Read More >>"> Ketika Kita Berdua (Yang Penting Kamu Senang) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Ketika Kita Berdua
MENU
About Us  

"Ditipu atau tidak, yang penting kamu senang 'kan aku ajak ke sini?"

-Rivaldo Andrian-

Langit sore di hari Minggu selalu mengantarkan sebuah pesan ajaib lewat udaranya yang sejuk dan ramah. Hei, jangan lupa besok Senin! Begitulah bunyi pesannya. Menyebalkan, memang. Namun, sisa-sisa akhir pekan ini harus dihabiskan dengan senyuman ikhlas serta semangat yang membara untuk menghadapi rutinitas di hari Senin dan seterusnya.

Aldo menjemput Raya di tokonya atas permintaan Raya sendiri. Tentu saja laki-laki itu bergegas melaksanakan permintaan Tuan Putri. Terlebih, di sambungan telepon sebelumnya suara Raya terdengar bergetar seperti sedang menahan tangis.

Setelah Aldo tiba di tempat tujuan, ternyata di sana ada seorang wanita yang tampilannya sangat berantakan keluar dari kantor Radit. Tidak hanya wanita itu yang berantakan, tapi Radit juga. Alo berpikir sejenak, apakah dia wanita yang Raya maksud?

Radit sempat mencegah agar Raya menunggunya dulu, lalu dia akan mengantar Raya ke kantor Aldo. Namun, wanita itu mengatakan bahwa kepergian mereka akan memakan waktu yang lama. Akhirnya, Radit meminta Aldo untuk menjaga Raya, sementara dia pergi dengan wanita itu dalam satu mobil.

Kini, Aldo sudah duduk di kursi pengemudi bersama Raya di sampingnya. Aldo berkali-kali melirik ke arah Raya, gadis itu begitu hanyut dalam lamunan.  Sesekali Aldo juga memanggil-manggil namanya, bahkan Aldo mengeraskan volume musik yang terputar di mobil, tapi gadis yang mengenakan gaun berwarna putih selutut dan jaket jins berwarna navy itu tetap bergeming. Aldo mulai kesal, ingin sekali dia menyentil kening Raya untuk mengembalikan gadis itu pada realita.

"Kak Aldo?" Tiba-tiba Raya memanggil nama Aldo dengan suara lemah. Dia tersadar dari lamunan ketika mendapati pemandangan yang aneh di depan matanya.

"Iya?" 

"Ini kayaknya bukan jalan ke kantor Kak Aldo."

"Bukan." Aldo mengiyakan dengan santai, sementara Raya mulai merasa panik.

"Lho? Terus kita mau ke mana?"

"Segitu galaunya kamu, sampai-sampai baru sadar?"

"Ya ampun!" Raya merutuki dirinya sendiri kenapa melamun hingga selama itu.

"Makanya jangan bengong terus!"

"Iya, maaf. Terus kita mau ke mana?"

"Tunggu, sebentar lagi kita sampai, kok."

Sepuluh menit kemudian, mobil Aldo memasuki sebuah lapangan golf di daerah BSD Tangerang. Suasana di sekitar sangat nyaman dan damai. Banyak pepohonan dan tanaman yang terawat dengan indah. Tentunya terdapat lapangan hijau yang terhampar luas dengan air mancur yang tersebar di sekelilingnya.

"Lapangan golf? Kita ngapain ke sini?"

"Aku mau main golf sebentar, kamu temenin aku, ya. Bentar aja, kok."

"Tapi aku capek, Kak, abis jalan jauh."

"Iya, nanti kamu istirahat, tapi setelah aku selesai main golf, ya."

"Kak Aldo nipu aku!"

"Yang penting, kamu pasti bakalan suka."

"Kak!"

Aldo tidak menghiraukan protes Raya yang semakin menjadi-jadi. Laki-laki itu menepikan mobilnya hingga bersisian dengan mobil mewah lainnya, lalu membuka pintu untuk dirinya sendiri dan untuk Raya. Di saat bersamaan, seorang wanita cantik berkulit putih dengan rok mini dan kemeja ketat menghampiri Aldo dengan senyuman manis. Raya bisa menebak wanita ini adalah seorang caddy.

"Selamat pagi, Mas Aldo," sapa caddy seksi itu.

Mendengar caddy itu menyebut nama Aldo, Raya yakin Aldo adalah salah satu pelanggan tetap di lapangan golf indah ini.

"Pagi," jawab Aldo.

Percayalah saat ini seorang Rivaldo Andrian terlihat seperti seorang pengusaha konglomerat yang tampan, yang membuat para wanita seksi dan cantik rela menyambut dan mendampinginya walaupun mereka harus terengah-engah membawa peralatan golf yang sangat berat.

"Kalau sekadar untuk menemani Kak Aldo bermain golf, kan di sini udah banyak caddy cantik dan seksi yang available. Kenapa harus ngajak aku, sih?" Raya berbisik pada Aldo ketika laki-laki itu sedang membidik target dengan matanya.

Aldo tak menghiraukan pertanyaan polos Raya. Dia sibuk mengayunkan tongkat, lalu memukul bola golf, hingga mengenai sasaran. Berulang kali, hingga Raya nyaris mati karena bosan. Akhirnya, Raya memilih menyandarkan punggungnya pada sebuah pohon.

"Kak Aldo!" pekik Raya.

"Sini!" Aldo meminta Raya untuk menghampirinya, lebih tepatnya memerintah.

Raya yang berdiri agak jauh dari Aldo, dengan malas melangkahkan kaki menuju laki-laki itu. "Apa?" tanya Raya dengan setengah melotot.

"Nih!" Aldo menyodorkan tongkat golf yang sedari tadi dimainkannya.

Raya membelalakkan matanya sesaat. "Ha?"

"Play!" perintah Aldo dengan senyum manisnya.

"No!" Raya menolak, lalu memutarbalikkan tubuhnya cepat.

"Play or we never go to my office!" kata Aldo lagi, laki-laki yang selalu memiliki pilihan dan ancaman.

"Fine!" Raya menyerah, dia lebih memilih mengikuti permainan Aldo daripada mati karena bosan.

"Anggap bola itu adalah Raditya Malvino, seseorang yang saat ini lagi bikin kamu deg-degan, kesal, sekaligus curiga."

"Apa?" Raya menjadi tak fokus pada targetnya.

"Lakukan sekarang!" 

Tidak ada waktu, Raya harus terus mengikuti permainan ajaib Aldo. Raya membayangkan wajah Radit yang tengil, tapi tampan. Sikap Radit yang menyebalkan, tapi manis. Terakhir dia membayangkan tampilan berantakan Radit saat keluar dari kantornya tadi. Rese!!! Raya meneriaki Radit dalam hati. Kemudian, dengan penuh amarah, dia mulai memukul bola.

"Hem, not bad for newbie." Aldo menilai pukulan Raya saat bola golf berhasil mengenai sasaran, Raya mengibas rambutnya anggun. "Anggap bola itu adalah wanita cantik dan bersuara manja yang keluar dari ruangan Radit dengan rambut acak-acakan!" Lagi. Aldo menyugesti Raya untuk kedua kalinya.

"Kak Aldo apaan, sih?"

"Raya!" Aldo berseru, memperjelas bahwa apa yang tadi diucapkannya adalah perintah mutlak.

Sebenarnya Raya tidak ingin memukul wanita itu, tapi kalau Aldo memerintahkan agar Raya menganggapnya seperti bola yang harus dipukul, apa boleh buat?

"Nice!" Aldo menepuk kedua tangannya setelah Raya berhasil mengenai sasaran untuk kedua kalinya.

"Sekarang, udah puas?" tanya Raya sambil mengembuskan napas berulang kali. Dadanya kembang kempis. Perintah Aldo benar-benar membuatnya kehabisan napas.

"No, not me, but you are." Aldo menyentuh bahu Raya dengan telunjuknya.

"Me? Why me?"

"Iya, kamu. Kamu puas nggak?" tanya Aldo tegas, sementara Raya terlihat kebingungan. "Oke, aku ulangi pertanyaannya. Apa emosi kamu ke Radit dan wanita itu sudah terlampiaskan dengan memukul bola golf?"

Raya bodoh. Terbodoh. Jadi sedari tadi Aldo menyeretnya ke lapangan golf, lalu memaksanya bermain hanya untuk? "Kak Aldo..." Raya menutupi wajahnya yang memerah karena malu dengan kedua tangannya yang sedikit gemetar, sementara tawa Aldo meledak memenuhi seisi lapangan golf. Detik berikutnya tiba-tiba Raya sudah mengimbangi suara tawa Aldo. Mereka seakan menertawakan diri mereka masing-masing.

"Haduh... cinta begini amat, ya." Aldo memulai percakapan santai mereka. "Aku cinta kamu, kamu cinta Radit, Radit cinta wanita itu," sambungnya. Keduanya kini sedang duduk santai di sisi lapangan golf.

"Ih, belum tentu. Belum tentu wanita itu pacarnya Radit!" Raya membela laki-laki kesayangannya, membuat Aldo menertawakannya lagi.

"Uuuh... segitu cintanya sama Radit, sampe dibelain!"

Raya tersentak menyadari kebodohannya, lalu mengulum senyum. "Aku nggak cinta sama dia."

"Nggak usah menyangkal karena kali ini benar-benar nggak berguna. Kamu tuh cinta banget sama Radit, tapi gengsi untuk mengakuinya. Udah, ngaku aja, daripada entar orangnya diambil cewek lain. Cantik pula."

"Kak Aldo bermaksud menyemangati atau merendahkan, sih? Konsisten, dong!"

"Kamu cantik, tapi sayang..."

"Sayang apa?"

"Sayang, nggak cinta sama aku."

"Kak Aldo, jangan gitu..."

"Iya, iya. Aku hanya ingin ada di dekat kamu aja. Boleh, 'kan?" Aldo menatap mata indah Raya yang dibalas anggukan yakin dari gadis itu. "Makanya, daripada kamu penasaran, mending kamu tanya langsung aja ke Radit, wanita itu siapa? Apa hubungan dia dengan Radit. Gitu lho, Dek, masa gitu aja mesti om ajarin?"

Raya terbahak. Dia merasa lega bisa meluapkan emosinya dengan bermain golf dan dia merasa jauh lebih lega saat menyadari kini dirinya dan Aldo bisa berteman akrab lagi seperti dahulu.

"Kak Aldo.."

"Apa? Jangan bilang kamu jadi suka sama aku."

"Terima kasih lapangan golfnya."

"Anytime. Mau main lagi?"

"No, thank's. Aku capek dikerjain Kak Al." ∩∩∩

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (17)
Similar Tags
Luka Adia
646      389     0     
Romance
Cewek mungil manis yang polos, belum mengetahui apa itu cinta. Apa itu luka. Yang ia rasakan hanyalah rasa sakit yang begitu menyayat hati dan raganya. Bermula dari kenal dengan laki-laki yang terlihat lugu dan manis, ternyata lebih bangsat didalam. Luka yang ia dapat bertahun-tahun hingga ia mencoba menghapusnya. Namun tak bisa. Ia terlalu bodoh dalam percintaan. Hingga akhirnya, ia terperosok ...