Loading...
Logo TinLit
Read Story - Ketika Kita Berdua
MENU
About Us  

"Jika marah sama dengan khawatir, berarti saat ini gue sedang mengkhawatirkan lo, tapi kenapa gue harus marah?"

-Raditya Malvino-

Raditya Malvino. Laki-laki dengan tinggi 175 sentimeter ini memiliki alis yang tebal, rahang yang kokoh, dan hidung yang mancung. Radit adalah pemilik Malvino Wedding Organizer, sebuah wedding organizer yang baru berusia 3 tahun.

Radit tinggal di indekos yang sama dengan Raya. Dia di lantai bawah yang memang dikhususkan untuk laki-laki, sementara Raya di lantai atas yang tentunya dikhususkan untuk wanita. Radit seringkali mengganggu Raya, seperti ada kesenangan tersendiri ketika melihat Raya merasa kesal karena ulahnya. Raya pun tidak tinggal diam, dia selalu membalas ketika laki-laki itu mulai mengganggunya.

Sore ini Radit sedang berkutat di depan laptop, mengedit sebuah video pernikahan kliennya yang dilangsungkan 2 hari yang lalu. Meskipun Radit memiliki beberapa karyawan di kantornya, dan hari ini adalah hari Minggu, dia tetap bekerja keras. Dia bukan seorang bos yang hanya 'terima beres' tanpa mengetahui bagaimana prosesnya. Radit lebih banyak terjun langsung ke lapangan. Terlebih, wedding organizer miliknya ini masih sangat 'bayi' dalam bidang bisnis.

Sekitar enam puluh menit kemudian, Radit mulai merasa punggungnya pegal dan matanya perih. Laki-laki itu memutuskan untuk rehat sejenak dari aktivitasnya, lalu beranjak ke dapur. Di sana dia menuangkan air putih ke dalam gelas sebelum akhirnya meneguk seluruhnya dalam hitungan detik. Lega. Begitulah ekspresi yang terpampang nyata di wajahnya.

Ekspresi lega itu tiba-tiba berubah menjadi ekspresi jahil ketika Raya menuruni anak tangga. Dengan wajah lelah, Raya berjalan mendekati kulkas dan membuat Radit semakin gencar mencari-cari cara agar membuat Raya terlihat semakin frustrasi.

Brak!!! Sebuah mangkuk plastik tiba-tiba terjatuh dari meja, membuat Raya mendongakkannya kepalanya yang sedari tadi menunduk. "Hah!!!" teriak Raya. Tangannya sontak menepuk dada. Dia benar-benar terkejut.

"Eh sorrysorry, nggak sengaja," kata Radit, pura-pura terkejut.

Raya tidak memedulikan Radit, karena dia tahu betul Radit sengaja menjatuhkan piring plastik itu untuk mengerjainya. Gadis itu lalu membuka kulkas dan mencari sesuatu yang sangat diperlukannya.

"Ray, Raya! Kok diem aja? Cari apa, sih?"

"Apel."

"Lo nyari apel atau tukang apel? Itu apel ada di pojok kiri dekat jeruk," ujar Radit, membuat Raya menyadari betapa bodohnya dia ketika mendapati apel yang dicari-cari berada persis di depan matanya.

Setelah mengambil dua buah apel, Raya kemudian menaiki anak tangga meninggalkan dapur dengan pandangan yang masih datar. Sikap Raya ini membuat Radit tiba-tiba menjadi agak khawatir, mengingat Raya adalah sosok yang selalu ceria dan siap sedia untuk membalas kejahilannya kapan pun itu.

"Raya, are you okay?" Wajah jahil Radit seketika berubah menjadi khawatir dan penuh empati.

Raya menjawabnya dengan sebuah anggukan berat sambil meneruskan langkahnya tanpa memedulikan ekspresi apa pun pada wajah laki-laki yang saat ini masih berdiri terpaku di tempatnya. Beberapa saat kemudian, dengan penuh pertimbangan Radit menyusul Raya.

"Ya, siapa?" Terdengar suara lemas Raya setelah Radit mengetuk pintu kamarnya beberapa kali.

"Radit."

Kemudian pintu kamar Raya terbuka, membuat mereka saling berhadapan. Dari jarak sedekat ini, Radit dapat melihat wajah Raya pucat pasi yang sebelumnya tidak terlihat saat mereka berada di dapur.

"Lo sakit? Muka lo pucat banget."

"Gue baik-baik aja. Jangan sok perhatian gitu, deh. Gue geli lihatnya."

"Yuk, gue anterin ke dokter!"

"Sok perhatian banget lo! Tadi aja ngisengin gue di dapur."

"Lo kalo lagi sakit ternyata bisa baper juga, ya. Cepet siap-siap! Gue tunggu di bawah. Kita ke dokter. Gue cuma nggak mau ada orang pingsan di sini, entar gue-gue juga yang repot."

Walau Raya kesal mendengar celotehan Radit yang masih sempat-sempatnya mengejek, dia tetap menuruti perintah laki-laki yang kini bergegas kembali ke lantai bawah untuk bersiap.

--

Di antara orang-orang yang duduk di ruang tunggu, di sinilah kini Radit termenung. Pikirannya terfokus pada kondisi Raya yang baru kali ini terlihat sakit, karena di mata Radit, Raya selalu terlihat energik. Kemudian, Radit mengotak-atik ponselnya, padahal tidak ada notifikasi apa pun.

"Dit." Suara Raya mengalihkan perhatiannya dari ponsel.

"Ya?" jawab Radit dengan manis. Tumben.

"Yuk, pulang!" ajak Raya sambil memasukkan obat yang sebelumnya diberikan oleh petugas klinik.

Radit bangkit dari duduknya. "Udah selesai? Apa kata dokter?"

"Nggak apa-apa, cuma gejala typus." Raya menjawab santai.

"Cuma kata lo? Itu gejala typus lho, Raya. Kalo typus beneran gimana?" cecar Radit panik, setengah membentak.

"Lo kenapa, sih? Tiba-tiba berubah jadi perhatian gini. Biasanya juga lo gangguin gue terus. Gue nggak bakalan kena typus beneran. Gue akan jaga kesehatanlah, makan yang bergizi, dan minum obat yang teratur," cerocos Raya malas.

"Ya udah kalo udah paham, tapi harus dipraktekin ya, jangan cuma teori. Ayo, pulang!"

"Iya, bawel."

--

Dinda menyedot jus jeruk yang bertengger manis di hadapannya, lalu tersenyum pada Radit yang sedang fokus mengetikkan sebuah pesan dalam aplikasi WhatsApp. Dinda dan Radit kini berada di Caffe Blueberry yang letaknya tidak jauh dari indekos mereka. Indekos mereka? Betul, karena Dinda tinggal di indekos yang sama dengan Radit sejak kepindahannya dari Bogor minggu lalu. Kamar Dinda berada di sebelah kamar Raya. Anyway, where is Raya? Raya tidak ikut pergi ke kafe karena masih harus beristirahat mengingat demamnya belum sembuh juga.

"Dit."

"Iya?" tanya Radit tanpa melepaskan perhatiannya dari ponsel.

"Muka lo keliatan lagi khawatir banget, ada masalah?"

"Engga, biasa aja." Radit melirik Dinda, lalu memasukkan ponselnya di saku celana. "Din, sorry, kalo lo udah kelar makannya bisa nggak kita langsung pulang aja?" sambungnya.

"Tuh kan, kata lo tadi nggak ada masalah."

Radit cengengesan. "Iya nih, emang nggak ada masalah sih, tapi gue lagi pengen tidur cepet soalnya besok mau ketemu klien di Depok."

"Oh, gitu. Ya udah, yuk kita langsung pulang aja sekarang."

"Sekarang nih? Tapi kan makanan lo belum abis, Din."

"Nggak apa-apa, lagian juga gue udah kenyang kok."

Dengan muka ditekuk, Dinda meninggalkan sushi yang baru dimakannya dua potong, lalu berjalan menuju parkiran yang diikuti oleh ekspresi bingung Radit. Sepertinya Radit merasa tidak enak karena mengajak Dinda untuk cepat-cepat pulang.

"Din, sorry ya gara-gara gue lo jadi nggak bisa nikmatin sushi yang lo pengen-pengenin. Sekali lagi gue minta maaf," ucap Radit penuh penyesalan.

"It's oke, Dit, but sebagai gantinya kita ke sini lagi next satnight, ya."

"Em..." Radit memutar otaknya.

"Deal?"

"Ya, kita liat nanti ya, Din. Kalo gue nggak ada kerjaan," jawab Radit datar.

--

Radit dan Dinda tiba di indekos. Dinda menuruni motor Radit sambil memegangi pundak laki-laki itu sebagai pertahanan agar dia tidak jatuh. Kemudian, tangan Dinda berpindah ke lengan Radit meski dia kini sudah dalam posisi berdiri. Hal ini membuat Radit merasa agak risi. Lalu disingkirkannya tangan Dinda sambil berkata, "Din, sorry, gue agak risi digandeng kayak gini."

"Oh ya, sorry. Gue cuma refleks."

Obrolan mereka terhenti ketika Raya dan Aldo tiba-tiba keluar menuju parkiran. Tampak jelas Aldo menggandeng lengan Raya yang terlihat masih lesu. Tak hanya itu, mereka bahkan saling melempar senyum. Pemandangan ini membuat darah Radit memanas seketika.

"Raya!" panggil Dinda.

"Eh, Dinda! Kok cepet banget udah pulang aja?"

"Iya, si Radit kasian kecapekan, jadi kita langsung pulang aja deh."

Tanpa disadari oleh Raya dan Dinda, di tengah-tengah mereka kini sedang terjadi perang mata. Tepat. Radit dan Aldo sedang berkuat-kuat otot mata saling melototi satu sama lain.

Lo siapanya Raya? Kenapa melototin gue kaya gitu? Batin Aldo.

Lo siapanya Raya? Seenaknya gandeng tangan Raya sambil ketawa-tawa! Batin Radit.

Tak lama kemudian, Dinda memutuskan untuk naik ke kamarnya. Aldo pun sudah meninggalkan indekos. Kini tinggallah Raya dan Radit yang sibuk dengan kegiatannya masing-masing di dapur. Raya sedang mencuci piring yang tadi digunakan untuk memakan sup ayam yang dibawakan oleh Aldo, sedangkan Radit sedang meneguk air putih sambil memandangi punggung Raya.

"Dit, thank you tadi siang ud..." Kalimat Raya terpotong ketika membalikkan tubuhnya dan mendapati Radit tersedak sejadi-jadinya dengan gelas yang masih berada di genggaman, "eh, lo kenapa?" tanyanya kemudian, lalu bergerak cepat dan mengambil berlembar-lembar tisu yang berada di atas meja makan.

"Lo ngagetin, Ray," gumam Radit sangat pelan hingga Raya tidak mendengarnya.

"Duh, Radit, lo itu kaya bocah banget! Minum aja pake kesedak. Pelan-pelan aja minumnya," omel Raya tak henti-henti sambil mengelap air yang membasahi kemeja Radit. Tak sadar tangannya kini sedang menari-nari di pipi laki-laki itu, lalu beralih pada bagian bibir. Tiba-tiba gerakannya terhenti, sukses membuat keduanya saling menatap untuk beberapa detik. "Nih, elapin sendiri! Manja banget," perintah Raya sambil menyerahkan tisu dengan gerakan kasar pada tangan Radit.

"Yeee, siapa juga yang minta dielapin? Dasar biji cabe!" Bukan Radit namanya kalau tidak mengejek Raya.

"Dasar biji kedondong!" balas Raya tak mau kalah.

Di luar keributan kecilnya dengan Raya, sebenarnya Radit ingin sekali memarahi gadis yang saat ini mengenakan baju tidur bergambar panda dan anak-anaknya itu. Pertama, karena Raya berani turun dari kamarnya di saat gadis itu seharusnya beristirahat saja di dalam kamar. Kedua, karena Raya menerima tamu laki-laki. Ketiga, karena Raya membiarkan lengannya digandeng oleh laki-laki yang memiliki bola mata yang tidak Radit sukai. Keempat, karena Radit belum pernah membuat Raya tersenyum sebahagia seperti saat Raya bercengkerama dengan laki-laki itu. Kelima, karena Radit tidak mengerti kenapa semua alasan ini tiba-tiba muncul dalam benaknya. Radit ingin menepis semua pikiran konyol dalam otaknya ini. Kemudian dia berjalan menuju kamar, lalu memutar kunci pintunya. Meninggalkan Raya yang kini sedang memotong-motong buah pir.

"Awh!"

Radit membalikkan lagi badannya saat hampir memasuki kamar ketika mendengar sebuah erangan. "Duh, Raya!" Dengan sigap Radit menopang tubuh Raya yang hampir terjatuh. "Lo kenapa?" tanyanya panik.

"Kepala gue pusing banget, Dit. Kunang-kunang terus kayak ditusuk-tusuk gitu," keluh Raya dengan suara yang tiba-tiba melemah dan terbata-bata.

"Ya udah, kita ke atas, ya."

Dalam hitungan detik Raya sudah berada di gendongan Radit menuju kamarnya, serta melupakan buah pir yang tadi sudah dipotong-potong. Raya sempat menolak, tapi dia tidak berdaya karena rasa sakit kepalanya yang begitu hebat. Akhirnya gadis itu hanya bisa menerima perlakuan Radit yang manis dan tiba-tiba ini. Tanpa sadar Raya menyenderkan kepalanya di dada bidang milik Radit, lalu melingkarkan tangannya di pundak laki-laki itu. ∩∩∩

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (17)
Similar Tags
No Longer the Same
496      361     1     
True Story
Sejak ibunya pergi, dunia Hafa terasa runtuh pelan-pelan. Rumah yang dulu hangat dan penuh tawa kini hanya menyisakan gema langkah yang dingin. Ayah tirinya membawa perempuan lain ke dalam rumah, seolah menghapus jejak kenangan yang pernah hidup bersama ibunya yang wafat karena kanker. Kakak dan abang yang dulu ia andalkan kini sibuk dengan urusan mereka sendiri, dan ayah kandungnya terlalu jauh ...
Luka Adia
834      507     0     
Romance
Cewek mungil manis yang polos, belum mengetahui apa itu cinta. Apa itu luka. Yang ia rasakan hanyalah rasa sakit yang begitu menyayat hati dan raganya. Bermula dari kenal dengan laki-laki yang terlihat lugu dan manis, ternyata lebih bangsat didalam. Luka yang ia dapat bertahun-tahun hingga ia mencoba menghapusnya. Namun tak bisa. Ia terlalu bodoh dalam percintaan. Hingga akhirnya, ia terperosok ...