"Kamu seperti gaya gravitasi bumi. Selalu menarikku untuk jatuh—jatuh cinta. Harus kamu tahu bahwa gaya gravitasi tidak bertanggung jawab atas apa pun yang dirasakan oleh benda jatuh. Persis seperti kamu."
-Rivaldo Andrian-
Raya mengatur napas dan detak jantungnya yang ingin melarikan diri dari hadapan laki-laki yang sedang duduk sambil menatapnya tajam. Pandangan gadis itu berubah dalam satu malam. Tidak seperti biasa. Dia masih merasa aneh dan takut pada Aldo. Namun, dia harus menemui laki-laki itu untuk menyampaikan keputusannya satu kali lagi.
"Selamat sore, Raya." Aldo mengulang sapaan yang sebelumnya tidak dijawab oleh Raya. Gadis itu masih meneliti wajah Aldo yang babak belur. Ada sedikit rasa kasihan pada laki-laki itu di hatinya.
"Selamat sore, Kak Aldo. Aku mau menyampaikan keputusanku satu kali lagi. Mohon maaf yang sebesar-besarnya, aku tetap nggak bisa menerima penawaran dari Kak Aldo dan Mas Bima. Aku mengucapkan banyak terima kasih, Kak Aldo dan Mas Bima sudah mau menawari kerjasama yang memang aku incar-incar sejak lama dari penerbit," tutur Raya, langsung pada tujuan. Dinda memang menyarankan agar Raya menerima penawaran dari Aldo, tapi gadis itu sudah menetapkan keputusannya sendiri.
"Aku bilang, aku benci penolakan! Kamu harus menerima penawaran ini, Raya."
"Kak, aku menghormati Kak Aldo sebagai teman dan kakak yang baik. Tolong, jangan membuat rasa hormatku pada Kak Aldo menghilang."
Aldo bergeming. Seakan ada batang pohon besar yang tumbang di atas kepalanya. Dia ingin terkapar, tapi ego membuatnya bertahan sebisa mungkin. "Raya, kamu..."
"Aku punya pilihan sendiri untuk hidupku dan aku nggak bisa terkurung di sini. Sekali lagi, aku minta maaf. Aku pamit, permisi." Raya bangkit dari tempat duduknya dan bersiap melangkahkan kaki meninggalkan ruangan yang bercat biru tua itu. Dia tidak mau berlama-lama dalam situasi yang tidak biasa dengan Aldo.
"Kamu tahu, Raya?" tanya Aldo tiba-tiba, membuat Raya menghentikan langkah, lalu menoleh. "Kamu seperti gaya gravitasi bumi. Selalu menarikku untuk jatuh—jatuh cinta. Kamu harus tahu bahwa gaya gravitasi tidak bertanggung jawab atas apa pun yang dirasakan oleh benda jatuh. Persis seperti kamu."
"Kak Aldo," ada setitik perasaan bersalah di hati Raya saat mendengar Aldo mengucapkan kata-kata itu. Sebenarnya Raya tidak sepenuhnya mengerti, tapi dari perkataan itu sedikitnya dia tahu bahwa menurut versi Aldo, dia telah menyakiti, "tapi apa yang udah aku lakuin? Aku nggak ngelakuin apa-apa." Raya membela diri karena merasa selama ini dia sudah menjalani hidupnya dengan benar tanpa melakukan tebar pesona ke kaum adam, apalagi memberikan harapan.
"Mungkin, kamu nggak sadar. Senyum kamu, tawa kamu, semangat kamu, prinsip hidup kamu, semuanya bikin aku terlena. Aku sadar kamu nggak sedikit pun punya perasaan yang lebih buat aku, tapi saat aku mencoba untuk menjauh, kamu selalu berhasil menarikku untuk kembali. Namun, faktanya, perasaan kamu memang bukan buat aku, tapi buat seseorang bernama Radit." Raya tersentak, dia sama sekali tidak menyangka Aldo akan menyatakan hal yang belakangan ini dia pertanyakan. "Aku tahu kamu pergi ke Serang ketemu kakaknya. Aku tahu kamu sama Radit nginap di sana."
"Kak-Aldo-buntutin-aku?" Raya terbata. Dia benar-benar tidak bisa menebak jenis manusia apa laki-laki di hadapannya ini.
"Ya, setiap saat tanpa kamu tahu."
Kali ini Raya yang bergeming. Satu kalimat yang baru saja Aldo ucapkan benar-benar di luar dugaannya. Namun, kemudian, dia berusaha memberanikan diri untuk mengesampingkan keterkejutan dan mencoba menjelaskan. "Kak, aku ke sana untuk..."
"Raya, tinggallah di dekat aku. Only three months. Cuma tiga bulan, Raya," potong Aldo. "Aku janji nggak akan nyentuh kamu, nggak akan nyakitin kamu. Aku akan bikin kamu jadi penulis profesional, tapi kamu tinggal di samping aku." Aldo memohon, raut wajahnya menunjukkan kesedihan yang mendalam. Dia menatap Raya dengan tatapan nanar, lalu menundukkan wajah.
"Kak Aldo." Raya merasa iba. Dia menghampiri laki-laki itu, lalu menyentuh pundaknya. Raya merasa harus menebus kesalahannya walaupun dia yakin tidak melakukan kesalahan apa pun. Dia merasa harus menebus kesalahannya walau dengan cara apa pun.
"Raya, masih adakah kesempatan untuk aku?"
--
"Selamat pagi, Raditya." Raya tersenyum manis pada Radit yang sudah rapi dengan kemeja berwarna navy dan celana jinsnya.
"Percuma lo senyum manis karena schedule gue hari ini adalah nyuekin lo."
"Kok gitu?"
"Ya, emang begitu."
"Katanya Radit mau jagain Raya, tapi mana?" Raya menagih janji yang Radit ucapkan pada malam ketika laki-laki itu pulang ke indekos dengan wajah babak belur usai baku hantam dengan Aldo.
"Nyuekin bukan berarti nggak ngejagain." Radit, bahkan dengan wajah juteknya masih bisa memberikan perhatian pada Raya. "Lagian ini gara-gara lo juga. Kenapa kemarin sore lo pergi tanpa pamit sama gue? Gue udah bilang, lo di kosan aja, jangan keluar-luar. Kapan sih lo bakalan dengerin gue?"
Kemarin, ketika Radit menemani Dinda membeli sepatu ke mal, laki-laki itu meminta Raya untuk tinggal di indekos saja; tidak boleh pergi ke mana-mana. Kata Radit, Raya harus beristirahat dan menenangkan diri setelah kejadian di toko bersama Aldo malam itu. Namun, ketika Radit dan Dinda pulang ke indekos, Raya tidak ada. Beberapa jam kemudian, gadis itu baru pulang dengan wajah penuh kebimbangan, membuat Radit semakin mengkhawatirkannya. Radit bertanya, Raya dari mana dan apa yang terjadi. Namun, Raya tidak bisa menjawabnya dengan jujur bahwa dia bertemu dengan Aldo dan mendengarkan semua keluhan, perasaan, serta permintaan Aldo pada dirinya. Gadis itu hanya menjawab, dia hanya berjalan-jalan sebentar, mencari udara segar.
"Radit, lo tahu apa persamaan lo sama pasar, lo sama sandal, lo sama plastik, lo sama lakban?"
"Jelak amat gue disamainnya. Nggak tahu, kebanyakan. Pusing gue."
"Nah itu, jelek dan bikin pusing!"
"Lho, kok? Gue kan ganteng, Raya. Lo nggak lihat nih, gue udah ganteng banget gini? Apa lo mau ngelihat dari jarak paling deket?" Radit mendekatkan wajahnya pada wajah Raya yang langsung dihadiahi tinjuan ringan dari gadis itu.
"Awas, ah! Gue mau pergi!" Raya meneguk habis minuman di gelas, lalu meletakannya di wastafel.
"Lo bukannya mau ke toko? Bareng gue aja. Kan gue udah bilang, pulang pergi bareng," ajak Radit, lalu mengikuti langkah Raya yang terburu-buru.
Raya menatap Radit sekilas, lalu meraih tas yang tergantung di sandaran kursi. "Gue mau ke toko buku bekas dulu, mau cari referensi buat nulis. Entar gue nyusul ke kantor lo."
"Buka toko harusnya pagi-pagi, Raya," ujar Radit memberi saran.
"Kalau pagi pembelinya masih pada sibuk kuliah, kerja, dan ngurus anak. Mending gue ke toko buku dulu."
"Nggak mau gue anter?" Radit melembutkan nada bicaranya.
"Nggak, ah. Gue nggak mau diintilin sama pengangguran."
Radit berhenti mengikuti gadis itu. "Lah, gue bukan pengangguran. Gue juga punya kerjaan."
"Ya udah, urusin kerjaan lo biar nggak kayak pengangguran. Jangan gangguin gue mulu. Bye!" Raya pun menghilang dari pandangan Radit. Gadis itu meninggalkan indekos, lalu berjalan menuju stasiun kereta.
Kalau ditinggal mulu gini, kapan majunya hubungan gue sama dia? tanya Radit dalam hati, lalu mengacak-acak rambutnya yang sudah dioles pomade. Dia tidak sadar, ada seseorang yang memperhatikannya sejak satu jam yang lalu.
--
Raya tiba di sebuah toko buku bekas di depan Kantor Pos Cengkareng, Jakarta Barat, dengan wajah penuh keringat. Toko buku ini sudah menjadi favoritnya. Dia sering berkunjung untuk membeli novel terbitan lama, lalu mencari referensi dari dalamnya.
Kenapa Raya memilih toko buku bekas? Alasan pertama adalah karena menghemat biaya. Alasan berikutnya adalah dengan membeli novel terbitan lama yang sudah tidak dijual di toko buku besar, Raya dapat belajar gaya penulisan dari penulis-penulis lama yang tentunya lebih berpengalaman daripada penulis baru.
"Neng, mau beli novel lagi?"
"Iya, Bu. Apa ada novel yang baru dateng?"
"Ada, Neng. Novel dari penulis yang Neng suka. Nih, Neng." Ibu pemilik toko buku tidak pernah menanyakan siapa nama Raya, tapi dia hafal betul nama penulis favorit seorang Raya Aurora.
"Makasih ya, Bu. Saya lihat dulu." Raya membuka halaman novel yang diberikan oleh si ibu yang hari ini mengenakan baju atasan bunga-bunga dan rok di bawah lutut. Raya membacanya sekilas dan membuka-buka halamannya secara acak. Kemudian, ketika akan membuka novel dengan judul yang berbeda, nada notifikasi di ponselnya berdering menampilkan nama 'My Radit' di kotak masuk aplikasi WhatsApp. Nama kontak yang saat itu Radit buatkan untuk dirinya sendiri.
Jangan ke mana-mana lagi. Selesai beli buku, langsung ke kantor.
Raya menaikkan satu alisnya membaca pesan bernada larangan sekaligus perintah ini. Radit semakin hari semakin sering memerintah dan melarang-larangnya. Tak bisa dipungkiri oleh Raya, dia merasa nyaman dengan semua perlakuan Radit, membuatnya merasa hangat karena ada orang lain yang memperhatikannya.
Jangan beli makanan. Gue udah siapin makanan kesukaan lo di kantor.
Raya tersenyum membacanya. Teringat kata-kata Radit tadi pagi bahwa hari ini jadwal pria itu adalah mengabaikannya, tapi realitanya hal itu tidak terjadi. Radit tetap memperhatikan gadis itu.
Jangan tebar pesona ke abang-abang penjaga stasiun. Mereka nggak lebih ganteng dari gue.
Raya membuka mulutnya agak lebar, terkejut dengan pesan aneh ini, tapi kemudian dia senyum-senyum sendiri.
Jangan senyum-senyum baca chat gue, entar lo dikira gila.
Raya mendesis kesal. Kenapa cowok ini bisa tahu? Dia menyapukan pandangan ke sekeliling, takut-takut kalau Radit membuntutinya, tapi nihil. Tidak ada Radit di sekitarnya, yang ada hanyalah ibu si pemilik toko yang sedang menatapnya dengan wajah usil.
"Neng, Neng lagi BBM-an sama pacar, ya? Dari tadi senyum-senyum aja," goda si ibu.
Raya tertawa geli mendengar si ibu menyebut 'BBM-an', mungkin yang si ibu tahu hanyalah BBM. "Ibu merhatiin aja." Raya memberikan senyuman dengan wajah memerah tanpa membenarkan ataupun menyanggah soal pacar. Kemudian, dia melanjutkan membaca pesan dari Radit yang masih tersisa.
Jangan kuncir rambut lo di tempat umum, apalagi di depan cowok.
Kali ini Raya benar-benar dibuat memutar otaknya. Radit selalu saja melarangnya untuk menguncir rambut, apalagi di depan cowok. Apa maksudnya? Apa hubungannya menguncir rambut dengan cowok? Radit aneh. Raya kemudian menutup aplikasi WhatsApp, lalu memasukkan ponselnya ke dalam tas tanpa membalas satu pun pesan dari Radit.
Baru saja Raya selesai menutup tasnya, ponsel gadis itu kembali berdering. Kali ini bukan sekadar nada notifikasi, melainkan nada dering yang agak panjang. "Hallo, Assalammualaikum."
--
Raya menaiki anak tangga menuju ruangan kantor Radit setelah menyapa resepsionis di lantai satu. Dia membalas senyum dan sapaan tiga orang karyawan Malvino Wedding Organizer yang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Raya terus berjalan hingga melihat pintu ruangan Radit terbuka sedikit. Dia menyentuh knop pintu dan bergerak mendorongnya, tapi gerakan kecil itu terhenti ketika mendengar sebuah suara dari dalam ruangan. Suara itu membuat dunia Raya seakan runtuh di bawah kakinya. Raya menahan napas, seakan ada pecahan kaca menusuk gumpalan hatinya yang baru saja dipenuhi oleh bunga lavender.
"Aku memang sayang sama kamu. Aku ingin kamu ada di hidupku selamanya."
Kepala Raya seakan dihantam puluhan kali oleh pukulan beduk masjid. Suara itu milik seseorang yang belakangan memenuhi pikirannya. Raditya.
"Aku tahu." Terdengar suara wanita menjawabnya.
Raya memberanikan diri untuk melihat ke dalam ruangan. Di sana, seorang wanita sedang berdiri membelakangi pintu dengan mengenakan gaun pendek nan ketat berwarna hitam. Wajah wanita itu sangat dekat dengan wajah Radit, bahkan terlihat menempel. Raya berulangkali mengerjapkan mata, berharap apa yang disaksikannya ini hanyalah mimpi buruk, tapi nyatanya ini bukan mimpi. Sepersekian detik kedua insan di dalam ruangan itu tak bersuara. Di detik berikutnya, wanita itu sudah menenggelamkan kepalanya di dada bidang milik Radit. Kemudian, Radit mengelusnya dengan lembut sambil memejamkan mata.
Raya melangkah mundur perlahan sambil membekap mulutnya yang hampir saja mengeluarkan isak tangis. Dia tak ingin Radit ataupun wanita itu mengetahui keadaannya yang sudah kacau dengan deraian air mata. Menyedihkan. Raya ingin sekali merevisi pengakuan yang baru saja disadarinya saat berada di toko buku bekas. Pengakuan yang berasal dari jawaban yang selama ini dia cari-cari. Pengakuan bahwa Raya memang mencintai Radit, entah sejak kapan. Raya merutuki dirinya sendiri karena dengan bodohnya berhasil ditipu oleh seorang Raditya—pria yang sudah memiliki kekasih. Bajingan! Raya mengumpat dalam hati.
"Gue bukan milik lo, Radit."
"Lo milik gue. Oke, gue akan minta dengan kata-kata yang baik. Raya Aurora, izinkan Raditya Malvino untuk lebih membahagiakan hidup lo dan menjadikan lo sebagai milik gue. Mungkin, gue banyak minusnya, tapi gue juga banyak plusnya," ujar Radit dengan nada serius walaupun kata-katanya membuat Raya terkejut dan tertawa kecil.
"Apa sih, Dit?"
"Jadi, gimana?"
"Maaf, Dit. Gue masih nyaman sendiri. Gue cukup bahagia dengan hidup gue yang sekarang."
Percakapannya dengan Radit beberapa waktu lalu terputar otomatis di kepala. Seseorang yang menyatakan niat untuk lebih membahagiakannya ternyata adalah orang yang justru lebih menyiksanya. Seseorang yang mengklaim kepemilikan atas dirinya ternyata tidak menjadikan dia satu-satunya. Hampir saja Raya termakan oleh rayuan laki-laki itu. Raya benar-benar tidak menyangka. Diam-diam dia marah pada dirinya, kenapa bisa sepolos dan sebodoh ini dalam hal cinta? Di mana kepekaan seorang penulis novel romance yang selama ini diagung-agungkannya?
Ini pertama kalinya Raya menjatuhkan hati pada seorang laki-laki, tapi ternyata cinta pertama tak seindah kata-kata puitis yang sering dia tulis. Sekali lagi Raya ingin merevisi pengakuannya, serta ingin melupakan adegan itu. Ingin menganggap bahwa dia tidak pernah melihatnya sama sekali. Dia ingin Radit menjauh dari hidupnya. Bukan, dia ingin menjauh dari hidup Radit.
Ternyata, tertarik oleh gaya gravitasi bumi itu sungguh sakit, ucapnya dalam hati. ∩∩∩
@Gladistia Wah, terima kasih banyak, ya. Senang bisa menghibur.
Comment on chapter Ditolak Lagi