"Sudah sejauh ini, tapi masih bertemu denganmu. Ini takdir atau candaan?"
-Raya Aurora-
Today is Monday. Hari yang paling dikutuk oleh para karyawan karena hari Senin adalah pemutus mereka dari hari libur Sabtu dan Minggu. Jika dulu hari Senin adalah hari bermalas-malas ria untuk berangkat ke kantor, kini Raya menjadikan hari Senin sebagai hari berleha-leha untuk menonton televisi di lantai bawah indekos sambil memakan kacang.
Saat asyik menonton acara gosip selebriti, tiba-tiba pandangan Raya terganggu oleh kehadiran laki-laki yang sudah rapi dengan jaket kulit serta helmnya. Laki-laki itu berjalan ke arahnya dengan wajah yang diatur setegak mungkin, tanpa senyum sama sekali. Dengan gerakan sigap, laki-laki itu meletakkan tiga kotak berwarna cokelat tepat di hadapan Raya, lalu pergi begitu saja meninggalkan Raya yang terheran-heran sambil menaikkan alis.
"Dit? Hei!" teriak Raya. Namun, terlambat. Radit sudah pergi tanpa jejak. Nampaknya Radit meninggalkan indekos secepat kilat dengan motor andalannya.
"Pagi, Raya!" Dinda turun dari kamar dengan teriakan khasnya. "Wah, ada cokelat tuh! Bagi, ya," lanjutnya ketika melihat tiga kotak cokelat di meja yang berada di hadapan sahabatnya itu.
"Ih, ih, jangan!" Raya merebut cokelat yang sudah berada di tangan Dinda.
"Pelit banget!" gerutu Dinda.
"Bodo amat. Udah, sana berangkat kerja!"
"Dasar pelit, pelit, pelit!" Dinda mengacak-acak rambut Raya yang terkuncir, lalu pergi meninggalkan indekos dengan rasa kesal.
"Hati-hati, Din!" teriak Raya sambil merapikan rambutnya yang menjadi sangat berantakan akibat ulah Dinda.
Sepeninggal Dinda, Raya mematikan televisi dan mengambil tiga kotak cokelat pemberian Radit tadi, lalu menyimpannya di dalam kulkas. Satu per satu penghuni berangkat kerja dan meninggalkan indekos, tinggallah Raya seorang diri. Tukang bersih-bersih indekos mungkin akan tiba dua jam lagi.
"Mbak Raya belum berangkat?" sapa Tia, salah satu penghuni indekos. Oh, ternyata masih ada satu orang yang belum berangkat kerja.
"Eh, Tia! Belum nih, sebentar lagi. Kamu mau berangkat?"
"Iya, Mbak. Aku duluan, ya."
"Iya, Tia. Hati-hati di jalan."
Raya menaiki anak tangga menuju kamarnya dan mempersiapkan diri untuk memulai hari. Hari ini jadwal Raya adalah bertemu dengan produsen aksesorinya di Serang. Butuh waktu 1 jam 30 menit untuk tiba di Serang dengan menggunakan bus.
Lima belas menit pertama di dalam bus, Raya memanfaatkannya dengan membuka sebuah buku catatan yang dinamai Raya Aurora's To Do List. Raya menulis daftar apa saja yang ingin dia lakukan dan tanyakan saat nanti bertemu dengan Teh Neneng, produsennya. Tiga puluh lima menit berikutnya, Raya sibuk melakukan editing pada foto-foto hasil pemotretannya bersama Radit beberapa hari yang lalu. Lalu, sisa waktunya di dalam bus Raya habiskan dengan melihat pemandangan dari balik kaca dan sesekali tertidur. Dia juga memikirkan penawaran Aldo dan Bima kemarin.
Penawaran yang menggiurkan. Raya belum tahu pasti berapa nilai kontrak dan royalti yang akan mereka berikan―karena Aldo belum mengirimkan kontrak kerjasama, tapi dia sudah tahu berapa kisarannya. Ya, mungkin tidak jauh berbeda dengan penerbit-penerbit yang selama ini ditelitinya. Masalahnya bukan terletak pada jumlah uang―mendapat tawaran untuk menulis dan menerbitkan buku saja sudah membuatnya bersyukur tak henti-henti, masalahnya terletak pada persyaratan yang mereka ajukan. Raya harus fokus pada proyek ini dan tinggal di mess kantor. Artinya, dia harus meninggalkan usaha aksesorinya selama 3 bulan. Bisa dibayangkan, apa yang akan terjadi pada usahanya yang masih bersifat online setelah diabaikan selama itu. Mungkin para pelanggan akan melupakan nama online shop-nya. Raya mengembuskan napas gusar berkali-kali sambil memegangi kepalanya membayangkan hal itu terjadi.
Kota Serang terlihat agak sepi, di sepanjang jalan Raya hanya menemukan satu mal yaitu Mall of Serang. Waktu menunjukkan pukul 10.30 saat Raya turun dari bus tepat di depan pintu masuk sebuah perumahan sederhana. Suasana perumahan yang dimasuki oleh Raya sangatlah damai. Raya ditawari oleh beberapa tukang ojek yang sedang mangkal, tapi Raya menolaknya dengan sopan karena gadis itu menghemat ongkos. Raya lebih memilih untuk berjalan kaki walaupun ini adalah pertama kalinya dia menemui Teh Neneng, yang berarti Raya sama sekali belum mengetahui di mana tepatnya rumah produsen aksesorinya itu. Hal ini membuatnya sempat bertanya beberapa kali ke penduduk sekitar perumahan.
Dua puluh menit kemudian, Raya tiba di sebuah rumah bercat biru yang pintu pagarnya sedikit terbuka. Dari luar Raya melihat sandal-sandal yang berjejer agak berantakan. Halaman depan rumah itu ditanami bunga melati, bunga mawar, kembang sepatu, dan daun talas.
"Assalammu'alaikum, permisi..." Tidak ada jawaban. "Permisi, Assalammu'alaikum..." Masih tidak ada jawaban. Raya mengembuskan napas pelan. Diraihnya slot pintu pagar dan digerakan sampai menyentuh badan besi hingga terdengar suara dentang yang berhasil membuat seseorang keluar dari dalam rumah itu. "Assalammua'alaikum, Teh." Raya memberi salam dengan senyuman manisnya.
"Waalaikumsalam. Siapa, ya?"
"Saya Raya dari Tangerang, Teh. Saya mau ketemu sama Teh Neneng. Teh Neneng-nya ada?"
"Oh, Teh Raya? Yang punya Naresha itu, ya?"
"Iya, Teh." Raya agak tersipu. Dia merasa senang ada yang mengingat nama online shop miliknya.
"Kenalin saya Mira, yang kerja di sini bantu-bantu Teh Neneng." Wanita yang mengenakan hijab berwarna hitam dan gamis berwarna biru itu mengulurkan tangannya pada Raya.
Damn! Jelas aja Mbak ini inget sama Naresha, bisa nggak digaji kalau sampai nggak hafal nama-nama customer. Raya menyalahkan dirinya sendiri karena terlalu GR.
"Hallo, Teh Mira. Maaf ya saya suka ngerepotin dan suka ngeburu-buru kalau lagi order." Raya menyalami Teh Mira sambil mengingat-ingat sikapnya yang kadang tidak sabar pada saat memesan barang pada Teh Neneng.
"Iya, nggak apa-apa kok, Teh. Ayo masuk, Teh Neneng udah nunggu-nunggu dari tadi."
Teh Mira menuntun Raya melewati pintu masuk. Raya terkesima ketika mendapati pemandangan di hadapannya. Terlihat beberapa orang duduk di atas karpet sedang memproduksi aksesori dengan tangan-tangan telatennya. Dimulai dari perempuan sekitar usia 18 tahun, hingga wanita paruh baya sekitar usia 30 sampai 40 tahun. Bahan-bahan dan peralatan untuk memproduksi aksesori terletak di sekitarnya. Ada kain sifon, mutiara buatan, kristal buatan, manik-manik, lem kain, lem korea, gunting, stepler, dan masih banyak bahan yang lainnya.
Selain bagian produksi, ada juga bagian pengepakan paket yang terlihat sedang sibuk menyusun pesanan pelanggan dan memasukkannya ke dalam dus. Wah, hari Senin adalah hari yang hectic! Banyak sekali pesanan yang sudah dipak ke dalam dus dan siap untuk dikirim.
"Udah puas lihat-lihatnya?"
Raya tersentak mendengar sebuah suara yang sukses mengalihkan perhatiannya. "Eh? Em, Teh Neneng, ya?" Raya semakin terkejut mendapati wajah yang selama ini hanya bisa dilihat melalui ponsel kini dapat dilihatnya secara langsung.
"Nong, ya ampun, cantik banget kamu!" Teh Neneng menyambut Raya dengan tawa sumringah, lalu mencium kedua pipi Raya dan membawanya ke dalam pelukan hangat.
"Ah, Teh Neneng bisa aja. Teh Neneng juga cantik banget."
"Kamu nyasar nggak tadi?"
"Nggak kok, gampang nyarinya."
"Ayo duduk dulu, mau minum apa? Udah makan?"
Kedua wanita yang baru pertama kali bertemu itu pun melanjutkan obrolan di ruang tamu ditemani dengan teh tubruk hangat, ketan bintul, dan kue cucur. Teh Neneng adalah pribadi yang hangat, dia sangat welcome kepada Raya. Sebelumnya, Raya diperkenalkan kepada karyawan Teh Neneng. Semua karyawan Teh Neneng langsung ber-oh ria ketika mendengar nama Raya dan Naresha.
Rasa penasaran dan antusias memenuhi pikiran Raya. Gadis itu meminta kepada Teh Neneng untuk diajarkan cara membuat bros hijab, headpiece, flowercorwn, dan aksesori jenis lainnya. "Sabar, Nong, kamu belajar satu-satu dulu. Nih, dimulai dari bros," ujar Teh Neneng sambil menyodorkan selembar kain berbahan sifon pada Raya, sementara tangannya juga memegang satu kain yang sama.
Raya benar-benar memperhatikan bagaimana tangan cantik Teh Neneng mengajarinya membuat benda kecil yang disebut bros hijab. Sangat telaten. Teh Neneng menjahit rapi bagian yang satu dengan bagian yang lainnya dengan menggunakan benang. Setelah dijahit dengan rapi, terbentuklah sebuah bros yang mirip dengan bentuk bunga. Sementara untuk bagian tengahnya, Teh Neneng menyiapkan sejumput kecil bagian dari bros yang telah dipersiapkan. Teh Neneng menggunakan warna yang berbeda dengan warna inti dari brosnya, lalu menjahitnya.
"Bisa, Nong?" Teh Neneng terus menerus memanggil Raya dengan sebutan 'Nong' yang artinya adik perempuan dalam bahasa Serang.
"Bisa sih sedikit." Raya cengengesan di tengah kesulitannya membuat bros.
"Sekarang kita nempelin peniti di bagian belakang brosnya ya biar bisa dipake di hijab."
Teh Neneng meraih kain flannel sebagai alas penutup bros lalu dipotongnya berbentuk lingkaran dengan ukuran lebih kecil dari bros. Kemudian dia meletakkan peniti bros di tengah-tengah alas flannel dan memberi tanda di sisi kanan kirinya. Raya mulai mengelap keringat di keningnya pada tahap ini.
"Udah cape, Nong?"
"Engga kok, Teh. Cuma agak keringetan aja." Lagi-lagi Raya menjawabnya dengan cengengesan. Gadis itu merasa tidak berbakat dalam bidang ini.
Teh Neneng menyodorkan dua lembar tisu yang membuat Raya agak terkejut. Kemudian Raya meraih tisu itu untuk mengelap keringatnya. Teh Neneng kemudian membuat lubang kecil pada alas flannel sesuai dengan tanda yang sebelumnya sudah dibuat menggunakan cutter.
"Oh begitu ya, Teh, caranya?"
"Iya, bisa gak, Nong?"
"Bisa."
Raya terus menirukan hingga proses akhir. Gadis itu mengembuskan napas lega ketika dia berhasil menciptakan sebuah bros walaupun hasilnya tidak serapi yang Teh Neneng buat. Tapi lumayanlah, ucap Raya dalam hati.
Senyum Raya semakin mengembang ketika diberi kesempatan untuk belajar memproduksi aksesori yang lainnya. Tak hanya Teh Neneng yang mengajari Raya, ibu-ibu karyawan Teh Neneng pun sangat membantunya. Kebaikan mereka ini membuat Raya betah berlama-lama berada di rumah Teh Neneng hingga dia lupa waktu dan diminta untuk menginap.
Jam dinding menunjukkan pukul 8 malam ketika pintu rumah Teh Neneng diketuk. Semua karyawan Teh Neneng sudah pulang ke rumahnya masing-masing. Raya yang sedang mencatat detail aksesori flowercrown diminta membukakan pintu. Dengan senang hati Raya meninggalkan kegiatannya, lalu berjalan menuju pintu rumah.
Raya tertegun di ambang pintu. Tangannya masih menempel di knop. "Radit?" Pandangannya bertumpu pada wajah laki-laki yang banjir dengan keringat di hadapannya. "Radit, ngapain di sini?" pekik Raya setelah sadarkan diri.
"Lo yang lagi ngapain di sini?" Radit sangat terkejut. Tak menyangka akan bertemu dengan Raya di tempat ini, tapi kemudian dia meloyor pergi memasuki rumah. "Gue sih ke sini mau ketemu teteh gue," ujarnya kemudian, santai.
"Ha? Teteh? Ih, apaan sih, Radit?" Raya mengikuti langkah Radit, tapi kemudian terhenti ketika keningnya menabrak punggung yang kokoh. "Aduh!" Raya mengaduh sambil menyentuh keningnya. "Lo ngapain sih berhenti tiba-tiba?" omelnya pada Radit.
"Lo yang ngapain ngikutin gue?" Radit membalikkan tubuhnya cepat.
"Pede banget lo! Gue mau masuk juga, bukan ngikutin lo. Sakit tahu." Raya kesal dan semakin mengaduh.
"Nong, siapa yang dateng?" Teh Neneng muncul dengan menggendong anak perempuannya yang berusia 3 tahun.
"Oh, Radit toh yang dateng." Radit bergerak mencium tangan Teh Neneng yang dibalas dengan gerakan hendak memeluk, tapi terhenti karena Radit memundurkan tubuhnya hingga tak sengaja menabrak Raya yang masih berdiri di tempat semula.
"Awh! Radit, ih." Raya mengepalkan tangannya geram.
"Kalian udah saling kenal? Nong, kamu udah kenal Radit? Dit, kamu udah kenal Nong Raya?"
***
Titik-titik embun pagi masih menempel di daun talas ketika Radit memanaskan motor kesayangannya. Radit mengenakan jaket kulit berwarna hitam dan celana jins berwarna navy. Beberapa menit kemudian, Raya keluar dengan baju atasan berwarna dasar putih disertai motif bunga-bunga. Radit memperhatikan Raya dari ujung kepala hingga ujung kaki tanpa berkedip.
"Apa?" Raya melototi Radit dengan bola matanya yang nyaris keluar.
"Hahahahaha!" Tawa Radit tiba-tiba meledak seperti suara bom di telinga Raya.
"Apa sih? Kenapa lo ketawa? Kenapa? Kenapa?" Raya berdecak pinggang, sementara bibirnya terus mengoceh.
"Lo pake baju siapa?" tanya Radit di sela-sela tawanya.
"Baju Teh Neneng. Kenapa?"
"Nggak cocok. Kelonggaran."
"Ah, masa sih?"
"Cocok ah, cocok. Bagus kok itu. Nong Raya mah udah cantik, pake baju apa aja juga tetep cantik. Udah ah, Radit, kamu jangan gangguin Nong Raya terus. Ayo masuk, kalian sarapan dulu sebelum berangkat." Teh Neneng bicara panjang lebar, lalu menggandeng tangan Raya untuk masuk ke dalam rumahnya yang diikuti oleh Radit yang masih tertawa-tawa.
--
Raya kini berada di boncengan motor kesayangan Radit. Dua insan itu sedang dalam perjalanan kembali menuju Tangerang. Raya membawa dua dus aksesori dan satu dus oleh-oleh dari Teh Neneng yang disimpan di bagian depan motor Radit. Radit mengendarai motor kesayangannya dengan kecepatan standar. Keduanya terlihat terdiam. Radit memutar kembali apa yang terjadi semalam di rumah Teh Neneng yang adalah kakak kandungnya.
"Dit, yang mau teteh kenalin ke kamu itu adalah Nong Raya ini." Teh Neneng menyentuh pundak Raya yang sedang duduk di sampingnya.
Baik Radit ataupun Raya, keduanya sama-sama terkejut dan terlihat saling melempar pandangan bingung. Sebelumnya Radit tidak menduga hal ini akan terjadi, begitupun dengan Raya. Raya pergi ke Serang murni untuk keperluan bisnis dan ingin bertemu secara langsung dengan produsen aksesori yang sudah bekerja sama dengannya selama 1 tahun belakangan ini.
"Berhubung kalian udah saling kenal, dan bahkan ternyata kalian tinggal di satu kosan yang sama, teteh harap kalian bisa mengenal lebih jauh lagi. Ya, syukur-syukur kalian berjodoh." Setelah mengungkapkan hal yang mengejutkan ini, Teh Neneng meninggalkan Radit dan Raya yang sama-sama masih terdiam di sela-sela senyum hambarnya.
"Jadi, gue jauh-jauh ke sini cuma buat ketemu sama lo? Ah, Teh Neneng ada-ada aja." Raya memulai pembicaraan dengan tawa hambar yang meledak-ledak.
"Iya, percuma gue jauh-jauh ke sini cuma buat ketemu lo, ngapain juga?" balas Radit tidak kalah sengitnya.
"Lo segitu nge-fan-nya sama gue? Kalo mau ketemu gue kan bisa di Tangerang aja," kata Raya masih dengan tawanya. "Kan gue cap . . ." Ocehan dan tawa Raya sontak terhenti. Ada sesuatu yang hangat mengalir dan menjalar ke seluruh tubuhnya, bersamaan dengan semu merah yang terlukis di kedua pipi tirusnya. Radit mendaratkan sebuah kecupan di bibir gadis itu agak lama. Raya terkejut, jantungnya menderu lebih kencang. "Radit?"
"Berisik. Gue capek," kata Radit serius. "Kita tidur aja, yuk! Besok pagi-pagi kan kita pulang ke kosan," sambungnya sambil menarik tangan Raya menuju kamar tamu, sementara Raya hanya mengikuti langkah laki-laki itu.
Tiba di depan kamar tamu yang telah disiapkan oleh Teh Neneng untuk Raya, Radit menggerakkan tangannya ke arah kepala Raya. Namun, sebelum tangan itu menyentuh tujuan, Raya lebih dahulu mengibaskannya. Nampaknya, gadis itu telah sadar dari suasana manis yang tiba-tiba tercipta. "Jangan cium gue sembarangan lagi, Dit. Gue bukan cewek-cewek yang bisa termakan sama pesona lo hanya dengan sekali tatap. Gue harap, lo bisa lebih menghargai cewek."
Radit tersentak dari lamunan. Dia baru menyadari bahwa mereka sudah memasuki lingkungan kompleks indekos. Gerbang indekos terlihat terbuka. Raya mengomel ketika melihatnya. Raya tidak menyukai gerbang yang terbuka begitu saja karena dia khawatir akan ada orang yang berniat jahat, lalu masuk ke dalam tempat tinggal mereka. Hal itu yang membuatnya bergegas turun dari motor Radit yang sudah berada di dalam halaman parkir, lalu mendorong pintu gerbang hingga tertutup. Berhubung Raya tidak pernah bisa menggemboknya karena kunci gerbang yang terlalu keras, akhirnya gadis itu memanggil Radit.
"Dit, sini! Tolong gembokin." Radit tidak menjawab, tapi dia menuruti permintaan Raya. "Dit, lo kenapa? Capek?" Radit masih tidak menjawab. Pikirannya mendadak kacau karena teringat kejadian semalam. Lebih kacau lagi, ketika dia menyadari bahwa Raya justru terlihat biasa saja. ∩∩∩
@Gladistia Wah, terima kasih banyak, ya. Senang bisa menghibur.
Comment on chapter Ditolak Lagi