Loading...
Logo TinLit
Read Story - Ketika Kita Berdua
MENU
About Us  

"Aku terbiasa beristirahat di bola matamu, tapi malam ini sepertinya kau menghukumku dengan menghilang tanpa kutahu apa salahku. Kasih, kembalilah!"

-Raditya Malvino-

Radit tiba di kantornya beberapa menit setelah azan asar berkumandang. Laki-laki itu menunaikan salat dulu di lantai satu sebelum naik ke ruangannya, tempat Natasha menunggu. Setelah salat, barulah Radit menemui wanita itu. Ketika pintu terbuka, Natasha menyambutnya dengan wajah cemberut. 

"Kok bisa lupa sih, Dit? Kita kan udah ada janji. Lama lagi datangnya! Aku bete nunggu."

"Sorry sorry, aku tadi ada urusan mendadak. Bukan sengaja ngelupain janji sama kamu. Maaf, ya."

"Ya udah."

"Oke, kita mulai. Kemarin sampai mana?"

"Tuh kan, kamu lupa lagi!"

"Oke, sampai pemilihan gedung."

Kemudian, Radit dan Natasha pun menunaikan janji mereka. Laki-laki itu mendengarkan keinginan Natasha yang tak terhingga dengan saksama. Belum lagi, wanita itu sering sekali menggerutu tidak jelas. Namun, Radit berusaha tetap sabar. Dia benar-benar bukan Radit yang biasanya di hadapan Natasha.

Tak terasa sudah pukul 17.45. Laki-laki itu segera menutup pertemuan yang diiyakan oleh Natasha karena Natasha sendiri sudah merasa lelah, pusing, dan mengantuk. Terlihat dari wajah cantiknya yang mulai kusut.

"Dit, makasih ya. Maaf, tadi aku marah-marah."

"Nggak apa-apa, Cha. Aku juga yang salah. Maaf, ya."

"Iya."

"Hati-hati di jalan. Sampaikan salamku buat Bos Bernard. Minggu depan dia wajib datang."

"Oke. Aku pergi, ya."

"Oke."

Natasha pun keluar dari ruangan Radit, meninggalkan laki-laki itu dalam keheningan. Semua karyawan sudah pulang. Mungkin menyisakan Tere―resepsionis―dan Santoso―security―yang masih menunggunya turun.

Radit juga ingin segera turun, tapi sebelum itu, dia mengecek ponselnya sekali lagi.  Namun, tetap tidak ada panggilan ataupun balasan chat dari gadis yang seharian membuatnya gusar. Mengembuskan napas kasar, Radit mulai menuruni anak tangga menuju front office.

Santoso sontak berdiri ketika melihat Radit datang sambil menyapanya, sementara Tere menyerahkan seikat kunci yang membuat laki-laki itu mengernyitkan kening. "Mas Radit, ini kunci ruko sebelah dari Mbak Raya. Maaf, kemarin aku lupa ngasih," ujar Tere dengan perasaan bersalah.

Radit tersentak. Dia bergantian menatap Tere dan seikat kunci yang disodorkan. "Kunci dari Raya? Kapan dia ngasihnya?"

"Kemarin, Mas, waktu Mbak Raya turun dari ruangan Mas Radit. Mbak Raya ngasih kuncinya sambil buru-buru pergi."

"Kemarin Raya ke ruangan saya?" 

"Iya, Mas. Memang Mas Radit nggak ketemu sama Mbak Raya kemarin di atas?"

"Enggak. Saya memang nungguin dia, tapi nggak datang-datang."

"Oh, gitu. Kemarin sekitar jam 1 siang Mbak Raya datang, terus bilang mau ketemu sama Mas Radit. Waktu itu aku lupa ngasih tahu kalau Mas Radit lagi ada tamu. Mungkin karena Mbak Raya takut mengganggu, jadi buru-buru pergi dan nggak jadi nemuin Mas Radit."

"Kamu itu, Tere, kenapa banyak lupanya sih?"

"Maaf, Mas. Aku nggak akan lupa lagi ke depannya."

"Udah, kamu pulang," perintahnya pada Tere. "Pak Santoso juga udah boleh pulang," perintahnya lagi. Kali ini pada Santoso yang sedang memperhatikan kondisi di luar.

"Maaf, Mas. Saya masih nunggu Pak Mario. Dia katanya lagi nganter istrinya ke dokter dulu, jadi gantian sifnya agak terlambat."

"Oh iya, Pak Mario belum datang, ya."

"Belum, Mas."

"Ya sudah, atur yang beres. Saya mau ke ruko sebelah dulu."

"Mau dibelikan makan malam, Mas Radit?"

"Enggak perlu, Pak. Saya nggak lapar."

"Baik, Mas."

Radit melangkah menuju ruko sebelah yang dia pinjamkan pada Raya untuk membuka toko. Perasaan kacau kembali merasukinya. Kini bertambah dengan perasaan hampa ketika membuka pintu gerbang, lalu mendapati keadaan toko yang gelap gulita.

Dengan lemas, Radit menyalakan lampu. Barang-barang Raya masih berada di sana. Hanya pemiliknya yang tidak ada. Entah ke mana. Radit sudah kehabisan ide untuk mencarinya.

Pada saat seperti ini, dia menyadari bahwa dia tidak begitu mengenal Raya. Lalu, kenapa dia dengan penuh percaya diri mengklaim kepemilikan atas diri gadis itu? Radit memaki dirinya sendiri. Dia berteriak frustrasi.

Radit memikirkan kembali apa yang didapat dan didengarnya dari Tere beberapa waktu lalu. Apa yang membuat Raya mengurungkan niat untuk menemuinya, lalu menyerahkan kunci dan pergi tanpa bisa dihubungi? Jika digabungkan dengan lamunan liarnya ketika di toko buku bekas tadi siang, mungkinkah kemarin Raya berniat berpamitan dengan Radit? Lalu, berhubung Radit sedang ada tamu, jadi dia menitipkan kunci itu pada Tere. Terakhir, jika ditambahkan lagi dengan apa yang didengarnya dari nenek pemilik indekos, mungkinkah setelah dari kantor Radit, Raya kembali ke indekos dan membereskan barang-barangnya, lalu pergi ketika tidak ada orang yang melihat, kecuali si nenek? Segitu buru-burunya kamu ingin berlari ke pelukan Aldo, Ray?

Tiba-tiba rasa lelah menyerang dan melawan pemikiran-pemikiran yang semakin liar itu, hingga membawanya tertidur di sofa. Namun, beberapa menit kemudian, dia tersentak. Dia teringat belum menunaikan salat magrib. Akhirnya, laki-laki itu pergi kamar mandi untuk membersihkan diri dan berwudu. Radit ingin menemui-Nya, sebelum menemukannya.

--

Aku dan Kecewa
Oleh: Annisa A. Oktavia

Aku tak tahu
Bagaimana Tuhan menciptakan rasa
Yang aku tahu, hanyalah cara menikmatinya

Teruntukmu yang selalu membuatku murka dan tertawa
Bagaimana kabarmu?

Aku merindukanmu
Merindukan apa pun yang ada dalam dirimu

Namun, aku kecewa
Kau sempurna membuatku terluka dalam waktu yang sama

Tian Wibowo membaca ulang puisi kelima yang Raya tuliskan. Kali ini sang editor tidak membacanya langsung di laptop Raya, melainkan di laptopnya sendiri setelah sang penulis mengirimkan naskah yang belum seberapa itu―atas permintaannya pagi tadi.

Tian dan Raya sudah diperkenalkan secara resmi oleh Aldo. Yasmin pun sudah diperkenalkan dengan editornya, yaitu Dido. Mereka berdua memiliki editor masing-masing karena menulis naskah dengan jenis tulisan yang berbeda. 

Ketika Yasmin berjabat tangan dengan Tian, gadis itu terlihat sangat antusias, hingga tak bisa menahan tangannya untuk mencubit pipi laki-laki yang dia bilang manis itu. Tian hanya tersenyum sambil menyingkirkan perlahan tangan Yasmin. Tingkah mereka mengundang tawa dari yang lain, termasuk Raya.

"Raya, sini kamu!" panggil Tian pada Raya yang sedang menyeduh kopi untuk mereka berdua.

Raya pun menurutinya. Untunglah, kopi mereka sudah jadi. "Kenapa, Mas?" tanya gadis itu sambil menyimpan secangkir kopi di samping laptop Tian, sementara kopi untuk dirinya sendiri sudah diletakkan di atas mejanya yang berada agak jauh dari meja sang editor.

"Puisi kamu yang ini udah nggak terlalu kaku kayak yang pertama kemarin."

"Beneran?"

Tian mengangguk. "Iya, kamu bikinnya jam berapa?"

"Semalem, jam 2 pagi."

"Gila! Tapi emang harus gila kalau mau menulis yang keren. Dua hari lagi, saya mau lihat puisi-puisi kamu yang lebih gila lagi, ya."

"Dua hari lagi, Mas? Dua hari lagi Mas Tian mau ke sini lagi?"

"Iya, emang nggak boleh saya ke sini lagi?"

Raya mengucapkan istigfar dalam hati, merasa sudah salah bicara. Kenapa juga dia bertanya seperti itu ke editor sendiri? "Bolehlah, Mas. Terserah Mas Tian mau datang kapan aja."

"Oke, kalau ada yang mau ditanyakan, chat aja di WA."

"Tapi aku belum punya nomor HP Mas Tian."

"Saya punya nomor kamu."

"Nomor aku ganti kemarin."

"Ya, saya juga udah punya yang baru."

"Oke, Mas."

"Oh ya, jangan lupa perbanyak baca buku dan merenung. Gunakan hati kamu saat menulis, tapi jangan terlalu lama. Ingat, waktu kita cuma 3 bulan."

"Siap, Mas!"

Seperti yang diceritakan Yasmin pada Raya kemarin, Tian memang manis. Raya menyetujuinya. Laki-laki itu memiliki rambut yang rapi, mata yang sipit, kulit sawo matang, dan tubuh tinggi yang sedikit berisi. 

"Jangan deket-deket ngobrolnya. Agak jauhan!" tegur Aldo yang tiba-tiba datang ke ruangan mereka.

"Santai, Bos. Kita cuma ngomongin puisi, bukan ngomongin masa depan."

Raya mengernyitkan kening sambil menggeleng-gelengkan kepala mendengar candaan dua laki-laki itu, lalu kembali ke mejanya setelah tersenyum pada Aldo.

"Raya, kamu jangan mau kalau digodain Tian."

"Raya kali yang godain gue, Bos."

"Nggak mungkin!!!" seru Aldo dan Raya berbarengan yang sontak membuat Tian tertawa puas. ∩∩∩

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (17)
  • hayriin

    @Gladistia Wah, terima kasih banyak, ya. Senang bisa menghibur.

    Comment on chapter Ditolak Lagi
  • Gladistia

    Halo kak ^^
    Ceritanya seru, aku terhibur banget. Apalagi pas Raya sama Radit. Ada ajah kelakuan mereka....
    Ditambah sama Aldo yg....
    Ahhhh gemas. Aku tunggu next-nya ya kak.
    Semangat dan sukses untukmu ya kak ^^♡

    Comment on chapter Sambut Tanganku
  • hayriin

    @Akashisidu makasih ya, dear. 😊

  • Akashisidu

    senyum senyum sendiri bacanya. sensasi macam apa ini? niceee lanjutkan...

  • hayriin

    @enhaac Terima kasih, Kak. Aku sudah mampir ke spotmu hehe...

  • enhaac

    Enak banget bacanya.

  • Oreoreo

    Lanjuuuttt..
    Lucuu

  • shanntr

    aaa seru aku sukaa:))
    lanjutkan kak semangat yaa:)
    kunjungi sotry ku juga kalo sempet:))

  • rara_el_hasan

    @hayriinsama sama mbk Rini semangat ya

  • hayriin

    @yurriansan makasih, Kak. Iya, sama-sama. Udah ada bagian barunya nih hehe

Similar Tags
Luka Adia
836      508     0     
Romance
Cewek mungil manis yang polos, belum mengetahui apa itu cinta. Apa itu luka. Yang ia rasakan hanyalah rasa sakit yang begitu menyayat hati dan raganya. Bermula dari kenal dengan laki-laki yang terlihat lugu dan manis, ternyata lebih bangsat didalam. Luka yang ia dapat bertahun-tahun hingga ia mencoba menghapusnya. Namun tak bisa. Ia terlalu bodoh dalam percintaan. Hingga akhirnya, ia terperosok ...
No Longer the Same
520      372     1     
True Story
Sejak ibunya pergi, dunia Hafa terasa runtuh pelan-pelan. Rumah yang dulu hangat dan penuh tawa kini hanya menyisakan gema langkah yang dingin. Ayah tirinya membawa perempuan lain ke dalam rumah, seolah menghapus jejak kenangan yang pernah hidup bersama ibunya yang wafat karena kanker. Kakak dan abang yang dulu ia andalkan kini sibuk dengan urusan mereka sendiri, dan ayah kandungnya terlalu jauh ...