku percaya kau bisa. Orang itu pasti tidak sengaja memilih kau tanpa suatu alasan kan?" Ujar atasannya memberi semangat.
Kembali ke saat ini, dipandanginya Fossil Georgia yang melingkar di pergelangan kirinya – jam 16.13, sementara janji pertemuan mereka pada jam 19.00. Ia datang terlalu pagi, namun apa lagi yang harus ditunggunya? Setelah meeting pertama siang tadi selesai, Katarina segera menuju ke Energy Building SCBD, Jakarta Selatan. Ia mempertimbangkan area ini pasti akan sangat ramai pada jam pulang kantor sore nanti.
Sebenarnya kemarin dia telah memikirkan untuk mengganti pakaian yang lebih 'wah' demi acara makan malam di restoran termahal ini, namun akhirnya Katarina memilih tetap menggunakan setelan kemeja polyester berwarna maroon dan rok sepan. Ini lebih baik, pikirnya. Ia tidak mau bisnis partner ini – jika dia lelaki – berpikir bahwa Katarina termasuk dalam paket penjualan.
Setelah yakin VW Beetle kuning miliknya terkunci di lahan parkir basement, Katarina naik ke lantai dua melalui pintu lift dan berjalan ke ujung koridor dimana terletak pintu masuk yang besar dan megah. Nama Amuz Gourmet Restaurant yang berpendar putih, terpatri pada dinding sebelah kiri pintu masuk. Pintu itu terbuka ketika Katarina melangkah mendekat, seorang waiter dalam setelan jas resmi menyapanya sambil matanya mempelajari keseluruhan Katarina dari atas ke bawah, "Excuse moi, kami baru buka jam 18.00, Ma'am."
Katarina terkesan dengan waiter – yang walaupun adalah orang Indonesia – namun dapat berbahasa Perancis dengan luwes. Ia pun segera menjawab menggunakan pengetahuannya mengenai Bahasa Perancis dari film-film yang pernah di tontonnya, "Pardonne moi. Kalau begitu, saya terlalu pagi. Boleh saya cek reservasi atas PT. Suara Emas Sakti, apakah benar untuk malam ini?"
Waiter itu tersenyum sambil menaikkan alisnya, terkagum mendengar balasannya. Dengan satu gerakan mulus, ia berputar masuk ke counter kecilnya dan membuka lembaran reservasi. Katarina memperhatikan manik mata lelaki itu membesar. Sebentar kemudian, matanya menghadap lagi ke Katarina dan mempelajarinya lagi, kali ini dari bawah ke atas. "Ma'am, kalau tidak keberatan kami bisa menyediakan tempat dalam restoran ini untuk menunggu sambil kami berbenah. Bagaimana?"
Senyum Katarina mengembang, "Dengan senang hati." Waiter itu membungkuk sopan dan memimpin jalan menuju tempat menunggu yang dimaksudnya.
Dari lobby itu, mereka melewati koridor pendek menuju ke ruang utama restoran. Langkah Katarina melambat sebelum akhirnya berhenti, matanya terkesima melihat pemandangan di depannya. Ia seakan masuk ke mesin waktu yang menghempaskan raganya dalam ballroom kerajaan Louise XVII - Perancis, awal tahun 1900-an.