"Semua hal di dunia ini bisa berubah, termasuk keputusan dan hubungan kita."
-Raya Aurora-
Hari ini Raya mulai mengerjakan proyek yang diberikan oleh Aldo dan Bima. Dia sudah membawa barang-barangnya untuk tinggal selama 3 bulan di mess kantor penerbitan Rivmedia Utama, sesuai kesepakatannya dengan dua laki-laki itu. Ya, Raya memilih untuk mengubah keputusannya. Pendirian gadis itu goyah ketika melihat Aldo memelas. Lebih goyah, bahkan nyaris hancur ketika melihat Radit berpelukan dengan wanita seksi yang tidak dikenalnya. Bukan hanya pendirian, tapi hatinya juga hancur.
Raya mencintai Radit. Dia juga merasa Radit merasakan hal yang sama. Terlihat dan terasa dari sikap laki-laki itu selama ini. Namun, ternyata bukan hanya dia yang dicintai oleh Radit. Ternyata ada wanita lain. Kalau tidak ada perasaan apa-apa, kenapa Radit mengucapkan kata-kata cinta dan memeluk wanita itu dengan sangat mesra? Pikiran Raya benar-benar dibuat kacau. Sesekali dia masih menitikkan air mata ketika memikirkannya.
"Gue punya ruko satu lagi. Baru dibeli beberapa bulan yang lalu. Lo bisa pakai ruko itu buat usaha."
"Oh, iya? Banyak duit."
"Namanya juga buat investasi. Mau, ya? Daripada rukonya nggak terpakai, karena jujur aja gue masih bingung mau dibikin apa ruko itu. Mendingan buat lo, biar lo juga nggak usah pergi-pergi naik angkot buat ketemu pembeli."
"Strategis nggak tempatnya?"
"Strategislah. Lo kan pernah ke kantor gue, nah ruko itu persis di sebelahnya."
"Bukannya waktu itu di sebelah kantor lo, salon ya?"
"Iya, sekarang salonnya udah pindah. Jadi, rukonya dijual, terus gue beli."
"Oh, gitu. Berapa kalau gue mau sewa?"
"Nggak usah sewa-sewaanlah. Lo cukup tempatin, usaha yang rajin, dan bayar listrik. Beres."
"Nggak bisa gitu dong, Dit. Entar lo rugi."
"Gue nggak akan rugi, yang ada gue malah makin untung karena bisa ketemu lo setiap menit. Di kosan ketemu, di kantor juga ketemu. Auto semakin semangat gue nyari duit!"
Raya tersipu. Radit dengan gaya yang selalu blak-blakan mampu membuat jantungnya menggila. "Apaan?"
"Pokoknya nggak ada penolakan lagi, lo cukup jawab 'iya'. Kalau lo susah untuk bilang 'iya', lo cukup ngangguk aja sekali, tambah senyum kalau bisa."
Raya tersenyum lebar, lalu tertawa dengan manis sambil menjambak-jambak rambut Radit. "Radit ih, masih aja bercanda."
"So?" tanya Radit lagi, yang Raya jawab dengan anggukan dan senyuman.
Raya menyalahkan dirinya. Kenapa saat itu dia tersenyum, tersipu, dan terbuai oleh rayuan Radit? Kalau saja dia tidak membuka hatinya untuk Radit, mungkin laki-laki itu tidak akan bebas memorak-porandakan bangunan di dalamnya. Raya terus menyalahkan dirinya sendiri, hingga melupakan sebuah fatwa bahwa ketika seseorang berani jatuh cinta, detik itu juga dia harus siap patah hati.
Tiba-tiba hati dan pikiran yang hancur itu menggerakan jari-jarinya untuk mengetikkan sesuatu di atas keyboard. Mengisi layar yang masih putih sejak 3 jam yang lalu.
Aku Tanpamu
Karya: Rini Oktaviani
Tanpamu mentari masih hangat
Tanpamu bulan masih terang
Tanpamu hujan masih basah
Tanpamu semua masih baik-baik saja
Yang tidak baik-baik saja itu aku
Yang hancur itu aku
Yang kesepian itu aku
Yang rindu itu aku
Kemudian, Raya menutup laptopnya. Dia tidak tahan. Dia ingin menumpahkan kemarahannya pada Radit. Buru-buru dia berlari ke balkon belakang kantor sambil menahan air mata yang sebentar lagi akan tumpah ruah.
Di sana, dia menangis sejadi-jadinya. Otaknya memutar ulang kata demi kata yang Radit ucapkan pada wanita itu dan detik demi detik saat Radit memeluk serta membelai kepalanya dengan lembut sambil memejamkan mata. Radit berengsek! umpatnya penuh amarah.
Setelah puas menumpahkan kemarahannya, Raya kembali ke ruangan. Kemudian, ketika membuka kembali laptop yang merupakan fasilitas dari kantor, ada sebuah post it yang menempel di layar bertuliskan,
Raya, puisi kamu lumayan. Kayaknya kamu memiliki karakter tersendiri. Teknik penulisanmu memiliki cara sendiri dalam menentukan rima dan irama. Tapi kamu harus perbanyak membaca buku-buku puisi dan melakukan perenungan diri, karena puisimu masih terasa kaku.
-Tian, editor.
Raya membuka mulutnya lebar-lebar. Dia mendapat catatan dari editor? Di sini? Di atas secarik post it? Berarti, tadi sang editor mengunjungi meja Raya, lalu mengecek laptopnya.
Ada rasa senang sekaligus kesal bergejolak di dalam hatinya, lalu tiba-tiba gadis itu terpikir sesuatu. Kemudian, dia meninggalkan mejanya dan berlari mencari Tian, sang editor. Pasalnya, Aldo dan Bima belum memperkenalkan mereka berdua. Mereka belum bertemu, sementara dia butuh penjelasan dan butuh banyak berdiskusi tentang naskah puisi yang baru mulai ditulisnya.
Kenapa nggak ada sih, dia? Kenapa nggak ada di mana-mana? Kenapa cepat banget kaburnya? Ah, rese!
"Kenapa, Ray? Nyari siapa?" Yasmin―penulis yang baru direktut juga seperti Raya―menegurnya yang terlihat panik.
"Oh, hem, itu..." Raya jadi gelagapan sendiri. Dia juga bingung, kenapa dia harus gelagapan seperti ini, padahal seharusnya mudah baginya untuk mengatakan bahwa dia mencari sang editor.
"Nyari siapa, sih? Kok panik gitu?"
"Itu tadi..."
"Udah makan? Yuk, makan dulu! Ini udah jam 12 lebih." Tak sabar melihat Raya yang kikuk sendiri, Yasmin berinisiatif mengajaknya makan siang.
"Oh, iya? Nggak kerasa, ya. Aku belum makan, sih. Tadi juga nggak sempet sarapan. Ya udah, yuk kita makan dulu!"
"Ayo, ayo, ayo!" kata Yasmin lembut.
"Mau makan di mana? Makan apa?"
"Makan di balkon aja. Tadi catering-nya udah datang."
Raya pikir, Yasmin mengajaknya makan siang di luar kantor. Dia lupa bahwa Aldo dan Bima sudah menyiapkan makan siang untuk para penulis, editor, bagian administrasi, desain, dan karyawan mereka lainnya.
Kemudian, mereka pun makan siang berdua di balkon tempat Raya tadi menangis. Sambil makan, mereka mengobrol mengenai rasa makanannya, kehidupan pribadi, hingga topik pekerjaan.
"Yasmin, kamu kan penulis puisi, ya. Aku sering sih kepoin IG kamu. Puisi-puisi kamu keren dan bikin baper. Pembaca kamu juga udah banyak."
"Ya, begitulah."
"Tapi kenapa kamu direkrut untuk nulis senandika?"
"Kata Mas Bima, dia mau membaca puisi versi panjang punyaku. Nggak apa-apa, sih. Toh, perpindahan dari puisi ke senandika nggak begitu sulit."
"Iya juga, ya." Raya mengangguk-anguk. Dia mengingat-ingat isi buku puisi dan buku senandika milik teman-teman sesama penulisnya. Sepertinya memang benar, penulis puisi akan bisa menuliskan senandika. Begitu pun dengan penulis senandika, mungkin akan mudah untuk menuliskan puisi.
"Kamu sendiri kan terkenal sebagai penulis novel di Wattpad. Pembaca kamu udah jutaan dan mereka kayaknya setia dan cinta banget sama cerita-cerita yang kamu tulis. Kenapa kamu direkrut buat nulis puisi? Penerbit kan biasanya kalau lihat cerita yang jumlah readers-nya jutaan pasti langsung ijo matanya. Uang, uang, uang!"
Raya sontak melepaskan sendok, lalu menutup mulutnya yang terkekeh. "Kamu, nih!"
"Aku serius, Ray. Maksudnya, pasti diterbitin sama mereka karena mereka melihat peluang buku itu akan best seller kalau diterbitkan. Ya, tinggal dirombak dikitlah sama editornya."
"Iya, maaf. Aku paham maksud kamu. Awalnya, aku juga berpikir begitu. Sampai beberapa hari yang lalu pun aku masih berpikir begitu. Tapi nggak ada tuh satu pun penerbit yang melirik ceritaku. Aku ngirim naskah pun ditolak terus sampai 26 kali. Lalu, Kak Aldo dan Mas Bima datang menawariku proyek buku puisi ini."
"Begitu, ya." Sebenarnya, Yasmin merasa ada yang janggal dengan perekrutan Raya. Terlebih, kenapa hanya Raya yang diminta tinggal di mess, sementara dirinya tidak? Meskipun begitu, Yasmin mengagumi kegigihan Raya dalam menulis walaupun sudah ditolak puluhan kali oleh penerbit.
"Mas Bima bilang, dia ingin tulisanku yang masih fresh alias yang belum pernah aku tuliskan. Kayaknya Mas Bima lebih suka puisiku daripada novelku, padahal kan aku nulis puisi jarang banget. Kalau kata Mas Tian, puisiku masih kaku."
Ekspresi wajah Yasmin berubah total menjadi lebih sumringah. "Kamu udah ketemu sama Mas Tian?"
"Belum, belum. Aku belum ketemu. Tadi Mas Tian cuma nulis note di laptop aku. Dia mengomentari puisi yang baru aja aku tulis."
Jawaban Raya membuat Yasmin bingung. "Kok gitu? Kalian nggak ketemu tadi?"
"Enggak."
"Yah, sayang banget! Kamu menyia-nyiakan kesempatan."
"Iya, seharusnya aku bisa ketemu dan berdiskusi sama dia."
"Bukan cuma itu, Ray."
"Terus apa lagi, Yas?"
"Mas Tian editor kamu itu ganteng banget!" Mata Yasmin berbinar-binar ketika mengucapkannya. Dia berusaha menyampaikan kabar penting bagi kaum hawa.
"Ah, masa sih?" tanya Raya datar. Dia tidak tertarik mendengarkan kabar itu. Baginya, laki-laki tertampan adalah... Ah, bukan. Cowok paling ganteng bukan dia. Bukan. Bukan dia lagi.
"Iya, beneran. Manis deh manis, bukan ganteng. Adem dilihatnya. Ubin masjid mah kalah," tutup Yasmin, lalu meneguk habis air dingin seolah kehabisan cairan. ∩∩∩
@Gladistia Wah, terima kasih banyak, ya. Senang bisa menghibur.
Comment on chapter Ditolak Lagi