Loading...
Logo TinLit
Read Story - Ketika Kita Berdua
MENU
About Us  

"Kamu di mana? Jangan membuatku membabi buta, lalu membunuh serigala yang mengaung!"

-Raditya Malvino-

Indekos, di hari yang sama dengan hari pertama Raya pindah ke kantor Aldo untuk proyek buku puisi...

Dinda menuruni anak tangga, lalu menggedor-gedor pintu kamar Radit sambil memanggil-manggil nama laki-laki itu. Ekspresi wajahnya panik sekaligus tidak sabar. Ada hal yang harus segera dikatakannya pada Radit. Berulangkali dia menggedor, pintu kamar itu tidak terbuka juga. Sepertinya Radit masih terhanyut dalam alam mimpi. Akhirnya, panggilan Dinda berubah menjadi teriakan seakan tidak ada penghuni lain di dalam indekos. "Dit, Radit! Radit! Buka, Dit!" 

Pintu kamar Radit terbuka menampilkan wajah laki-laki itu yang kesal setengah mati. "Dinda, Dinda! Ada apa, sih? Emang nggak bisa pelan-pelan? Gue masih ngantuk."

Dinda semakin tersulut emosi melihat wajah bantal Radit. "Tidur mulu yang lo pikirin! Ke mana Raya?"

"Di kamarnyalah jam segini mah," jawab Radit asal.

"Nggak ada. Gue ketok-ketokin pintunya nggak ada suara sama sekali," sahut Dinda setengah frustrasi.

Radit mengucek sebelah matanya. "Telepon coba, mungkin dia tiba-tiba ada urusan pagi-pagi. Anak itu kan super sibuk."

"Nggak bisa, Dit. Nggak bisa dihubungi."

Seketika kesadaran Radit mulai terkumpul. "Lo nggak becanda 'kan, Din?"

"Permisi, Nak Dinda. Ada apa ya teriak-teriak?" tanya nenek pemilik indekos yang tiba-tiba menghampiri Dinda dan Radit dengan tergesa-gesa.

Dinda menurunkan nada suara dan menatap nenek di hadapannya lekat-lekat. "Nek, Nenek tahu ke mana Raya pergi?"

"Oh, Nak Raya sudah keluar dari kos."

"Iya, saya tahu dia keluar, tapi ke mana?"

"Maksud nenek, keluar dari kos beserta barang-barangnya. Dia udah nggak ngekos di sini lagi. Tadi malam kuncinya sudah dikembalikan ke nenek."

"Apa???" Dinda nyaris mengeluarkan isi bola matanya, sementara Radit bergeming. Kemudian, nenek itu pamit pergi yang dibalas dengan anggukan kecil dan ucapan terima kasih dari Dinda. "Dit, kok lo diem aja, sih? Raya ada ngomong apa gitu sama lo? Jangan-jangan lo ribut ya sama Raya terus Raya pergi? Ngaku lo, Dit!" cecar Dinda.

"Dinda, stop! Gue lagi mikir."

"Raya nggak mungkin pergi gitu aja kalau hatinya nggak terluka," ujar Dinda dengan nada datar. Kemudian, nadanya meninggi lagi ketika melihat Radit memutar tubuhnya ke dalam kamar. "Lho lo mau ke mana, Radit?"

"Ke tempat Aldo."

"Emang lo tahu tempat Aldo di mana?"

"Gue tahu kantornya Raya yang dulu."

"Oke, gue ikut. Pakai mobil gue aja."

"Kelamaan, pakai motor gue aja."

Radit memacu motornya dengan kecepatan 140km/jam membuat Dinda berkali-kali memekik ketakutan. "Dit, gue emang pengin masuk surga, tapi enggak sekarang juga". Radit tidak ada waktu untuk meladeni ocehan Dinda. Pikirannya berkecamuk, puluhan kali dia mengembuskan napas gusar. Bayangan Raya ketakutan di balik kungkungan tubuh Aldo menari-nari di pikirannya. Tidak. Tidak. Jangan lagi. Radit menepis bayangan itu dengan sebuah teriakan yang membuat Dinda tersentak, lalu menepuk bahunya. "Sabar, Dit. Kita pasti nemuin Raya". Radit tetap bungkam, tangan kanannya menarik gas lebih kuat.

"Dit, lo tunggu di sini dulu. Gue mau ngomong sama resepesionisnya," kata Dinda setengah memerintah ketika mereka sudah tiba di lobby kantor Aldo.

"Selamat pagi, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?" sapa resepsionis wanita dengan manis.

"Selamat pagi, saya mau bertemu dengan Pak Aldo, bisa?"

"Pak Aldo?"

"Iya, betul."

"Maaf, nama lengkapnya siapa, ya?"

"Emm..." Dinda menempelkan telunjuk di keningnya. Mencoba menebak-nebak nama lengkap Aldo karena dia hanya mengetahui nama panggilan laki-laki itu.

"Mbak, tolong ya jangan mempersulit." Radit tiba-tiba sudah berdiri di samping Dinda, menatap sang resepsionis dengan sinis.

"Sabar, Dit. Mbak-nya cuma nanya nama lengkap Aldo."

Radit menoleh pada Dinda dengan penuh harapan. "Lo tahu, Din?"

"Gue nggak tahu, Dit."

"Raya waktu itu kerja di divisi apa, lo tahu nggak?" Kali ini Radit benar-benar menggantungkan harapan pada Dinda.

"Oh ya, dia di accounting."

"Nah, Mbak, kita nggak tahu nama lengkap si Aldo-Aldo itu, tapi tolong ya biarkan kita bertemu dengan orang yang bernama Aldo di divisi Accounting." Radit menatap wajah resepsionis di hadapannya dengan lebih lembut, membuat wanita muda itu berhenti bernapas seketika.

Dinda menyadari kegugupan sang resepsionis. "Mbak, gimana?" tegurnya.

"Oh, ya!" Sang resepsionis terlihat gelagapan karena tepergok gugup saat ditatap oleh mata karismatik seorang Raditya. "Aldo dari divisi accounting maksudnya Pak Rivaldo Andrian? Kalau Pak Aldo, beliau sudah mengundurkan diri sejak satu bulan bulan lebih yang lalu."

"Apa?" Dinda menutup mulutnya yang terbuka lebar.

"Mbak, tolong jangan sembunyiin bajingan itu, ya."

"Mas, tolong bicara yang sopan, ya!" Rasa deg-degan yang sebelumnya dirasakan oleh sang resepsionis seketika menguap di udara.

"Dit, Dit, kayaknya Mbak-nya nggak bohong, deh. Ayo kita pergi, kita cari ke tempat lain sebelum security nendang kita dari sini!"

Radit tidak merespons. Dia sibuk meneliti ekspresi resepsionis di hadapannya berharap menemukan kebohongan, tapi nihil. Wanita itu tampak jujur.

"Lo nggak lihat tuh dari tadi security merhatiin kita? Ayo, ah!"

Tak sabar, Dinda segera menarik lengan kekar Radit yang kemudian dilepas oleh laki-laki itu sambil berteriak frutrasi. Bukan marah karena Dinda menarik lengannya, tapi murka karena Aldo juga tidak ada. "Aldo, abis lo kalo ketemu gue!"

"Dit, tenang, Dit. Lo bisa mancing keributan." Dalam hati Dinda, dia bersyukur Radit tidak meminta alamat Aldo pada resepsionis itu.

"Din, gue anterin lo ke kantor lo, ya. Gue mau nyari Raya."

"Nanggung, gue udah telat. Gue mending nggak masuk, gue juga mau nyari Raya sampai ketemu."

"Nggak, Din. Lo harus masuk. Tenang, gue pasti nemuin Raya. Kasih tahu gue alamat kantor lo."

"Tapi Dit,"

"Sekarang, Din!" perintah Radit setengah membentak.

Gue bahagia bisa nemenin lo walau harus sering-sering kena bentak kayak gini. Gue bahagia bisa ada di samping lo walau pikiran lo hanya untuk cewek lain. Gue bahagia bisa dibonceng sama lo walau lo nggak pernah mengizinkan gue untuk meluk lo dari belakang. Gue bahagia, Raditya. Dinda mengembuskan napas pelan.

--

Radit menyusuri jalanan di Cengkareng, mencari toko buku bekas favorit Raya. Dia belum pernah ke sana, tapi dia pernah mendengar Raya menceritakan di mana lokasi toko buku itu. Sebelum ini, dia pergi ke pasar grosir aksesori, tapi tidak menemukan informasi apa pun di sana.

Sepanjang jalan, dia berdoa dalam hati semoga bisa menemukan gadis yang dicintainya. Setelah tiba di tempat yang dicari, tanpa basa-basi Radit bertanya kepada ibu pemilik toko buku sambil menunjukkan foto Raya.

"Oh, mbak cantik yang ini? Dia tadi ke sini, cuma sebentar. Ngambil pesanannya yang kemarin."

Deg. Radit mendengar detak jantungnya sendiri. "Tadi, Bu? Tadi dia ke sini?"

"Iya, tadi dia ke sini. Kemarin juga dia ke sini beli buku, terus dia pesan buku yang lain yang mau diambil hari ini. Makanya, tadi dia ke sini lagi."

"Kalau boleh tahu, tadi dia ke sini sendiri atau ada temennya?" Pertanyaan terakhir, Radit menahan tangannya yang tiba-tiba gemetar.

"Berdua, Mas, sama cowok ganteng."

Radit semakin murka, dia seolah terseret ke dalam hutan yang gelap dengan aungan serigala yang bersembunyi. Parahnya, dia ingin menemukan serigala itu, lalu membunuhnya. Adegan Aldo yang ingin mencium Raya kembali terputar seperti film yang ditonton di bioskop. Radit mencengkeram kunci motor, hingga menimbulkan cetakan bersemu merah di telapak tangannya. Apa sebenarnya malam itu lo juga menginginkan ciuman dari Aldo? Apa sebenarnya sekarang lo kabur dari gue dan berlari ke pelukan Aldo?

Drrt... Drrt... Drrt.. Tiba-tiba ponsel Radit bergetar membuyarkan lamunan liarnya. Dilihatnya nama yang tertera di layar. Natasha. "Hallo," jawab Radit datar.

"Hallo, Dit. Kamu di mana? Aku di kantor kamu, nih." Terdengar suara manja di seberang sana.

"Oh ya, sorry. Aku lagi ada urusan di luar sebentar, ini aku langsung otw ke sana, ya. Kamu tunggu sebentar, ya." Radit tersentak, ternyata dia melupakan janjinya dengan seseorang bernama Natasha. ∩∩∩

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (17)
  • hayriin

    @Gladistia Wah, terima kasih banyak, ya. Senang bisa menghibur.

    Comment on chapter Ditolak Lagi
  • Gladistia

    Halo kak ^^
    Ceritanya seru, aku terhibur banget. Apalagi pas Raya sama Radit. Ada ajah kelakuan mereka....
    Ditambah sama Aldo yg....
    Ahhhh gemas. Aku tunggu next-nya ya kak.
    Semangat dan sukses untukmu ya kak ^^♡

    Comment on chapter Sambut Tanganku
  • hayriin

    @Akashisidu makasih ya, dear. 😊

  • Akashisidu

    senyum senyum sendiri bacanya. sensasi macam apa ini? niceee lanjutkan...

  • hayriin

    @enhaac Terima kasih, Kak. Aku sudah mampir ke spotmu hehe...

  • enhaac

    Enak banget bacanya.

  • Oreoreo

    Lanjuuuttt..
    Lucuu

  • shanntr

    aaa seru aku sukaa:))
    lanjutkan kak semangat yaa:)
    kunjungi sotry ku juga kalo sempet:))

  • rara_el_hasan

    @hayriinsama sama mbk Rini semangat ya

  • hayriin

    @yurriansan makasih, Kak. Iya, sama-sama. Udah ada bagian barunya nih hehe

Similar Tags
No Longer the Same
520      372     1     
True Story
Sejak ibunya pergi, dunia Hafa terasa runtuh pelan-pelan. Rumah yang dulu hangat dan penuh tawa kini hanya menyisakan gema langkah yang dingin. Ayah tirinya membawa perempuan lain ke dalam rumah, seolah menghapus jejak kenangan yang pernah hidup bersama ibunya yang wafat karena kanker. Kakak dan abang yang dulu ia andalkan kini sibuk dengan urusan mereka sendiri, dan ayah kandungnya terlalu jauh ...
Luka Adia
836      508     0     
Romance
Cewek mungil manis yang polos, belum mengetahui apa itu cinta. Apa itu luka. Yang ia rasakan hanyalah rasa sakit yang begitu menyayat hati dan raganya. Bermula dari kenal dengan laki-laki yang terlihat lugu dan manis, ternyata lebih bangsat didalam. Luka yang ia dapat bertahun-tahun hingga ia mencoba menghapusnya. Namun tak bisa. Ia terlalu bodoh dalam percintaan. Hingga akhirnya, ia terperosok ...