Read More >>"> Ketika Kita Berdua (Kamu Baik Juga) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Ketika Kita Berdua
MENU
About Us  

"Kalau dipikir-pikir, kamu baik juga."

-Raya Aurora-

Raya sudah mengganti ponselnya dengan yang baru. Sebuah ponsel dengan kamera depan 20 MP, kamera belakang 16 MP, RAM 4 GB, dan penyimpanan internal berkapasitas 32 GB. Jika dibandingkan dengan ponsel keluaran terbaru, ponsel ini memang masih kalah jauh, tapi bagi Raya sudah cukup untuk menunjang usahanya. Raya membeli ponsel barunya ini dengan memanfaatkan kartu kredit setelah berpikir keras ribuan kali, karena dia bukan tipe orang yang menghambur-hamburkan hartanya yang tidak seberapa, termasuk saldo kartu kredit.

Jam di ponsel Raya menunjukkan pukul 11 siang. Tepat saat matahari sedang menggantung dengan gagah di atas kepala. Gadis itu mulai memotret koleksi kalung terbarunya di atas atap Nongky Cafe. Lantai paling atas kafe ini tampak sepi, bahkan sepi sekali. Dua lantai di bawahnya pun sepi pengunjung, hanya ada beberapa pengunjung yang terlihat memesan minuman. Raya melakukan pemotretan seorang diri tanpa bantuan fotografer, karena gadis itu menggunakan modal sehemat mungkin. Raya mempunyai dua konsep foto, pertama dia memotret kalungnya saja, dan kedua dia memotret dirinya yang sedang mengenakan kalung dengan kamera depan yang diselipkan di tengah-tengah three pod.

"Lo nggak capek photosoot sendirian aja? Butuh fotografer?"

Raya menoleh seketika. "Radit?" Kemudian tercengang saat melihat Radit yang tiba-tiba ada di belakangnya.

"Ah, tapi kayanya lo bisa sendiri deh, lo kan wanita strong. Gue balik lagi, ya."

"Eh, eh, Dit! Apa-apaan sih? Udah dateng seenaknya, pergi juga seenaknya," keluh Raya, membuat Radit tertawa lepas. Ada perasaan bahagia di hatinya siang ini bisa bertemu dengan Raya tanpa sengaja. "Ketawa lagi, uh!" lanjut Raya, kesal.

"Ya, terus gue harus gimana dong, Raya Aurora?" tanya Radit sok polos.

"Bantuin gue sini."

"Tolong bantuin aku dong, Kak." Radit memberikan senyum innocent.

"Ha?" Raya terkejut dan tidak mengerti apa yang laki-laki itu bicarakan.

"Tolong bantuin aku dong, Kak. Coba ngomong kayak gitu!" perintah Radit konyol.

"Astaga!" Raya menepuk kepalanya yang tiba-tiba terasa pening.

"Ya udah, gue balik lagi." Radit bersiap memutarbalikkan tubuhnya.

"Oke, oke. Tolong bantuin aku dong, Kak."

"Kurang senyum."

"Tolong bantuin aku dong, Kak," ucap Raya sambil tersenyum seperti yang diperintahkan oleh Radit.

"With pleasure," jawab Radit membuat Raya mengepalkan tangan, lalu menonjok ringan lengannya yang berotot.

Kemudian, dua anak Adam yang kadang akur dan kadang ribut itu pun melakukan pemotretan bersama. Raya yang menjadi modelnya, sementara Radit menjadi fotografer. Pemotretan tidaklah mulus, karena Radit seringkali memotret dalam keadaan Raya yang belum siap. Hal ini membuat Raya kesal. Namun, Radit pandai mengembalikan suasana menjadi menyenangkan lagi, dan berhasil menghasilkan foto-foto yang membuat Raya berdecak kagum.

Tiba-tiba, Raya mulai merasa tenggorokannya kering. Dia baru teringat, sudah sekitar 2 jam dia tidak minum air putih. Tebersit di pikirannya, mungkin Radit juga merasa kehausan. Kemudian, Raya menuruni anak tangga untuk memesan minuman, karena di atap kafe tidak ada satu pun pelayan.

Tiga puluh menit kemudian, Raya kembali ke atap bersama seorang pelayan. Mereka membawa masing-masing satu nampan. Nampan Raya berisi dua piring brownies cake dan dua piring spagethi. Nampan si pelayan berisi dua gelas cappuccino ice, dua gelas air mineral, dan dua piring cheese burger.

"Ya ampun, lo ngamuk, Raya?" tanya Radit terkejut, setelah pelayan pergi.

"Ngamuk?"

"Iya, ini makanan sama minuman banyak banget. Lo banyak duit, ya?"

"Amiin, amiin. Makasih udah doain banyak duit." Raya memberikan senyum manisnya.

"Ini serius?"

"Iya serius, anggap aja ini buat bayaran lo hari ini dan beberapa minggu lalu waktu lo bantuin gue foto di kosan."

"Bayaran? Segini doang bayarannya?" cibir Radit.

"Oh, kurang? Ya udah, lo pesen lagi gih kalo masih kurang. Nggak apa-apa kok," jawab Raya serius.

"B-e-r-c-a-n-d-a," jawab Radit dengan sengaja mengejanya.

Mereka pun memakan semua yang sudah dipesan oleh Raya. Radit mulai dengan menyedot cappuccino ice, sedangkan Raya meneguk air mineral terlebih dahulu karena dia sudah sangat kehausan.

"Pelan-pelan dong lo minumnya! Lo kayak onta tahu nggak yang kehausan di tengah padang pasir. "

"Enak aja onta. Gue kayak Dian Sastro tahu!" Raya membela diri.

Radit tersenyum mendengar jawaban Raya. Kali ini dia tidak berniat mengejek Raya seperti biasa. Radit tahu kalau Raya mengidolakan sosok selebriti Dian Satro Wardoyo, karena gadis itu menyukai pribadi Dian Sastro yang pintar, sopan, berkelas, dan produktif. Dian Sastro adalah salah satu motivator secara tidak langsung bagi Raya. Raya ingin kelak dia seperti Dian Sastro, walaupun tidak seutuhnya mirip selebriti yang super cantik itu. Rayalo tahu, lo lebih cantik daripada Dian Sastro, ujar Radit dalam hati.

"Lo sekarang udah sembuh total?"

"Udah kok, alhamdulillah. Gue udah bisa pergi ke sana kemari. Udah bisa aktivitas kayak biasanya."

"Tapi gue lihat kemarin lo masih diantar sama siapa tuh namanya?"

"Iya, Kak Aldo yang maksa."

"Oh, iya, Aldo namanya." Radit mengulang nama Aldo pelan. "Pacar?" tanyanya kemudian.

"Ha? Lo lagi ngintrogasi gue?"

"Jangan kepedean deh, lo!"

"Dit, gue prefer yang terus terang dan nggak bikin gue pusing."

"Iya, iya. Gue nanya si Aldo Aldo itu pacar lo atau bukan? Dan gue nanya, apa lo udah punya pacar, Raya Aurora?" tanya Radit mantap dan jelas.

"Pertama, Kak Aldo bukan pacar gue. Kedua, gue belum punya pacar. Jelas?" Radit menganggut-angut mendengar jawaban Raya. Ketika Raya tidak melihatnya, Radit senyum-senyum sendiri.

"Btw, lo kok tiba-tiba ada di sini, Dit? Lo stalker, ya?" tanya Raya tiba-tiba.

"Enak aja."

"Lah terus?"

"Gue tadi abis ketemu klien di lantai bawah, terus gue iseng naik ke sini pengen lihat kayak gimana bentuk rooftop-nya"

"Klien? Oh, klien WO lo itu, ya?"

"Betul."

"Wah, keren! Lancar, dong, usaha WO lo?"

"Ya, alhamdulillah-lah, bismillah aja. Wait, lo bilang gue keren tadi?"

"Ha? Enggak. Siapa yang bilang lo keren? Nggak ada tuh!" sanggah Raya, lalu memalingkan wajahnya.

"Dasar pembohong besar!"

"Ih, apa sih? Sinetron banget!" seru Raya, lalu tertawa lepas yang diikuti tawa Radit.

Raya mencuri pandang pada laki-laki di sampingnya. Kalau dipikir-pikir, dia baik juga; mau bantuin aku foto-foto dan kalau dilihat-lihat, dia lumayan jugarahang yang kokoh membuatnya nampak sedikit keren, ujar Raya dalam hati. Namun, buru-buru ditepiskannya pikiran-pikiran itu. Dia menggelengkan kepala berkali-kali, membuat Radit menatapnya heran.

"Kenapa? Terpesona?"

"Iya, terpesona banget sampai mau muntah."

"Mau muntah? Belum gue apa-apain, kok udah muntah aja? Lo auto hamil karena gue lihatin?"

"Radit, vulgar banget sih ngomongnya!!!" ∩∩∩

How do you feel about this chapter?

0 0 0 1 0 0
Submit A Comment
Comments (17)
  • hayriin

    @Gladistia Wah, terima kasih banyak, ya. Senang bisa menghibur.

    Comment on chapter Ditolak Lagi
  • Gladistia

    Halo kak ^^
    Ceritanya seru, aku terhibur banget. Apalagi pas Raya sama Radit. Ada ajah kelakuan mereka....
    Ditambah sama Aldo yg....
    Ahhhh gemas. Aku tunggu next-nya ya kak.
    Semangat dan sukses untukmu ya kak ^^♡

    Comment on chapter Sambut Tanganku
  • hayriin

    @Akashisidu makasih ya, dear. 😊

  • Akashisidu

    senyum senyum sendiri bacanya. sensasi macam apa ini? niceee lanjutkan...

  • hayriin

    @enhaac Terima kasih, Kak. Aku sudah mampir ke spotmu hehe...

  • enhaac

    Enak banget bacanya.

  • Oreoreo

    Lanjuuuttt..
    Lucuu

  • shanntr

    aaa seru aku sukaa:))
    lanjutkan kak semangat yaa:)
    kunjungi sotry ku juga kalo sempet:))

  • rara_el_hasan

    @hayriinsama sama mbk Rini semangat ya

  • hayriin

    @yurriansan makasih, Kak. Iya, sama-sama. Udah ada bagian barunya nih hehe

Similar Tags
Luka Adia
646      389     0     
Romance
Cewek mungil manis yang polos, belum mengetahui apa itu cinta. Apa itu luka. Yang ia rasakan hanyalah rasa sakit yang begitu menyayat hati dan raganya. Bermula dari kenal dengan laki-laki yang terlihat lugu dan manis, ternyata lebih bangsat didalam. Luka yang ia dapat bertahun-tahun hingga ia mencoba menghapusnya. Namun tak bisa. Ia terlalu bodoh dalam percintaan. Hingga akhirnya, ia terperosok ...