"Aku memberimu pantai, tapi yang kamu inginkan adalah istana."
-Raditya Malvino-
Langit sore tampak cerah, seakan menghidupkan romantisme dua insan yang kini berjalan di pinggir pantai. Semilir angin meniup rambut panjang nan ikal milik Raya. Sebenarnya, Radit ingin sekali merapikan helaian rambut itu. Namun, keinginan sederhana itu segera ditepisnya setelah mengembuskan napas gusar puluhan kali.
Deburan ombak sesekali mengejutkan dan menyentuh mata kaki. Dingin. Begitulah rasanya. Pasir yang ditapaki seolah ingin menarik telapak kaki pemiliknya untuk berpijak lebih dalam lagi. Raya mulai merasa kesulitan berjalan di atasnya, lalu tiba-tiba telapak tangan yang kokoh terulur dari laki-laki di sebelahnya. Lewat senyuman, Radit meminta Raya untuk menyambut tangannya agar gadis itu mampu melawan pasir yang kini mulai menyebalkan. Entah dari mana datangnya keberanian itu. Berbanding terbalik dengan sikapnya beberapa detik yang lalu.
Raya sudah mengganti pakaiannya dengan setelan casual demi menerima ajakan random dari Radit. Setelah melakukan pemotretan produk milik Raya tadi siang, Radit tiba-tiba mengajaknya pergi ke pantai. Kemudian, mereka singgah dahulu ke indekos karena Raya ingin mengganti kostum dan menyimpan barang-barang dagangannya. Awalnya Radit merasa malas untuk berganti kostum, maka dari itu setibanya di indekos, dia hanya berbaring di atas sofa sambil menunggu Raya. Kemudian, setelah melihat Raya menuruni tangga dengan tampilan yang lebih segar, tiba-tiba Radit merasa tidak enak. Dia merasa harus tampil lebih segar juga.
"Ternyata jalan di atas pasir itu susah, ya. Pasirnya kayak narik-narik kaki kita gitu biar kita nggak bisa gerak lagi," keluh Raya yang kini sudah bergandengan tangan dengan Radit. Radit tersenyum mendengar kata 'kita' dari Raya.
"Iya, ini pasirnya udah berlapis-lapis. Jadi, ya agak susah buat dipake jalan."
"Aduh!" Tiba-tiba kaki Raya menelusup lebih jauh ke dalam lapisan pasir yang membuat Radit menarik agak kuat tangan Raya agar gadis itu bisa tetap berjalan.
"Jalannya pelan-pelan aja, nggak perlu pakai tenaga. Biar kaki lo nggak masuk terlalu dalam ke pasirnya," ujar Radit sambil tertawa melihat tingkah Raya.
"Duh, gimana sih caranya jalan nggak pakai tenaga? Coba jelasin!"
Radit tak sempat menjawab pertanyaan Raya. Dia hanya fokus menjaga gadis itu agar tetap berjalan tenang di atas pasir hingga mereka tiba di tempat jajanan.
"Lo mau sosis bakar?"
"Mau!"
"Hu, mauan!" kata Radit, meledek Raya.
"Rezeki nggak boleh ditolak, Dit!" sahut Raya, lalu tertawa cekikikan.
Radit pun berlalu ke tempat penjual sosis bakar yang adalah anak perempuan kira-kira berusia 12 tahun dan 10 tahun. Usia yang terbilang sangat cilik. Di usia mereka yang terbilang masih cilik, mereka sudah menggunakan kedua tangan mungilnya untuk memanggang sosis, serta bertanggung jawab terhadap rasa yang akan dicecap oleh orang-orang dewasa seperti Raya dan Radit. Raya menatap kedua bocah itu dengan tatapan prihatin. Kok bisa anak sekecil ini jualan sosis bakar di pinggir pantai yang dingin? Raya bertanya dalam hati.
"Raya!" Panggilan Radit membuyarkan pikiran gadis itu.
"Ya?"
"Lo ngelihatin apa, sih?" tanya Radit agak khawatir.
"Kok bisa ya, Dit, anak sekecil mereka jualan di sini? Ke mana orang tuanya? Itu mereka bisa nggak sih manggang sosisnya? Kasian takut tangannya kena api."
"Lo ngomong nggak pake napas, ya? Bisa kok mereka, tenang aja."
"Dik, itu udah mateng kali. Nggak apa-apa bawa ke sini aja." Tiba-tiba Raya berseru pada kedua bocah itu, sementara mereka hanya tersenyum malu-malu sambil melanjutkan tugasnya. Lima menit kemudian, sosis pesanan Radit dan Raya tiba di kedua tangan mereka. "Makasih ya, Dik," ucap Raya manis yang dibalas dengan senyuman manis juga dari si anak perempuan.
"Lo sih bilangnya udah mateng, jadinya langsung diangkat deh ini sosisnya," protes Radit sambil melahap sosis yang diolesi mayonase di genggamannya.
"Ha? Gara-gara gue?" Raya agak melotot, tapi kemudian dia mengikuti gerakan Radit untuk melahap sosis bakar miliknya.
Raya dan Radit mengobrol apa saja selama mereka duduk sambil memakan sosis bakar. Kadang Radit mencoba melucu, lalu Raya tertawa. Kadang Raya berbicara, sementara Radit tersenyum memandangi gadis itu. Hingga tak terasa 30 menit sudah mereka bercengkerama dan menghabiskan masing-masing sepuluh tusuk sosis bakar.
"Alhamdulillah, kenyang!" seru Raya. "Gumawo, Radit," sambungnya.
"Ha?"
"Gumawo..."
"Apa sih, artinya?"
"Cari sendiri ah artinya. Tanya Mbah google," jawab Raya, lalu meninggalkan Radit menuju bangku taman yang berada di jalan conblock.
Setelah membayar sosis bakar, Radit mengikuti Raya menuju bangku taman. Namun, baru lima langkah, Radit berhenti. Radit memperhatikan Raya yang sedang sibuk menepuk-nepuk sandalnya karena banyak pasir yang menempel. Gadis itu terlihat mengerucutkan bibir dan sesekali mengeluarkan ocehan-ocehan kecil. Radit terkekeh geli melihat tingkah lucu Raya ini, kemudian laki-laki itu berjalan menuju parkiran motor yang memang letaknya tak jauh dari bangku taman.
"Lepas!" perintah Radit ketika sudah kembali dari parkiran motor.
"Ha?"
"Itu sendal lo lepasin dulu."
"Buat apa? Nggak mau!"
"Lo yang lepasin atau gue yang lepasin dengan paksa?"
"Sekarang juga lo udah maksa-maksa. Oke, oke, gue lepasin. Lo mau ngapain, sih? Aneh banget," oceh Raya tak henti-henti.
Meski merasa aneh, Raya akhirnya melepaskan sandalnya, lalu menyerahkan pada tangan Radit yang sudah terulur. Tiba-tiba Radit mengeluarkan sebuah kuas dari kantong celananya, dan mulai membersihkan pasir yang menempel di sandal Raya dengan kuas itu. Sikap tak terduga Radit ini sukses membuat Raya mengerutkan kening.
"Radit..." Raya kehabisan kata-kata.
"Nih, pake lagi sendalnya!" perintah Radit sambil mengembalikan sandal Raya yang kini sudah bersih dari pasir pantai.
"Makasih," ucap Raya tersipu malu sambil menyelipkan rambutnya ke kuping.
"Sama-sama." Radit menjawabnya dengan halus.
Pandangan Radit kembali terhenti pada Raya yang kini menundukkan wajahnya. Walau menunduk, tapi rona merah di pipi Raya masih terlihat. Lucu sekali, ujar Radit dalam hati.
Drt.. drt.. drt.. I don't like your little games. Tiba-tiba dering ponsel Raya membuyarkan suasana manis. Raya tersadar dari alam bawah sadarnya, lalu bergegas mencari ponsel yang memperdengarkan suara Taylor Swift dengan lagu Look What You Made Me Do. Radit mengintip layar ponsel Raya. Tertulis nama Aldo di sana. Sial, laki-laki itu. Batin Radit merasa kesal.
Raya menjauhi Radit, lalu menjawab panggilan dari Aldo. "Hallo, Kak Al."
"Kamu di mana, Ray?"
"Di pantai. Kenapa, Kak?"
Pantai? Pantai mana? Sama siapa? Ngapain? Dari kapan? Pulang jam berapa? Aldo ingin sekali menanyakan rentetan pertanyaan itu, tapi terpaksa ditahannya. "Aku mau ajak kamu ke kantor yang baru aja selesai direnovasi. Aku butuh masukan dari kamu mengenai bisnis yang akan aku mulai."
"Wah, kantor Kak Aldo udah jadi? Selamat ya, Kak, tapi kenapa butuh masukan aku? Emang bisnis yang akan Kak Aldo mulai itu bisnis apa? Kak Aldo nggak pernah mau cerita, deh."
"Makanya, hari ini aku mau ceritain ke kamu. Kamu bersedia?"
"Pastilah!"
"Ya udah, sekarang kamu di mana? Aku jemput, ya."
"Sekarang?" Raya menoleh pada Radit yang pura-pura tidak memperhatikannya. Ada perasaan tidak enak meninggalkan Radit untuk pergi dengan laki-laki lain.
"Ya! Jadi, kamu tinggal sebutin kamu lagi di pantai mana, aku akan datang." ∩∩∩
@rara_el_hasan makasih, Mbak Raya... eh Mbak Rara hehe