"There is not something wrong. I just did everything what I want to do."
-Rivaldo Andrian-
Pukul 21.00 malam, Raya sudah akan menutup tokonya dan pulang ke indekos setelah seharian menata dan memfoto barang dagangan serta melayani satu dua pembeli yang mampir. Namun, tiba-tiba Aldo datang, padahal tadi kata laki-laki itu―melalui sambungan telepon―dia akan mengunjungi Raya besok.
Raya mempersilakan Aldo masuk dan menyalakan lagi lampu lantai satu. Mereka mengobrol mengenai toko Raya, karena Aldo bertanya ini itu. Kemudian, ketika Raya mengatakan bahwa ruko yang dia tempati ini milik Radit, Aldo geram. Dia menatap Raya tajam, "Kamu bilang ruko ini punya Radit?"
"Iya, Kak. Ini ruko punya Radit. Dia nyuruh aku buat ngisi. Dia bilang sayang kalau nggak diisi. Tadinya ruko ini ada yang nempatin. Terus orangnya pindah, dan rukonya dibeli sama Radit. Dia masih bingung mau dijadiin apa, makanya..."
"Oke, oke, aku ngerti." Aldo memotong penjelasan Raya. "Terus, gimana email kontrak yang aku kirim? Kamu udah baca semuanya?"
"Udah, Kak, tapi maaf..."
"Maaf kenapa?"
"Setelah aku pikir matang-matang, aku nggak bisa nerima tawaran dari Kak Aldo dan Mas Bima. Maaf."
"Kenapa, Ray?"
"Aku nggak bisa ninggalin usaha aku ini. Ini memang masih kecil, dan aku masih sering rugi daripada untung, tapi aku udah cinta sama usaha ini."
"Melebihi cinta kamu pada menulis? Melebih cita-cita kamu untuk menjadi penulis profesional?" Nada bicara Aldo meninggi, wajahnya menegang. "Raya, aku udah bikin usaha penerbitan buat kamu. Kamu tinggal nulis buku yang baik dan fokus, terus aku cetak dan terbitkan. Lalu, kamu akan menjadi penulis profesional. Aku akan bikinin kamu acara launching dan bedah buku di toko buku terbesar. Buku kamu akan berjejer di seluruh toko buku di Indonesia. Bahkan, aku bisa minta orang untuk menerjemahkan buku kamu ke dalam bahasa asing agar bisa dijual ke luar negeri. Kamu akan terkenal, Raya. Setelah buku pertama kamu sukses, aku akan menerbitkan naskah-naskah novel kamu yang berulang kali ditolak oleh para penerbit bodoh itu. Itu 'kan cita-cita terbesar kamu?"
"Kak..."
"Kenapa, Ray? Kenapa kamu lebih memilih usaha daripada menulis? Kenapa kamu lebih memilih tinggal lebih dekat dengan Radit daripada aku? Kenapa, Raya?"
"Kak, bukan gitu maksudnya."
"Jadi, gimana maksudnya?" Aldo mendekati Raya, membuat gadis itu mundur satu langkah. Aldo semakin mendekatinya dan Raya semakin mundur, hingga terpojok di dekat lemari. "Aku tahu, penulis itu makhluk yang sangat peka. Jadi, nggak mungkin kamu nggak menyadari perasaan aku ke kamu."
"Kak, maaf, kita bisa bicara baik-baik." Raya masih berusaha menutupi wajah gugupnya dalam kondisi ini. Aldo benar, beberapa waktu lalu, setelah berpikir keras mengenai kenapa sikap Aldo menjadi lebih perhatian, Raya sudah menduga dan menyadari bahwa Aldo menyukainya. Namun, yang belum Raya pahami adalah bagaimana karakter asli Aldo ketika merasa dirinya tidak dianggap.
"Besok, aku nggak mau tahu. Kamu harus datang ke kantor untuk menandatangani kontrak kerjasama dan mulai menulis. Bawa barang-barang kamu. Atau nggak perlu, nanti aku beliin barang-barang baru buat kamu."
"Kak Aldo, aku tetap nggak bisa. Maaf."
Aldo menggila. Dia benci penolakan. Hawa napsu memenuhi kepalanya. Aldo mencengkeram kedua tangan Raya, lalu mendekatkan wajahnya pada wajah gadis yang kini sudah tak kuasa menutupi kegugupan dan ketakutannya. "Aku benci penolakan. Aku benci nggak dihargai," hardiknya, lalu mendekatkan bibirnya pada bibir Raya yang sontak tertutup rapat.
Raya meronta, tapi nihil. Kuncian Aldo terlalu kuat. Dalam hati, dia memanggil nama Radit. "Lo isi aja ruko gue yang kosong. Nanti kita berangkat dan pulang bareng, biar lo aman. Kalau gue ada kerjaan di luar kantor, pulangnya gue usahain jemput lo dulu di toko terus kita pulang bareng." Kalimat Radit ini terngiang di telinganya. Terus lo kenapa belum jemput gue sekarang, Dit? Raya bertanya-tanya dalam hati. Dia benar-benar membutuhkan Radit saat ini.
Satu detik, dua detik. Bibir mereka semakin mendekat. Raya semakin takut. Dia ingin menghilang detik ini juga.
"Jangan sentuh dia, Bajingan!" Teriakan dahsyat meledak dari ambang pintu toko yang dibiarkan terbuka sedari tadi. Aldo terkejut ketika menoleh ke belakang. Radit berdiri dengan tatapan penuh emosi, tangannya mengepal kuat-kuat. "Menyingkir dari cewek gue!"
Aldo tidak menghiraukan gertakan Radit, dia masih mencengkeram kedua tangan gadis yang Radit sebut ceweknya itu. "Gue sama Raya cuma lagi mau senang-senang sedikit. Nggak ada urusannya sama lo, dan dia bukan cewek lo!"
Radit mengambil langkah seribu, lalu mendorong pundak Aldo dan meninju batang hidungnya, hingga tersungkur bersamaan dengan teriakan Raya yang memenuhi ruangan toko. Aldo menyeka darah yang mengalir dari hidungnya, lalu membalas perbuatan Radit, hingga Radit tersungkur. Satu:satu, pikir Aldo.
"Stop! Stop it! Tolong jangan saling pukul lagi. Udah, cukup." Raya berteriak sambil meneteskan air mata. Gue emang memanggil lo dalam hati, tapi bukan untuk berantem, Radit.
Aldo tidak puas. Lebih-lebih Radit. Mereka tidak memedulikan teriakan dan tangisan Raya. Keduanya saling pukul lagi, hingga Raya memilih untuk berlari meninggalkan adegan baku hantam itu.
--
Malam ini Raya hanya ingin menangis. Sudah lama dia tak melakukannya. Sudah lama tak ada yang mampu membuatnya meneteskan air mata.
Aldo benar-benar berubah, atau memang itu wujud Aldo yang sebenarnya. Raya tak tahu pasti. Apa sebegitu besar kesalahannya pada Aldo, hingga laki-laki itu semarah tadi? Raya terus mempertanyakan hal ini di dalam benaknya.
Radit, lo kenapa mukul Kak Aldo? Lo pikir, lo jagoan? Gadis itu kembali menyalahkan Radit. Gimana keadaan lo sekarang? sambungnya. Diam-diam dia mengkhawatirkan kondisi laki-laki itu.
"Ray, Raya! Lo ada di dalam?" Dinda memanggil-manggilnya dari luar.
Dengan buru-buru, Raya membasuh wajahnya yang sudah banjir air mata. Dia bercermin sekilas, wajahnya benar-benar buruk, tapi dia harus menemui Dinda. Dia ingin bercerita pada sahabatnya itu.
"Ya, Din," sahut Raya sambil membuka pintu kamarnya.
"Raya, lo kenapa? Nangis? Nangis kenapa?" cecar Dinda dengan wajah panik. Kemudian, tanpa dipersilakan, Dinda memasuki kamar Raya, lalu duduk di kasurnya. "Kenapa, kenapa? Ceritain ke gue."
Raya pun menceritakan semuanya. Mulai dari tawaran Aldo, lalu tawaran Radit, hingga kejadian baku hantam tadi di tokonya. "Gue nggak nyangka Kak Aldo kayak gitu," katanya, lalu membayangkan wajah Aldo yang berubah menjadi iblis.
"Menurut gue, wajar sih Aldo marah karena lo nolak tawaran dia. Dia udah berjuang lho, Ray, buat lo. Dia udah resign dari kantor bokapnya yang pasti menggaji dia dengan nilai yang tinggi. Terus dia buka penerbitan dan nawarin lo kerjasama yang nilai kontraknya besar-besaran. Itu semua khusus buat lo, karena dia cinta sama lo. Lo malah nolak. Kecewalah dia."
"Tapi nggak gitu juga caranya."
"Iya sih, cara dia sedikit salah. Ya namanya juga orang kecewa dan marah. Tapi menurut gue nih ya, Ray, lo mending pilih kejar cita-cita lo sebagai penulis deh daripada nerusin usaha. Kapan lagi coba ada yang mau mensponsori penulis amatir?"
"Jadi, menurut lo, gue masih amatir?" Raya melototi Dinda yang mengejeknya.
"Ya iya, 'kan?" sahut Dinda, lalu tertawa. Semakin mengejek Raya.
"Sial lo!"
"Pokoknya gitu, Ray. Menerima tawaran Aldo itu lebih baik buat hidup lo. Lebih menjanjikan. Apalagi nilai kontraknya pasti dibayar di muka. Terus kalau bukunya terjual, lo dapat royalti sekitar 10-15%. Ah, emang gue nggak tahu yang kayak gitu-gitu? Walau bukan dari kalangan literasi, gue juga baca-baca dikit cara main penerbit dan penulis di IG-IG," tutup Dinda yang membuat Raya tertawa terpingkal-pingkal. Dia tidak menyangka Dinda mengetahui hal semacam ini. ∩∩∩
@Gladistia Wah, terima kasih banyak, ya. Senang bisa menghibur.
Comment on chapter Ditolak Lagi