"I don't need your answer yes or no cause you're my definition of yes."
-Raditya Malvino-
Jalanan tampak sepi. Hanya ada beberapa motor yang lalu lalang sejak Raya berdiri di bawah pohon pinggir trotoar. Awalnya Radit ingin menemani Raya untuk melakukan cash on delivery atau COD dengan pembeli, tapi Raya menolaknya dengan halus karena tidak ingin merepotkan. Terlebih, Raya masih merasa syok karena kecupan tadi malam. Gadis itu merasa syok setengah mati, walaupun dia terlihat biasa saja di hadapan Radit. Walau bagaimana, kecupan itu adalah kecupan pertama yang Raya terima. Dia belum pernah berpacaran dan belum pernah melakukan kontak fisik seperti itu selama 26 tahun usianya.
Tepukan di pundak, menyadarkannya dari lamunan. Seorang perempuan muda tersenyum, lalu menyapanya. Dengan ramah, Raya pun membalas. "Hallo. Mbak Salsa, ya?"
"Iya, betul."
"Mbak, ini pesanannya," kata Raya sambil menyodorkan sebuah plastik berukuran sedang pada perempuan yang bernama Salsa itu.
"Makasih ya, Mbak Raya." Salsa membuka plastik yang Raya sodorkan, lalu menatapnya takjub. "Wah, cantik-cantik banget flowercrown-nya! Untung ada Mbak Raya, jadi anak saya bisa pakai aksesori buat acara di sekolahnya besok."
"Iya, sama-sama, Mbak. Semoga anak Mbak Salsa suka ya sama flowercrown-nya dan semoga acaranya besok sukses."
"Aamiin. Anak saya pasti suka sama bunga-bunga pink kayak gini," ujar Salsa sambil tersenyum dan memasukkan plastik yang berisi aksesori itu ke dalam sebuah tas besar. Kemudian, dia mengeluarkan sejumlah uang dari dalam dompetnya. "Oh ya, ini uangnya. Kapan-kapan saya order lagi ya, Mbak Ray."
"Siap. Makasih banyak ya, Mbak Salsa."
Transaksi cash on delivery pun selesai. Setelah ini, Raya tidak ada agenda apa-apa lagi. Dia hanya ingin beristirahat di kamar indekos tercintanya. Maka dari itu, dia bergegas pulang dengan menaiki mobil angkutan umum.
Di dalam mobil, Raya tersipu-sipu mengingat pembelinya puas dengan aksesori yang tadi dia bawakan. Raya merasa pekerjaan ini bukan hanya memberikan keuntungan padanya, tapi juga membantu para pelanggan. Dalam benaknya, Raya yakin suatu saat usaha ini akan berkembang dan menjadi mata pencaharian yang bisa diandalkan.
Tiba-tiba mobil yang Raya tumpangi mengerem mendadak bersamaan dengan seorang laki-laki yang terjatuh di bawah kakinya. Membuyarkan semua khayalan indah gadis itu, lalu menggantinya dengan keterkejutan yang luar biasa.
"Maaf. Maaf ya, Mbak. Angkotnya ngerem mendadak. Saya tadi mau pindah ke situ," ujar laki-laki itu. Usianya ditaksir 35 tahun-an.
"Iya, nggak apa-apa," sahut Raya, tapi pandangannya masih tertuju pada orang asing itu. Ada perasaan kesal yang ditahannya dalam hati.
Kemudian, situasi di mobil menjadi penuh sesak dengan laju yang semakin kencang. Raya rasa supirnya sudah tidak waras atau mabuk.
"Kiri, Bang!" seru si laki-laki.
Mobil pun mengerem mendadak lagi dan berhenti selama sekian detik, lalu si laki-laki turun dengan tergesa-gesa. Kemudian, ketika mobil sudah kembali melaju selama beberapa menit, seorang laki-laki lain yang duduk tepat di samping kanan Raya melakukan hal yang sama; turun dengan tergesa-gesa.
"Kok pada turunnya mendadak, sih? Orang mah kalo mau turun bilangnya dari jauhan dikit, jadi mobil nggak ngerem mendadak. Pasti kan udah tahu mau turun di mana," protes seorang ibu yang diiyakan oleh ibu-ibu lainnya di dalam mobil.
Raya pun merasa ada yang janggal sedari tadi, tapi dia diam saja. Kemudian, dia teringat ponselnya. Dia ingin mengecek apakah Radit sudah membalas pesannya atau belum, karena beberapa saat yang lalu dia mengirim pesan pada laki-laki itu一mengabari bahwa dirinya sudah selesai melakukan cash on delivery一Radit yang memintanya melakukan itu saat mereka masih berada di indekos.
"Cari apa, Neng?" tanya si ibu berbaju orange ketika melihat Raya mengubek-ubek tasnya.
"HP saya, Bu." Raya menjawab singkat.
"Ada nggak, Neng?" tanya si ibu berbaju hitam.
Jantung Raya berdebar hebat. Dia tak ingin memberikan jawaban ini, tapi ponselnya benar-benar tidak ada di dalam tas. "Nggak ada, Bu."
"Wah, diambil sama orang tadi kali!" tebak si ibu berbaju merah.
"Iya, dicopet kali, Neng, HP-nya," tambah si ibu berbaju putih yang diikuti oleh ibu-ibu lainnya. Mereka serentak menuduh dua laki-laki yang turun tadi sebagai pencopet, membuat Raya seketika memberhentikan mobil setelah mengucapkan terima kasih kepada kelompok ibu-ibu itu.
Dengan geram, Raya turun dari mobil, lalu berlari ke arah dua laki-laki tadi turun. Raya masih ingat bagaimana wajah si laki-laki yang jatuh di bawah kakinya meskipun samar-samar dan dia juga sempat melihat punggung si laki-laki yang sebelumnya duduk di sebelah kanannya. Kemungkinan besar mereka berkomplot. Ah ya, mungkin termasuk dengan si supir, karena Raya ingat salah satu laki-laki itu memberikan ongkos lebih pada si supir. "Kembaliannya ambil aja, Bang!" kata si laki-laki saat turun dari mobil. Raya semakin geram. Tatapannya benar-benar seperti orang ingin membunuh.
Raya terus berlari sambil mengira-ngira dan mengingat-ingat di gang mana masing-masing dari mereka turun, lalu bertemu dan mendiskusikan akan dijual ke mana ponsel hasil curian mereka kali ini. Dasar manusia-manusia bejat!makinya dalam hati.
"Woi, balikin HP gue!" teriak Raya ketika melihat dua laki-laki persis seperti yang ada dalam ingatannya. Dari radius 10 meter, Raya bisa membedakan laki-laki yang tadi jatuh di bawah kakinya berbaju kotak-kotak, sementara laki-laki yang tadi duduk di sebelah kanannya―yang kemungkinan besar mengambil ponsel dari tasnya―berjaket kulit warna hitam.
Mereka terkejut setengah mati, tapi si baju kotak-kotak mencoba tenang. "HP? HP apa ya, Neng?" tanyanya, tanpa dosa.
"HP gue. Balikin!" Raya tidak sanggup lagi menahan emosinya. Dia semakin mengencangkan volume teriakannya. "Balikin HP gue!" teriaknya lagi. Kali ini membuat dua laki-laki itu berlari. "Ah, sial!" umpatnya, lalu mengejar mereka lagi. Raya merasa salah strategi. Seharusnya dia meringkus kedua tangan salah satu dari mereka dahulu sebelum berteriak tepat di kupingnya. Ah, Raya! Kenapa selalu melakukan kesalahan?!
Raya semakin menyalahkan dirinya ketika dua pencopet itu hilang tanpa jejak. Bayangan mereka terlihat terakhir kali di warung bakso yang ramai, sekarang sudah tidak ada lagi. Setelah kehilangan hape, sekarang kehilangan jejak si pencopet. Lengkap sudah kesalahanmu, Ray, Ray! Mana hape belum lunas. Foto-foto produk ada di situ semua. M-Banking, catatan kecil, kontak keluarga, penerbit, editor, teman-teman penulis, dan segala hal yang penting ada semua di situ. Sekarang semua hilang. You're lost everything. Raya terus mengoceh dalam hati.
--
Radit sedang mengotak-atik laptopnya di balkon indekos ketika Raya pulang dengan wajah lesu. Kenapa lagi ni anak? tanya Radit dalam benaknya sambil menggeleng-gelengkan kepala. Dikliknya icon save, lalu ditutupnya benda elektronik itu. Kemudian, dia berjalan menghampiri Raya.
"Nggak usah ajak gue ribut, gue lagi pusing!" sergah Raya sebelum Radit membuka suara.
"Kenapa lagi, sih?" tanya Radit lembut. "Ada masalah apa?"
Raya duduk di kursi sebelah pot bunga, lalu memandangi bunga-bunga mawar merah yang mulai bermekaran. "HP gue kecopetan," jawabnya kemudian.
"Kecopetan? Di mana?" tanya Radit lagi, lalu duduk di kursi sebelah Raya.
"Di angkot."
"Kok bisa?"
"Ya, pokoknya HP gue diambil sama orang-orang gila!"
"Gimana kronologinya?"
Pertanyaan ini memaksa Raya untuk menceritakan kejadian nahas yang menimpanya dari awal sampai akhir. Akhirnya, cerita itu berakhir di menit ke-29. Ini kejadian nahas, tapi dia sedikit pun nggak nangis. Aneh ni cewek! Benak Radit menilai.
"Balikin HP gue, Dit! Gue tahu lo 'kan yang nyuruh pencopet-pencopet itu buat ngambil HP gue biar gue sengsara?!"
"Haduh, gue tahu lo stres karena semua yang penting ada di HP itu, tapi nggak nuduh cowok seganteng gue juga kali."
"Radit, bercanda mulu! Orang lagi ketimpa musibah juga."
"Iya, iya, maaf," ucap Radit pelan, lalu bangkit dari kursinya. "Ya udah, ayo ikut gue!"
"Ke mana? Udah tahu gue lemes."
Radit memunggungi Raya dengan sedikit membungkukkan badan. "Gue gendong, deh."
"Ogah," tolak Raya yang membuat Radit membenarkan posisinya lagi. "Emang mau ke mana?"
"Ke konter HP."
"Ngapain?"
"Ya beli HP-lah."
"Buat siapa? Lo mau beli HP baru di saat gue kehilangan HP? Wah, dasar tukang pamer! Kalau mau pamer jangan di atas penderitaan orang lain juga, dong! Ketahuan banget jahatnya."
"Katanya lo lemes, tapi kelihatannya lo masih punya tenaga buat suuzan-in gue. Ayo, buruan! Ganti baju dulu sana."
"Dit, gue mau beli HP baru, tapi nggak sekarang juga. Dananya belum ada. Di kartu kredit aja masih ada cicilan HP yang ilang itu."
"Pake kartu kredit gue."
"Cicilan lo aja masih banyak dan kayaknya nambah terus tiap bulan. Lo kan belanja mulu."
"Semua itu kan buat keperluan WO, Ray. Tenanglah, soal itu mah. Ayo, cepat! Sekalian ke GraPARI, ngurus nomor hape lo biar bisa balik lagi."
"Enggak, ah."
"Kalo nggak mau pake kartu kredit, pake uang cash deh."
"Enggak, ah. Ngerepotin. Makasih."
"Gue gendong beneran, lo!"
Dengan sungkan, Raya menuruti Radit; pergi membeli ponsel baru. Radit membelikan Raya sebuah ponsel yang satu tingkat lebih canggih dari ponsel Raya yang hilang. Setelah itu, mereka pergi ke GraPARI Telkomsel untuk melaporkan kehilangan dan meminta nomor ponsel Raya dikembalikan. Kebaikan Radit ini membuat Raya merasa tidak enak hati dan bingung harus mengatakan apa. Kemudian, setelah nomor ponsel Raya kembali, Radit mengganti nama kontaknya di ponsel gadis itu dengan 'My Radit' dan mengganti nama kontak Raya di ponselnya dengan 'My Raya'.
"Apa-apan, sih? Kenapa diganti jadi alay gini?" protes Raya.
"Karena lo milik gue."
"Apa coba milik-milikan?! Gue milik diri gue sendiri."
"Sekarang lo milik gue juga."
"Nggak!"
"Gue nggak butuh jawaban lo 'ya' atau 'tidak', karena bagi gue lo adalah definisi dari kata 'ya'."
"Radit!"
"Yes, mine." ∩∩∩
@rara_el_hasan makasih, Mbak Raya... eh Mbak Rara hehe