"Bukan mencintaimu yang membuatku lelah, tapi memahami semua tentangmu yang tak sanggup kupahami."
-Raya Aurora-
Raya baru saja ingin membuka kulkas, ketika suara teguran dari seseorang terdengar. Gadis itu menoleh ke samping dan mendapati Yasmin sedang menatapnya sinis. Hawa panas seketika merasuk ke dalam dadanya yang memang sudah panas sejak beberapa hari lalu.
Raya menutup kembali kulkas di hadapannya, lalu beralih menatap Yasmin dengan malas. "Kali ini apa lagi, Yas? Nggak capek ngajak aku ribut terus?"
"Kamu memang memanfaatkan perasaan Mas Aldo untuk bertahan di sini. Bahkan, untuk bertahan hidup. Selain ngerayu Mas Aldo biar nerbitin buku kamu, kamu juga ngerayu Mas Aldo biar beliin kamu apartemen. Itu benar 'kan, Ray? Nggak usah ngelak lagi!" tuduh Yasmin dengan berapi-api. Yasmin sering melakukan hal ini, sesering Raya melawannya dengan tidak kalah berapi-api.
"Apa urusannya sama kamu kalau aku memang manfaatin perasaan Kak Aldo untuk apa pun yang aku butuhin? Salah aku, kalau Kak Aldo tergila-gila sama aku? Salah aku?" balas Raya. "Yasmin, udah deh kamu mundur aja. Kamu nggak akan bisa dapetin hatinya Kak Aldo. Dia udah cinta mati sama aku. Mending kamu kelarin naskah kamu biar bakat dan popularitas yang kamu agung-agungkan itu ada bukti nyatanya! Percuma kamu ada di sini, tapi nggak bisa menyelesaikan pekerjaan kamu sesuai deadline."
Mereka saling menatap dengan sinis, seperti melemparkan pedang panjang dengan matanya ke arah satu sama lain. Orang-orang yang lalu-lalang hanya melirik dua gadis itu dengan malas sambil menggeleng-gelengkan kepala dan mengembuskan napas kasar, seolah pemandangan itu adalah hal yang biasa saja.
"Raya!"
"Apa lagi, Yasmin?!"
"Aku minta maaf. Kata-kata tadi adalah kata-kata kasar yang terakhir. Aku minta maaf, aku sadar aku nggak pantas buat men-judge kamu."
"Apa? Kamu minta maaf? Dan cuma itu ucapan permintaan maaf kamu? Hei, Yasmin! Kamu udah nyakitin hati aku lho selama hampir 3 bulan ini."
"Raya, aku..."
Kata-kata Yasmin terputus ketika Aldo tiba-tiba muncul, lalu menarik lengan Raya keluar dari pantry. Meninggalkan Yasmin yang menatap pundak mereka dengan bingung. Sesampainya di balkon, Aldo melepaskan lengan gadis itu dengan kasar.
"Raya, aku baru tahu kamu bisa sekasar itu!" tegur Aldo dengan tatapan tidak percaya.
"Maaf, Kak. Aku tersulut emosi."
"Ada masalah lain yang lebih membuat kamu emosi?" selidik Aldo, sementara Raya hanya diam sambil menundukkan kepalanya. "Kamu nggak suka kemarin aku ajak ke rumah ketemu sama mama aku?" sambung Aldo.
"Enggak, Kak. Bukan gitu."
"Ada masalah sama Radit?" selidik Aldo lagi, yang kali ini diiyakan oleh anggukan kecil dari Raya. "Cepat selesaikan masalah kamu sama Radit! Aku nggak mau kamu jadi orang aneh di kantor aku."
Raya mengembuskan napas lemas. "Ya, mungkin memang harus selesai," ujarnya. "Aku pamit." Tanpa menunggu jawaban Aldo, Raya berjalan keluar kantor Rivmedia Utama dengan langkah gontai.
Aldo yang ditinggalkan, hanya mengembuskan napas kasar. Dia sendiri gusar, harus memilih kata-kata yang tepat untuk menghadapi Yasmin di dalam sana. Pikirnya, gadis itu pasti sedang menunggu penjelasan darinya.
--
Pukul 5 sore, Raya tiba di sebuah kafe yang terletak tidak jauh dari kantor Radit. Gadis itu memilih menunggu Radit di kafe daripada harus menghampirinya di kantor. Raya takut, kalau-kalau Natasha ada di sana karena masih memiliki urusan bisnis. Hatinya belum sanggup untuk merasa cemburu lagi ketika melihat kedekatan Radit dengan Natasha. Tidak. Dia belum sanggup untuk merasa cemburu lagi melihat kedekatan Radit dengan siapa pun, termasuk Dinda.
Raya memesan minuman bersoda dengan es batu yang nyaris memenuhi gelasnya yang tinggi. Dia butuh minuman super dingin untuk menurunkan suhu tubuhnya. Pernyataan dan bukti-bukti yang Dinda tunjukkan benar-benar membuatnya murka dan mual. Dia tidak menyangka orang yang dicintainya mati-matian bermain api dengan sahabatnya sendiri. Raya harus mencari tahu kebenarannya sekarang juga.
Sekitar 30 menit kemudian, Radit tiba di hadapan Raya dengan napas yang terengah-engah disertai tetesan keringat sebesar biji jagung yang membasahi keningnya. Rambutnya pun terlihat basah sebagian. Jantung Raya berdebar hebat melihatnya. Bahkan dalam kondisi emosi yang seburuk ini pun, Radit tetap terlihat memesona di mata Raya.
Setelah saling menyapa, Radit memesan minuman yang sama persis dengan yang Raya minum. Dia juga merasa membutuhkan sesuatu yang dingin.
"Radit."
"Iya, Ay?"
"Bulan lalu, lo pergi ke Bali?"
"Iya. Kok lo tahu? Sorry, gue nggak sempet ngabarin."
"Dalam rangka apa?"
"Bisnis."
"Sama Dinda?"
"Iya. Kok lo tahu, sih?"
"Gue udah tahu semuanya dari Dinda. Sekarang, gue mau nanya sama lo. Gue mau tahu pernyataan dari lo."
Pesanan Radit tiba. Laki-laki itu mengucapkan terima kasih sambil tersenyum singkat pada pelayan. Tanpa menjawab pertanyaan Raya, dia menikmati minumannya dengan penuh napsu. Kemudian, setelah minuman itu tinggal setengah gelas, barulah Radit menatap Raya lagi. "Pernyataan apa, Ay? Gue nggak ngerti. Gue ke sana buat bisnis. Kebetulan Dinda partner bisnis gue."
Raya tak mau berlama-lama menghadapi Radit yang sok polos. Dia menyodorkan ponselnya dengan kasar di hadapan laki-laki itu. "Partner one night stand maksud lo? Atau partner two nights stand?" tuding Raya, sinis.
"Ngomong apa sih, Ay?"
"Jawab, Radit! Gue butuh..."
"Ay, ini foto-foto lo dapet dari mana? Dari Dinda? Terus apa aja yang dia omongin ke lo?" potong Radit. Dia malah balik mencecar Raya dengan berbagai pertanyaan yang sukses membuat gadis itu semakin murka.
Foto-foto itu Raya dapat dari Dinda melalui pesan WhatsApp. Setelah beberapa hari lalu Raya menyobek semua foto yang dia sodorkan, Dinda tidak menyerah. Dia terus saja menghubungi Raya, memintanya untuk melepaskan Radit. Bahkan, tak hanya foto yang dia kirimkan, rekaman video pun menambah deretan bukti keintiman Dinda dengan Radit.
"Dit, jawab," pinta Raya, lemah.
"Oke. Foto-foto ini adalah hasil photoshoot produk bikini, lingerie, pakaian renang cowok, pokoknya satu set pakaian untuk suami istri yang lagi honeymoon."
"Ha? Apa?"
"Lo lupa kantor Dinda bergerak di bidang apa? Itu semua produk-produk kantornya Dinda. Sementara gue, diminta jadi model dadakan, karena model aslinya ngebatalin janji. Dinda yang orang marketing juga mendadak diminta jadi model sama bosnya, karena model ceweknya sakit. Gue juga butuh promosi WO gue. Lagipula, uangnya besar, Ay. Nggak mungkin gue tolak."
"Oke, penjelasan bisa diterima, tapi apa benar kalian tidur sekamar?"
"Tidur sekamar? Nggak mungkin, Ay. Gue dikasih kamar sendiri, Dinda dikasih kamar sendiri. Semua udah diatur dengan baik sama pihak manajemen mereka."
Raya mengembuskan napas. Kali ini napas yang sedikit lega. Dia memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas sebelum bertanya lebih lanjut pada Radit. "Lo tahu Dinda suka sama lo?"
"Oh, soal itu?" Radit balik bertanya. "Tahu," jawabnya kemudian. "Gue tahu, Ay, tapi gue nggak ada perasaan apa-apa ke dia. Dari awal yang gue sayang cuma lo. Lo 'kan tahu gue pindah ke kosan itu karena udah naksir duluan sama lo."
"Radit, gue ngucapin banyak terima kasih karena lo udah sayang dan baik sama gue selama ini, tapi maaf..."
Radit mulai panik dan bingung. "Maaf kenapa? Nggak ada masalah 'kan, Ay?"
"Maaf, gue nggak bisa ngelanjutin hubungan ini."
"Ay, maksud lo apa, sih? Jangan main-main, Ay!" serunya dengan ekspresi yang benar-benar panik. Tak terima gadisnya berkata yang tidak-tidak.
"Maaf, bukan karena gue udah nggak sayang sama lo, tapi gue nggak sanggup memahami gaya hidup lo. Gaya bisnis lo yang mengharuskan lo untuk akrab dengan cewek-cewek. Untuk akrab secara fisik dengan mereka."
"Ay, gue kayak gini nyari uang. Buat siapa? Buat lo juga. Buat anak-anak kita nanti."
"Jangan berpikir terlalu jauh, Dit! Cukup sampai di sini aja. Gue nggak bisa membayangkan masa depan yang baik kalau hidup lo kayak gini. Gue nggak bisa terima. Gue nggak sanggup."
"Oke, gue akan meminimalisir kontak fisik sama mereka."
"Nggak, Dit. Gue nggak mau denger apa-apa lagi. Keputusan gue udah bulat."
"Coba lo pertimbangin lagi. Tolong kasih gue kesempatan untuk memperbaiki ini semua," pinta Radit. Sedikit memelas.
"Nggak ada kesempatan lain, Dit."
"Ay," panggil Radit lembut. Membuat jantung Raya berdebar tak karuan.
"Sorry, Dit. Dari awal juga gue nggak pernah ngarep punya hubungan sama lo."
"Jadi, lo nyesel?"
"Enggak."
"Oke! Oke, gue terima keputusan lo. Thank's buat kebersamannya beberapa bulan belakangan ini. Sorry, kalau gue banyak minusnya di mata lo. Jaga diri lo baik-baik. Gue pamit, ya. Sorry, nggak bisa nganter, gue masih banyak kerjaan di kantor."
Mereka sama-sama terdiam beberapa saat, sebelum akhirnya Radit mendekatkan wajahnya pada wajah Raya. "Sorry, mungkin ini yang terakhir," ucapnya, lalu mengecup kening Raya beberapa detik. Menyalurkan desiran syahdu sekaligus pilu di hati keduanya.
Sebelum benar-benar pergi, Radit menatap Raya dengan lembut sambil membelai pipinya. Terakhir, laki-laki itu tersenyum getir, lalu beranjak dari hadapan gadisnya. Bukan. Dari mantan gadisnya.
Dit, lo minta gue untuk nunggu gimana kehidupan gue nanti ketika sama lo. Jadi, gini kehidupan yang lo maksud? Perih, Dit. ∩∩∩
@Gladistia Wah, terima kasih banyak, ya. Senang bisa menghibur.
Comment on chapter Ditolak Lagi