"Jangan sakit lagi, atau kamu akan bosan lihat aku terus."
-Rivaldo Andrian-
Aldo memarkirkan motornya di depan gerbang indekos yang Raya tempati. Dia melihat sekeliling, gadis itu sama sekali belum nampak batang hidungnya. Pasti Raya masih siap-siap, pikir Aldo. Kemudian, laki-laki berjaket hitam itu melihat sekeliling lagi, memperhatikan lingkungan yang ditempati oleh gadis yang spesial di hatinya.
Sederhana dan sepi. Begitulah yang terlihat jelas oleh kedua bola matanya yang berwarna cokelat. Ada perasaan tidak tega dan khawatir melihat Raya tinggal di lingkungan seperti ini. Bagaimana kalau ketika Raya pulang malam, ada orang yang mengikutinya, lalu berbuat jahat? Bagaimana kalau kamar Raya dimasuki oleh penghuni laki-laki yang iseng? Pikiran ini sangat mengganggu Aldo.
Sebenarnya Aldo ingin segera melamar dan menikahi Raya, lalu membawanya tinggal bersama di sebuah rumah yang aman dan nyaman. Namun, keinginan itu hanya ada dalam pikirannya karena untuk sekadar mengutarakan perasaannya pun Aldo masih belum berani.
Lima menit berlalu, Raya masih belum muncul. Nggak biasanya, Raya nggak on time gini, pikir Aldo. Lalu Aldo mengeluarkan ponselnya dan menekan sebuah nomor.
"Hallo?" jawab suara di ujung sana.
"Raya, aku udah di depan gerbang kosan kamu, ya."
"Oh, oke, Kak Al. Aku bentar lagi turun kok. Tunggu, ya."
"Oke." Telepon pun ditutup.
Tiba-tiba Aldo terdiam, dia terkejut ketika melihat seseorang yang kini menatapnya dengan sinis. Radit. Radit baru pulang dari kantornya dan hendak membuka gerbang indekos, lalu berhenti ketika melihat laki-laki yang tidak disukainya itu ada di wilayahnya.
"Hallo," sapa Aldo basa-basi.
"Ya," jawab Radit datar.
"Kak Al!" panggil Raya yang muncul dari balik pintu gerbang kecil. Kondisi Raya sudah membaik. Gadis itu sudah kembali ceria dan tidak lagi berwajah pucat.
"Hai, udah siap?"
"Udah, kok."
"Eh Dit, udah pulang lo?" tanya Raya pada Radit ketika menyadari kehadiran Radit di tengah-tengah mereka.
"Udah."
"Tumben pulang siang?"
Iya, gue pulang siang karena khawatirin keadaan lo, Ray.
Radit, Radit, lo ngapain khawatirin cewek yang udah punya pacar?
Ha pacar?
Iyalah, semalem lo lihat 'kan mereka gandengan sambil ketawa-tawa dan hari ini cowok itu ngejemput Raya. Come on, dude, apa lagi kalo bukan karena cowok itu pacarnya Raya?
Ah, bodo amat! Lagian gue nggak khawatirin dia. Enggak sama sekali. Titik.
Begitulah Radit berperang dengan dirinya sendiri. Mengenaskan.
"Iya, lagi nggak ada klien, jadi pulang cepat," jawab Radit asal. Bohong, padahal Radit sendiri yang membatalkan semua janji dengan kliennya hari ini.
"Masa, sih? Kata Dinda lo hari ini ada jadwal ketemu klien di Depok." Skak mat! Radit menyesal telah menyelesaikan masalah dengan masalah.
"Meeting-nya ditunda dulu."
"Oh ya, udah. Gue pergi dulu, ya."
Radit tidak bisa melakukan apa pun untuk mencegah agar Raya tidak pergi dengan Aldo. Ah, bodo amat! Ngapain juga gue ngelarang-larang dia mau pergi sama siapa? pikirnya kemudian. Radit melenguh, lalu membuka gerbang besar, memasukkan motor, dan berbaring di kasur. Laki-laki itu menyetel musik dari ponsel dan menghubungkannya dengan speaker bluetooth. Wajahnya benar-benar kesal. Dia pun tidak mengerti kenapa bisa secemburu ini melihat Aldo menjemput Raya. Ditambah, Radit tidak mengetahui ke mana Aldo akan membawa gadis itu.
"Dit, Radit!" panggil seseorang dari luar kamar Radit sambil mengetuk-ketuk pintu.
Radit membuka pintu dengan wajah kesal karena merasa terganggu. "Din?" Ternyata yang mengetuk pintu kamarnya adalah Dinda.
"Dit, bisa tolong kecilin nggak suara musiknya? Kedengeran kenceng banget sampai keluar," pinta Dinda.
"Oh, ya. Sorry, Din. Bentar, ya." Radit kembali ke dalam kamarnya, lalu mengecilkan suara musik seperti yang diminta oleh Dinda.
"Lo nggak jadi ke Depok?" Lagi. Pertanyaan itu terdengar lagi di telinga Radit dan sukses membuatnya semakin kesal. Oke fine, gue nggak jago bohong, hatinya menyerah.
"Nggak jadi, klien gue mundurin jadwalnya."
"Oh, gitu. Btw, gue bawain ini buat lo. Barangkali lo belum makan siang," ujar Dinda sambil menyodorkan sebuah kotak styrofoam setelah Radit kembali muncul di ambang pintu.
"Ini apa, Din? Oh, ayam bakar. Sebenernya lo nggak perlu repot-repot bawain gue makanan kayak gini, sih, Din."
"Nggak apa-apa, kok. Gue cuma ngerasa nggak enak aja kemaren gue udah refleks ngegandeng tangan lo. Gue nggak tau lo nggak suka digandeng gitu dan gue nggak bakalan lagi-lagi, kok," tutur Dinda yang diakhiri dengan senyum manis.
Seketika rasa kesal Radit sedikit menghilang, lalu berganti dengan rasa tidak enak pada Dinda. Tidak bisa dipungkiri oleh Radit, Dinda adalah gadis yang manis dan baik. Atas dasar sopan santun dan perut yang memang sudah keroncongan, Radit menerima nasi dan ayam bakar pemberian Dinda, kemudian memakannya setelah Dinda pergi.
--
Raya sedang berjalan-jalan di pasar grosir aksesori. Gadis itu mencari aksesori untuk dijualnya. Dia sudah sering pergi ke pasar ini sendirian, tapi kali ini gadis itu ditemani oleh Aldo. Aldo menawarkan diri untuk menemaninya dengan alasan Raya belum boleh pergi ke mana pun sendirian karena khawatir gadis spesialnya itu akan jatuh sakit lagi.
Aldo memang menganggap Raya sebagai gadis spesialnya, tapi status mereka hanya teman. Raya dan Aldo adalah teman sekantor, tapi itu dulu sebelum Raya memutuskan untuk resign, lalu menjadi seperti sekarang ini, merintis usaha kecil-kecilan dan menulis novel. Walaupun sudah tidak berada di bawah satu naungan yang sama, mereka masih berhubungan baik sampai sekarang.
Raya terlihat sibuk memilih-milih aksesori kalung. Ada kalung impor dari Korea dan Cina. Ada juga produk lokal dari Jogyakarta dan Malang. Cekrek. Raya menoleh ketika mendengar suara jepretan kamera. "Kak Aldo!" pekik Raya.
Aldo tertawa pelan. "Muka kamu lucu, Ray, kalo lagi serius gitu." Aldo, laki-laki itu diam-diam mengabadikan wajah hectic Raya dengan ponselnya.
"Kak Aldo nyebelin! Pasti muka aku enggak banget deh di foto. Coba sini lihat fotonya!" Raya meminta dengan paksa.
"Engga, ah! Nanti aja kamu lihatnya," tolak Aldo, lalu memasukkan ponselnya ke saku celana, membuat Raya mengerucutkan bibir sesaat. "Udah sana, pilih-pilih lagi kalungnya!" perintah Aldo kemudian, yang langsung dituruti oleh gadis itu.
Malamnya Raya pulang ke indekos dengan wajah lelah beserta ransel yang sudah terisi penuh di pundaknya. Saat gadis itu akan menaiki anak tangga menuju kamarnya, dia melihat Radit dan Dinda yang sedang asyik mengobrol di sofa ruang tamu. Seketika Raya merasakan sesuatu yang asing dalam hatinya. Entah apa.
Raya memperhatikan Radit dan Dinda selama beberapa menit, tapi tidak satu pun dari mereka yang sadar akan kehadirannya, bahkan suara tawa mereka terdengar semakin seru. Akhirnya Raya membuka suara, menyapa mereka terlebih dahulu.
"Hei, seru amat ngobrolnya! Lagi pada ngobrolin apa, sih?"
"Eh, Raya? Sini, Ray, gabung! Ini si Radit lagi nyeritain kliennya," jawab Dinda masih dengan tawanya.
"Oh, terus?" tanya Raya, lalu duduk di samping Radit.
"Masa dia punya klien yang minta buru-buru, tapi klien itu salah milih bunga buat dekor, nggak sesuai dengan permintaan si calon istri. Eh, dimarah-marahin, terus si ceweknya jadi bete. Jadi, jadwal mereka mundur, nunggu si cewek tenang dulu. Ckckck, mau buru-buru, malah jadi makin lama!" cerita Dinda, lalu tertawa puas.
Radit tertawa santai. "Iya, udah galak banget. Bilang WO gue yang kerjanya lelet, eh malah dia yang dimarah-marahin sama ceweknya. Kocak sumpah, lihat ekspresinya. Langsung lembek kayak kerupuk disiram air panas!"
"Jadi, di balik cowok yang galak, ada cewek yang lebih galak, ya?" Raya ikut tertawa.
"Iya, makanya gue nggak mau jadi cowok galak. Entar calon istri gue lebih galak, kayak lo."
"Ha? Gue? Emang gue galak? Gue mah anak manis."
"Kalian pacaran?" tanya Dinda tiba-tiba, membuat Radit tersedak kacang yang dikunyahnya, sementara Raya tercengang. Raya merasa sepertinya dia sudah salah bicara.
"Enggaklah, Din. Udah, ya. Gue ke atas dulu. Capek, abis belanja." Lalu Raya bergegas meninggalkan mereka sambil tersenyum. Lebih tepatnya, berusaha tersenyum untuk menutupi kegugupannya yang tiba-tiba muncul.
Tiba di kamar, Raya segera mandi untuk mendinginkan otaknya, lalu mendirikan salat isya. Selesai salat, dia membaringkan tubuh di atas kasurnya yang bernuansa biru. Pikirannya kembali ke pemandangan Radit dan Dinda yang sudah terlihat akrab, Radit yang menyinggungnya soal calon istri, jawabannya sendiri yang seperti menyambut keinginan Radit, dan sikap Aldo yang semakin perhatian padanya.
Hari ini laki-laki berusia 29 tahun itu menemani Raya berbelanja barang dagangan, memberikan saran serta pendapat pada pilihan aksesori yang Raya sodorkan, menghibur gadis itu ketika mulai stres karena salah satu model kalung yang dicarinya tidak ada, mentraktir makan walaupun awalnya Raya yang berniat mentraktir Aldo sebagai ucapan terima kasih karena sudah rela membawakan ransel Raya yang dipenuhi dengan belanjaan, mengantar Raya pulang ke indekos, dan terakhir Aldo mengucapkan kalimat, "Jangan tidur terlalu malam, Raya. Kamu jangan terlalu capek, jaga kesehatan, dan jangan sakit lagi, atau kamu akan bosan lihat aku terus karena aku pasti akan selalu nemenin kamu ke mana pun".
Sebenarnya apa yang membuat Kak Aldo jadi seperhatian sekarang? tanya Raya dalam hati, lalu menarik napas dan mengembuskannya kasar. Kepala gadis itu dibuat agak pening oleh pemikirannya sendiri. Kemudian, dia menarik selimut; menyembunyikan kepalanya. Dia sadar, inilah yang seharusnya dia lakukan sejak tadi; beristirahat. Besok waktunya photoshoot, ucap Raya dalam hati, lalu terlelap dengan mudahnya. ∩∩∩
@Gladistia Wah, terima kasih banyak, ya. Senang bisa menghibur.
Comment on chapter Ditolak Lagi