Loading...
Logo TinLit
Read Story - Ketika Kita Berdua
MENU
About Us  

"Tak ada yang seindah momen ketika kita berdua. Kalau Tuhan mengizinkan, aku hanya ingin mati di bibirmu."
-Raya Aurora-

Hari Sabtu pukul 12.30, Raya sedang menikmati sepiring nasi goreng sebagai sarapan sekaligus makan siangnya. Tangan kanannya memegang sendok, sementara tangan kirinya memegang sebuah novel filsafat. Dia begitu hanyut dalam dua makanannya, makanan untuk perut dan makanan untuk otak. Ketika tiba di suatu paragraf, Raya tersedak, lalu buru-buru mengambil air minum dan meneguknya sampai habis. Setelah itu, dia memilih menyingkirkan buku itu dan melanjutkan makan siangnya dengan tenang.

Selesai makan dan mencuci piring, Raya mengganti piyamanya dengan gaun merah maroon selutut dan merapikan rambutnya dengan mengikat sebagian. Dia ingin pergi ke minimarket di depan apartemen untuk membeli keperluannya. Namun, ketika pintu apartemen dibuka, sesosok laki-laki terhuyung ke hadapannya. Mengantarkan beban berat yang tidak bisa ditanggungnya, hingga keduanya terjatuh ke lantai dengan kepala Raya yang menindih lengan laki-laki itu.

"Dit, Radit! Radit!" Raya mencoba menyadarkan laki-laki yang tak berdaya di atas tubuhnya.

"Ay, gue sakit," keluh Radit. "Bukan cuma fisik gue yang sakit, tapi hati gue juga," sambungnya dengan mata yang terpejam. Radit tidak bergeser sejengkal pun dari Raya.

"Lo sakit? Badan lo panas banget," kata Raya sambil menyentuh kening dan pipi Radit. 

"Ini belum seberapa. Hati gue lebih parah."

"Bangun, Dit! Lo harusnya ke dokter, bukan ke sini. Ayo, kita ke dokter!" 

Raya bersusah payah melepaskan diri dari tubuh Radit. Dia harus bangkit agar bisa membawa laki-laki itu ke rumah sakit. Namun, melepaskan diri dari tubuh orang yang kehilangan kesadaran seperti melepaskan ingatan dari kenangan bersama sang mantan. Sulit sekali. Raya harus mengerahkan tenaga dan kesabarannya selama sepuluh menit, karena dia terus saja terjatuh ketika sudah nyaris bangkit sepenuhnya.

"Gue nggak butuh ke dokter, gue cuma butuh ketemu lo, Ay." Radit masih tidak sadarkan diri. Matanya masih terpejam.

"Jangan nyusahin deh, Dit! Lo harus ke dokter," hardik Raya, lalu mencoba menarik lengan Radit.

Radit tiba-tiba membuka mata, lalu bangkit dan mendorong Raya ke dinding. "Maaf, Ay, kalau gue nyusahin lo terus," ucapnya dengan tatapan sendu, lalu menunduk lemah.

Dengan tangan gemetar, Raya menyentuh pipi Radit. "Dit, lo kenapa? Lo sakit, lo harus ke dokter. Kenapa malah ke sini?"

"Gue kangen sama lo, Ay. Gue lebih milih mati di dekat lo daripada harus sembuh di rumah sakit."

"Ngomong apa sih, Dit?"

"Ay ... biarin gue di sini dulu. Biarin gue sama lo di sini. Nggak lama. Gue janji."

Raya menghelas napas, lalu melepaskan tangannya sekaligus mendorong Radit agar sedikit menjauh darinya. "Oke, kalau itu mau lo. Lo bisa tunggu di sini dulu. Gue mau ke minimarket nyari obat," kata Raya, lalu melangkah keluar.

"Ay!" cegah Radit.

"Nggak lama, Radit. Lagian, gue nggak punya apa-apa buat ngobatin lo."

Akhirnya, Radit membiarkan Raya pergi, sementara dirinya berjalan ke sofa dan membaringkan tubuh.

--

Sesuai janji, Raya kembali ke apartemen secapat kilat. Dia membeli Bye Bye Fever, obat demam, obat sakit kepala, susu, roti, bubur siap saji, dan buah-buahan. Namun, dia melupakan keperluannya sendiri. Cinta memang bisa membuat manusia melupakan kepentingan dirinya dan hanya mementingkan orang yang dicintainya.

"Radit! Radit!" Raya berlari ke arah Radit yang terbaring di lantai dekat sofa. "Lo kenapa?" tanyanya, panik.

Orang yang diteriaki kebingungan. "Kok gue ada di sini? Perasaan tadi gue di atas."

"Lo jatuh?" tanya Raya lagi, semakin panik. "Ini makan dulu rotinya," perintahnya kemudian sambil menyodorkan roti sobek.

"Nggak mau, gue nggak enak makan apa-apa dari kemarin," tolak Radit, lalu menyandarkan kepala pada sofa.

"Mau bubur? Gue seduh dulu." Raya bergegas bangkit sambil mengambil bubur siap saji dari plastik belanjaannya.

"Nggak usah, Ay."

"Dit, lo mau di sini dulu, 'kan?"

"Mau."

"Ya udah, lo diam. Turutin semua perintah gue biar lo cepet sembuh dan cepet keluar dari sini."

"Jahat banget, Ay."

Raya tidak menghiraukan protes Radit. Dia pergi ke dapur untuk menyeduh bubur yang dibelinya, setelah membantu Radit duduk di sofa. 

"Ini makan," perintah Raya setelah kembali ke sofa dengan membawa semangkuk bubur yang masih panas dan segelas air putih. Radit tidak membantah, dia menuruti perintah gadis itu, karena takut diusir. Setelah itu, Raya memberi Radit obat penurun demam dan menempelkan Bye Bye Fever di keningnya. "Sekarang lo istirahat."

"Di sini? Di sofa? Gue takut jatuh lagi, Ay."

"Terus mau di mana? Ya udah, di kamar tamu."

"Nah, gitu dong!"

"Lo sakit atau pura-pura sakit, sih? Kok masih jahil aja?"

"Gue sakit beneran, Ay. Lo kan lihat kondisi gue sekarang gimana."

"Ya udah, ayo jalan! Lo udah bisa jalan, 'kan?"

Radit mengangguk pelan, lalu bangkit dan mulai berjalan dengan kaki yang masih lunglai. Raya tak tega melihatnya, gadis itu menuntun Radit menuju kamar tamu, lalu membaringkannya di tempat tidur. Tak lupa, Raya pun menyelimuti laki-laki itu. "Gue di sini bentar ya, Ay. Nggak lama, kok," ujar Radit dengan mata yang sudah terpejam.

Raya menatap Radit dengan penuh kekhawatiran dan kerinduan. Dia merasa senang bisa bertemu lagi dengan Radit, tapi dia juga sedih melihat kondisi Radit seperti ini. Pasalnya, dia belum pernah melihat laki-laki itu sakit. 

Setelah menutup pintu kamar tamu, Raya mencari ponselnya yang berdering sejak tadi. Namun, ketika ponsel itu sudah berada di genggaman, nada deringnya mati lagi untuk kesekian kali. Dilihatnya riwayat panggilan, ternyata Dinda yang mencoba meneleponnya berkali-kali. Raya memicingkan mata, ada apa Dinda menghubunginya lagi? Kemudian, sebuah pesan WhatsApp masuk.

Ray, gue minta maaf. Gue tahu ini basi, tapi gue tetep mau minta maaf udah ngancurin hubungan lo sama Radit. Mungkin lo udah tahu dari Radit bahwa gue sama Radit ke Bali sebenarnya buat kerja, bukan buat apa-apa. Gue minta maaf. Sekarang gue nyerah, gue nggak akan usaha lagi buat dapetin Radit. Radit itu tercipta buat lo. Semoga lo bahagia sama Radit.

Raya mengetikkan sebuah balasan. Din, gue udah maafin lo. Semoga lo juga bahagia di hidup lo.

--

Radit menepati janjinya. Setelah demamnya sedikit turun, laki-laki itu pamit. Namun, Raya masih tidak yakin Radit bisa pulang sendiri. Dia menawarkan diri untuk menyetir mobil laki-laki itu. Awalnya Radit menolak, tapi Raya memaksa. Akhirnya Radit menerima penawaran Raya.

Di perjalanan, mereka hanya diam sambil mendengarkan lagu-lagu romantis. Radit yang sengaja menyetelnya. Lalu ketika tiba di lagu Badai Romantic Project Melamarmu, Radit meminta Raya menghentikan laju mobil. Raya pun segera menurutinya, karena Raya pikir mungkin Radit merasakan sakit.

"Kenapa, Dit?" tanya Raya, panik.

Radit menatap Raya dengan lembut, lalu tersenyum manis. "Sebenarnya, gue mau melakukan ini nanti di momen yang tepat ketika kegantengan gue kembali 100%, tapi gue rasa ini juga best timing. Ay, ayo turun bentar! Ada yang mau gue omongin."

Raya menatap sekeliling ketika sudah keluar dari mobil. Dia bertanya-tanya, untuk apa Radit mengajaknya turun di tepi danau yang terletak di daerah perbukitan seperti ini?

Setelah mengitari mobil, Radit membuka kembali pintu yang sudah ditutup oleh Raya dan membiarkannya tetap terbuka. Laki-laki itu juga menaikkan volume suara musik agar lebih terdengar hingga keluar. Dengan menarik napas, Radit menatap Raya. Seluruh tubuhnya mendadak gemetar. Bukan karena demamnya kembali naik, tapi rasa gugup yang menguasainya.

"Kenapa turun di sini? Apa yang mau lo omongin?" tanya Raya, tak sabar.

"Ay, maaf karena udah membiarkan lo pergi waktu itu. Ternyata gue nggak bisa tanpa lo. Ternyata gue sakit tanpa lo," ujar Radit. "Gue memang nggak bisa sepenuhnya lepas dari hubungan bisnis dengan cewek-cewek. Ini dunia gue. Gue nyari uang dengan bersikap humble ke siapa pun. Tapi, Ay ... gue cinta sama lo. Cuma lo satu-satunya cewek yang gue sayang. Gue kayak gini buat lo, buat nikah sama lo."

"Lo tuh mendekati playboy tahu nggak, sih? Lo deket-deket sama Dinda. Lo perhatian sama dia, nemenin dia ke kafe, nemenin dia beli sepatu, ngehibur dia, sampai dia suka sama lo, dia ngarep sama lo. Terus lo masih deket-deket sama Natasha, padahal dia udah jadi mantan lo. Lo peluk dia, bahkan dia nyium lo. Apa itu semua hal yang wajar, Dit? Itu baru dua yang gue tahu, gue nggak tahu siapa lagi cewek yang deket sama lo. Gue nggak bisa sama cowok kayak lo. Lo bukan milik gue seutuhnya."

"Tapi lo masih sayang sama gue?"

Pertanyaan Radit begitu menohok dadanya. Raya bingung untuk menjawab pertanyaan itu. Dia tidak bisa berbohong dan tidak bisa mengalihkan jawaban yang sesungguhnya. Dia sudah cukup tersiksa dengan menahan kerinduan selama 2 minggu belakangan ini. "Gue..."

"Ay..."

"Iya, gue masih sayang sama lo. Gue nggak bisa secepat itu buat lupain lo," jawab Raya, pasrah.

Radit mengembuskan napas lega. Dia tersenyum pada Raya, lalu merogoh saku celananya. Kemudian, muncullah sebuah kotak warna hitam di genggamannya. Dengan mengucapkan bismillah dalam hati, Radit membuka kotak itu. Lalu bersinarlah sebuah cincin putih dengan berlian kecil di tengahnya. Sungguh cantik. Raya menahan napas. Fokusnya tertuju pada cincin itu, lalu kembali menatap Radit dengan berbagai pertanyaan yang tersirat.

"Raya Aurora, mau nggak bangun keluarga sama aku?"

Di tengah dinginnya udara perbukitan dan danau, Radit melamar Raya. Gadis itu dibuat terkejut sekaligus takjub. Dia bertanya-tanya dalam hati, kapan Radit menyiapkan rencana ini? Kapan Radit membeli cincin untuknya? Lalu, haruskah dia menerima lamaran laki-laki itu? Laki-laki yang baru saja menyebut dirinya sendiri dengan 'aku'. Laki-laki yang katanya akan meminimalisir hal yang tidak disukai olehnya. Laki-laki yang katanya akan selalu membahagiakannya. Laki-laki yang begitu dicintainya.

"Ay ... aku nunggu jawaban kamu, lho. Kamu mau nggak nikah sama aku?" ulang Radit, tak sabar menanti jawaban. Hatinya merasa takut. Takut ditolak.

"Dit, ini serius?"

"Serius. Jadi, apa jawabannya?"

"Maaf, gue butuh waktu."

Radit menghela napas tak percaya. Jawaban atas lamarannya yang begitu serius digantung. Dia ingin marah, dia ingin berteriak, tapi dia harus menghormati keinginan Raya. Dia harus bersabar menunggu jawaban. Dengan sisa-sisa tenaga, Radit menutup kembali kotak cincin itu dan memasukkannya ke saku celana. "Oke, nggak apa-apa. Aku akan nunggu," ujarnya kemudian.

Raya tersenyum. Dia merasa bersalah, tapi dia juga tak ingin mengorbankan keyakinan yang belum sepenuhnya untuk Radit. Dia menginginkan calon suami yang akan menjadi miliknya seutuhnya. Dia tak ingin berbagi dengan wanita mana pun, sekalipun itu rekan bisnis. 

Radit meraih tangan Raya setelah mematikan musik dan menutup pintu mobilnya. Kemudian, laki-laki itu menuntun Raya masuk ke lingkungan utama danau. "Mumpung udah di sini, kita makan ikan bakar, yuk!" ajaknya sambil tersenyum mesra.

Raya mengangguk. Dia membalas senyum Radit dengan lebih mesra. Setidaknya dia harus menikmati momen ini. Momen yang mungkin tidak bisa terulang. Momen bersama laki-laki yang dicintainya begitu dalam, tapi belum saatnya untuk dimiliki seutuhnya. ∩∩∩

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (17)
  • hayriin

    @Gladistia Wah, terima kasih banyak, ya. Senang bisa menghibur.

    Comment on chapter Ditolak Lagi
  • Gladistia

    Halo kak ^^
    Ceritanya seru, aku terhibur banget. Apalagi pas Raya sama Radit. Ada ajah kelakuan mereka....
    Ditambah sama Aldo yg....
    Ahhhh gemas. Aku tunggu next-nya ya kak.
    Semangat dan sukses untukmu ya kak ^^♡

    Comment on chapter Sambut Tanganku
  • hayriin

    @Akashisidu makasih ya, dear. 😊

  • Akashisidu

    senyum senyum sendiri bacanya. sensasi macam apa ini? niceee lanjutkan...

  • hayriin

    @enhaac Terima kasih, Kak. Aku sudah mampir ke spotmu hehe...

  • enhaac

    Enak banget bacanya.

  • Oreoreo

    Lanjuuuttt..
    Lucuu

  • shanntr

    aaa seru aku sukaa:))
    lanjutkan kak semangat yaa:)
    kunjungi sotry ku juga kalo sempet:))

  • rara_el_hasan

    @hayriinsama sama mbk Rini semangat ya

  • hayriin

    @yurriansan makasih, Kak. Iya, sama-sama. Udah ada bagian barunya nih hehe

Similar Tags
No Longer the Same
520      372     1     
True Story
Sejak ibunya pergi, dunia Hafa terasa runtuh pelan-pelan. Rumah yang dulu hangat dan penuh tawa kini hanya menyisakan gema langkah yang dingin. Ayah tirinya membawa perempuan lain ke dalam rumah, seolah menghapus jejak kenangan yang pernah hidup bersama ibunya yang wafat karena kanker. Kakak dan abang yang dulu ia andalkan kini sibuk dengan urusan mereka sendiri, dan ayah kandungnya terlalu jauh ...
Luka Adia
836      508     0     
Romance
Cewek mungil manis yang polos, belum mengetahui apa itu cinta. Apa itu luka. Yang ia rasakan hanyalah rasa sakit yang begitu menyayat hati dan raganya. Bermula dari kenal dengan laki-laki yang terlihat lugu dan manis, ternyata lebih bangsat didalam. Luka yang ia dapat bertahun-tahun hingga ia mencoba menghapusnya. Namun tak bisa. Ia terlalu bodoh dalam percintaan. Hingga akhirnya, ia terperosok ...