"Kadang tawaran menggiurkan datang di saat yang tidak tepat. Atau sebenarnya sudah tepat, lalu tinggal diterima dan dijalani saja?"
-Raya Aurora-
Aldo memacu motornya dengan kecepatan tinggi. Dia tak ingin terlambat menjemput Raya yang sedang berada di pantai, entah bersama siapa. Nggak masalah kalau sama teman cewek, tapi kalau sama cowok... Aldo menggeram. Memikirkannya saja membuat hatinya marah.
Empat puluh lima menit kemudian, Aldo tiba di parkiran motor pantai yang Raya sebutkan di sambungan telepon sebelumnya. Laki-laki itu bergegas berjalan ke arah jembatan di tengah pantai. Dari kejauhan, Aldo bisa melihat seorang gadis mengenakan gaun pantai berwana biru dengan motif bunga-bunga dan sandal jepit dengan warna yang sama. Walaupun terhalang puluhan orang yang lalu lalang dan berdiri, Aldo tahu itu Raya. Ditambah, rambut Raya yang tertiup angin semakin menguatkan radarnya, sekaligus menambah pesona gadis itu di mata Aldo. Damn, she is so beautiful! gumamnya. Tak lama kemudian, Aldo tiba di dekat Raya dan berhasil menutup kedua mata Raya dari arah belakang punggung gadis itu.
"Awh!" Raya tersentak. "Siapa, sih?" Aldo hanya diam sambil menahan tawa, menikmati keterkejutan dan kebingungan Raya. "Kak Aldo, ya?" tebak Raya kemudian.
"Yah, ketahuan deh." Raya mengetahui bahwa tangan yang menutupi matanya adalah milik Aldo bukan karena sudah hafal bagaimana bentuk ataupun wangi tangan laki-laki itu, tapi karena sebelumnya Aldo sudah mengatakan bahwa akan menjemputnya di pantai ini. Jadi, Raya pikir siapa lagi kalau bukan Aldo? "Kamu ngapain di sini sendirian?" tanya Aldo lembut seraya melepaskan tangannya.
"Ehem!" Tiba-tiba terdengar suara deheman seorang laki-laki yang sedari tadi hanya diam menyaksikan Aldo menggoda gadisnya. Gadisnya? "Raya enggak sendirian, dia ke sini sama saya," ujar laki-laki itu yang tak lain adalah Radit. Ada nada penekanan dalam kalimat 'sama saya'.
Aldo terkejut sekaligus marah ternyata orang yang bersama Raya adalah seorang laki-laki, dan dia adalah Radit. "Oh, hallo. Mas Radit, ya?" sapanya, mencoba tenang. "Maaf, saya tadi nggak lihat-lihat," lanjutnya.
"It's okay," jawab Radit singkat. "Ini pake!" perintah Radit pada Raya, sambil menyodorkan jaket miliknya yang memang dikenakan oleh Raya saat di perjalanan menuju pantai.
"Nggak perlu. Makasih, Dit," tolak Raya dengan senyuman.
"Pake aja, gue nggak mau repot kalo lo sakit lagi."
"Ya udah, gue pake. Makasih, Dit."
Raya sempat menaikkan alisnya mendengar kalimat 'nggak mau repot' dari Radit. Namun, Raya tetap menerima jaket itu karena dia tidak ingin masuk angin saat naik motor. Gadis itu sadar betul bahwa dia harus menjaga kesehatan jika ingin biaya hidupnya tetap terpenuhi dan usahanya berjalan lancar.
"Ini sepatu lo. Ganti sendal lo dengan sepatu, baru lo boleh pergi."
"Oke." Raya menuruti lagi perintah Radit. Mengganti sandalnya dengan sepatu yang tadi sempat dilepas sebelum turun ke pantai, sementara Aldo semakin memanas. Aldo menyadari, Raya dan Radit terlihat sangat dekat. "Udah. Maaf ya, Dit. Gue harus pergi."
"It's okay."
Kemudian, Raya dan Aldo meninggalkan Radit yang sedikit pun tak mampu menyembunyikan wajah kesalnya. Bagaimana tidak? Empat puluh lima menit yang lalu Radit dalam kondisi berbunga-bunga karena bisa menikmati keindahan pantai bersama Raya. Kini, bunga-bunga itu berguguran, lalu hanyut bersama air laut.
Dit, sekarang lo cemburu lagi lihat Raya dijemput Aldo?
Hei, jangan ngomong sembarangan! Gue nggak cemburu. Sama sekali.
Itu cemburu. Jelas banget. Jelaaaas banget.
Ah, berisik!
Radit frustrasi dengan pemikirannya sendiri. Tapi mungkin... iya, gumamnya kemudian.
--
Kini Raya dan Aldo sudah berada di depan kantor yang laki-laki itu maksud. Tadi di perjalanan Aldo sempat menanyakan, kenapa Raya mengiyakan ajakannya padahal sedang bersama Radit di pantai itu? Raya menjawab, karena dia juga ingin mengetahui bisnis apa yang akan Aldo jalankan.
Raya mengamati bentuk kantor Aldo dari luar. Kantor di hadapannya ini berupa ruko tiga lantai yang letaknya di kompleks perkantoran dan pergudangan. Kata Aldo, satu ruko di sebelahnya pun masih menjadi bagian kantor ini; dua ruko menjadi satu. Raya semakin penasaran, sebenarnya Aldo membangun bisnis apa?
"Hallo, perkenalkan saya Bima temannya Aldo sekaligus partner bisnisnya," ujar laki-laki yang bertubuh tinggi, agak gemuk, dan berkumis tipis sambil mengulurkan tangannya pada Raya setelah sebelumnya bersalaman dengan Aldo.
"Hallo, Mas Bima. Saya Raya, temannya Kak Aldo," jawab Raya, lalu menjabat tangan Bima.
"Teman atau teman?" goda Bima yang hanya dibalas senyuman oleh Raya.
"Ehem! Ayo, cepetan buka kuncinyalah, Bim!" perintah Aldo sambil menyingkirkan tangan Bima yang masih bersalaman dengan Raya, padahal Aldo sendiri sudah membawa kuncinya di dalam tas.
"Santai, Dude. Kantor kita nggak bakalan ke mana-mana, kok."
Raya tersenyum tipis, lalu mengikuti Aldo dan Bima memasuki kantor. Dengan serius, gadis itu mendengarkan penjelasan Aldo mengenai ruangan-ruangan di dalamnya hingga ke lantai tiga. Lalu, dahinya mengerut ketika menyadari sesuatu. Ah, kenapa otakku sangat lamban untuk memahami hal sejelas ini? gerutu Raya dalam hati. "Tunggu, Kak. Maksud Kak Aldo, ini... kantor penerbitan?"
Aldo mengambil jeda beberapa detik sebelum menjawab. "Ya."
"Penerbitan buku?" ulang Raya, memastikan.
Aldo merapikan kemejanya sekilas―entah maksudnya apa―lalu menatap gadis di hadapannya yang saat ini menunggu jawaban dengan mata yang terbuka lebar. "Iya, Raya. Ini penerbitan buku. Aku buka usaha penerbitan. Gimana? Menarik?"
"Menarik. Menarik banget. Ah, ini keren! Unpredictable!" seru Raya sambil tertawa-tawa. Aldo dan Bima pun ikut tertawa.
"Raya," panggil Aldo, menghentikan tawa gadis itu.
"Ya?"
"Apa kamu bersedia jadi penulis pertama penerbitan kami?" tanya Aldo lembut. Ekspresinya seperti sedang melamar seorang gadis. Aldo benar-benar gugup.
"Hem? Apa?"
"Gini, deh. Kita ngobrol-ngobrol santai dulu. Yuk, di ruang meeting aja ngobrolnya," ajak Bima, menengahi.
Raya benar-benar tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Kak Aldo buka penerbitan? Terus dia ngajak aku buat jadi penulis pertamanya? Ini mimpi 'kan? Rentetan pertanyaan itu semakin bertambah seiring langkah kakinya yang mengikuti Aldo dan Bima menuruni anak tangga menuju ruang meeting yang terletak di lantai dua.
"Awh!"
"Ray?" Aldo sontak membalikkan badan. Wajahnya berubah panik mendapati Raya yang sudah terduduk di anak tangga paling bawah di lantai dua sambil meringis kesakitan.
"Kenapa?" Aldo membungkukkan tubuhnya di hadapan Raya.
"Emm, kayaknya ada satu anak tangga yang kelewatan, nggak aku injek." Raya masih meringis.
"Yang mana yang sakit?" Aldo menggantungkan tangannya di udara seakan ingin menyentuh bagian kaki yang dipegangi oleh Raya, tapi kemudian laki-laki itu mengalihkan tangannya untuk menggenggam lengan Raya, lalu menuntun gadis itu untuk berjalan dan membantunya duduk di sofa.
"Kamu lucu banget sih, Ray. Kok bisa jatuh di tangga begitu?" Aldo, laki-laki yang mengenakan kaos polo berwarna navy ini mengeluarkan tawa renyahnya yang terdengar seperti ejekan di telinga Raya, sementara Bima―atas perintah Aldo segera berlari mencari apa pun. Apa pun yang bisa meredakan sakit di kaki kiri Raya. Ada nada penekanan dalam kata 'apa pun' saat Aldo berbicara pada Bima tadi.
"Jadi, Kak Aldo ngeledekin aku, nih?" Raya gemas melihat Aldo terus-menerus menertawakannya.
"Enggak ngeledekin juga, sih. Buktinya tadi langsung aku tolongin." Aldo mengganti tawa renyahnya menjadi senyuman menenangkan bagi siapa pun yang melihat.
"Untung ada kotak P3K di rak. Nih!" Bima berjalan tergesa-gesa, lalu menyodorkan sebuah kotak putih pada Aldo yang langsung disambut oleh laki-laki itu dengan tidak kalah tergesa-gesa.
"Nah, ada kayu putih!" Aldo berseru sambil mengangkat botol bernuansa hijau tua. "Kok udah siap P3K aja, nih? Perasaan kemarin belum ada apa-apa," sambungnya.
"Ya, iyalah. B-I-M-A. Jangankan kayu putih, kayu manis juga gue udah siap."
"Ah, kayu serut kali."
"Bisa ae, kayu bakar."
Raya tertawa terbahak-bahak di tengah rasa sakitnya. Kemudian tawanya terhenti ketika Aldo bergerak hendak mengoleskan kayu putih pada kakinya yang terasa sakit. "Eh, nggak usah, Kak. Biar aku aja yang ngolesin. Aku bisa, kok."
"Nggak apa-apa, Raya. Aku mau nolongin kamu."
"Nggak apa-apa, Kak Al. Aku bisa, kok. Serius."
"Udah, biarin si Raya aja yang ngolesin. Udah, kasih kayu putihnya!" perintah Bima bijak, yang sedari tadi hanya diam memperhatikan adu argumen antara Raya dan Aldo. Aldo pun menyerah, lalu menyodorkan kayu putih itu pada Raya.
"Udah enakan?" tanya Aldo, setelah Raya mengoleskan kayu putih―yang dijawab oleh anggukan pelan dari Raya.
"Jadi begini, Raya." Bima mulai menjelaskan penawarannya. "Saya dan Aldo sudah mendapat izin membuka usaha penerbitan. Akta notaris, NPWP, dan surat-surat lainnya sudah kami pegang. Nama penerbit kita CV. Rivmedia Utama. Kami join saham bareng. Sejak kuliah, kami memang tertarik dengan dunia literasi dan kami punya mimpi untuk mengembangkan dunia literasi di negeri kita ini."
"Wah, keren!" Raya berdecak kagum.
"Nah, kebetulan Aldo mengenal kamu, seorang penulis yang punya tekad kuat, katanya. Dia merekomendasikan kamu ke saya. Saya juga disodorkan karya-karya kamu yang terbit di media online maupun di media cetak. Kemudian, saya membacanya berulang-ulang dan saya juga mencari tahu tentang kamu. Alhasil, saya setuju dengan pendapat Aldo." Bima menoleh pada Raya. "Tapi saya butuh bukti yang masih fresh. Jadi, Raya, rencananya kami akan merekrut kamu sebagai penulis pertama. Kalau kamu bersedia, kamu akan kami kontrak untuk menulis dan menyelesaikan sebuah buku selama 3 bulan. Apa kamu sanggup?"
Raya terdiam untuk beberapa saat. Pikirannya terbang ke Gramedia Matraman, Gramedia Central Park, dan semua Gramedia yang pernah ia datangi.
"Ray, Raya! Kamu baik-baik aja?" tegur Aldo, mengembalikan pikiran Raya ke tempat semula.
"Ya? Maaf, maaf, aku masih shock," ucap Raya dengan terbata-bata.
"Gimana? Kamu bersedia? Mengenai nilai kontrak, royalti, dan hal lainnya nanti akan aku email ke kamu," kata Aldo, tak sabar menunggu jawaban.
"Sebelumnya, aku mau bertanya. Buku yang harus aku tulis itu buku tentang apa ya, Kak, Mas?" tanya Raya. Setidaknya, aku harus tahu hal ini dulu, pikir Raya.
"Buku pertama yang harus kamu tulis itu buku puisi tentang romansa. Ya, kamu pahamlah yang gimana, yang banyak disukai anak remaja hingga dewasa. Oh ya, selama 3 bulan kamu harus fokus ke proyek ini. Kamu tinggal di mess kantor yang ada di lantai atas. Tadi kamu udah lihat 'kan kamarnya gimana? Nah, nanti kamu tinggal di situ," tutur Bima.
Bagaikan dilempar tombak tepat mengenai kening, Raya hampir terjungkal dari sofanya. Kemudian, dengan menarik dan mengembuskan napas kuat-kuat, Raya menjawab, "Kak Aldo, Mas Bima, terima kasih banyak atas penawaran ini. Ini memang yang aku perjuangkan dan tunggu-tunggu sepanjang hidup aku. Aku benar-benar bersyukur bisa berteman dengan Kak Aldo dan berkenalan dengan Mas Bima. Tapi mohon maaf, aku butuh waktu untuk berpikir."
"Kok masih mikir-mikir sih, Raya? Ini penawaran bagus lho untuk karier kepenulisan kamu." Aldo menyanggah. "Nanti malam deh langsung aku email ketentuannya gimana."
"Oh, it's oke, it's oke, Dude. Nggak usah terburu-buru," sahut Bima. "Raya, kamu bisa kabarin saya kapan aja. Ini kartu nama saya," katanya pada Raya sambil menyodorkan sebuah kartu nama berwarna silver.
Raya, tolonglah, aku hanya ingin menjadi yang terbaik untuk kamu. Aku ingin membantu kamu mewujudkan cita-cita.
--
Hari hampir larut ketika Raya pulang dan membuka gerbang indekos. Wajahnya terlihat lelah, bahagia, bingung, dan sakit secara bersamaan. Tiba-tiba pintu kamar Radit terbuka, menunjukkan tubuh sang empunya.
"Eh, Radit!" Raya memberikan senyuman khasnya.
"Muka lo tuh ceria yang dipaksakan."
"Ha?" Mulut Raya terbuka lebar mendengar ucapan Radit yang selalu saja tak terduga. "Apa sih, Dit?" sambung Raya dengan senyumannya lagi.
"Kaki lo kenapa? Jatuh? Kesandung?" Radit bertanya sambil membuka kulkas di dapur dan mengeluarkan sebotol air, lalu meneguknya.
"Enggak kenapa-napa." Raya memalingkan muka, lalu menaiki anak tangga menuju kamarnya.
"Berhenti sok kuat dan berhenti di situ. Sekarang!" perintah Radit yang sukses membuat Raya berhenti di anak tangga ketiga dari bawah. "Duduk!" perintah Radit lagi yang masih tak dibantah oleh gadis itu.
Setelah Raya duduk di anak tangga, tanpa basa-basi Radit membuka sepatu Raya sebelah kiri, lalu memijat kaki gadis itu dengan telaten.
Jantung Raya berdegup lebih kencang. Tidak menyangka akan mendapat perlakuan tiba-tiba ini. "Dit..." panggil Raya, berusaha menahan degupan jantungnya yang kini semakin kencang.
"Apa?" Radit masih fokus pada usahanya menyembuhkan kaki Raya yang terlihat pincang di matanya. Dia menduga Raya habis jatuh atau tersandung sesuatu.
"Dit..."
"Hem."
"Radit."
"Diam!"
"Awh! Awh! Awh!" Raya menjerit-jerit ketika Radit mengencangkan pijatannya. "Sakit, Radit, sakit!"
"Udah. Sekarang udah bener. Tadi urat lo ada yang geser. Makanya, kalau abis jatuh atau kesandung atau apa, bilang ke gue. Jangan ditahan sendiri!"
"Makasih, Dit," ucap Raya yang hanya dijawab anggukan pelan. "Dit," panggilnya lagi.
Radit menatap mata Raya dengan lembut. "Apa? Masih sakit?" tanyanya yang dijawab gelengan pelan.
"Dit, laper."
"Mau makan apa?"
"Kebab, burger, sama es teh manis dua cup."
"Sama gerobak-gerobaknya gue beliin, tenang! Lo tunggu sini." ∩∩∩
@Gladistia Wah, terima kasih banyak, ya. Senang bisa menghibur.
Comment on chapter Ditolak Lagi