Read More >>"> Ketika Kita Berdua (Produktivitas Tanpa Batas) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Ketika Kita Berdua
MENU
About Us  

"No time to lay in my bed like Bruno Mars's song."

-Raya Aurora-

Langit mungkin sedang marah-marahnya kepada bumi. Terlihat dari terik matahari yang begitu menyengat kulit. Cuaca seperti ini sangat menyiksa untuk beberapa orang, khususnya para gadis yang sudah berdandan maksimal. Mereka terpaksa keluar rumah sambil terus-menerus mengeluh karena khawatir kulit mereka akan menghitam. Namun, tidak bagi Raya. Gadis itu sedang asyik mencari sudut foto yang bagus. Baginya terik matahari adalah pencahayaan terbaik untuk melakukan pemotretan produk.

Pemotretan yang dimaksud bukanlah pemotretan dengan menggunakan kamera Canon ataupun Nikon, lalu dipercantik dengan properti mewah, serta dibantu dengan pencahayaan di mana-mana. Tidak sekeren itu. Ralat, maksudnya belum sekeren itu. Pemotretan yang dimaksud hanyalah memotret produk dengan menggunakan ponsel jadul, pencahayaan alami, properti seadanya, dan Raya menyebutnya sebagai pemotretan. Pemaksaan.

"Raya!" panggil seorang laki-laki.

"Hem." Raya masih fokus pada aktivitasnya. Tidak melirik laki-laki itu sedikit pun.

"Raya!!!" Laki-laki tadi memanggilnya lagi. Kali ini dengan teriakan yang sukses membuat Raya mendengus kesal.

"Radit, apaan sih?!" bentaknya disertai tatapan mengerikan membuat Radit tersentak.

"Lagi ngapain, Raya cantik?" tanya Radit dengan nada yang melembut. Dia sadar bahwa baru saja membangunkan Mak Lampir yang sedang tertidur tenang.

"Lagi foto," jawab Raya singkat, lalu melanjutkan aktivitasnya. "Awas, ih! Lo ngalangin cahaya," usir Raya pada Radit yang baru saja berdiri di depan objek fotonya, sementara yang diusir tetap santai.

"Nggak mau, gue maunya di sini," tolak Radit masih santai, lalu menyandarkan pinggang pada penyangga tangga.

"Radit, awas! Nyebelin, ih!" Raya murka. Dia menggeser tubuh Radit dengan paksa, tak peduli seberapa berototnya lengan laki-laki tengil itu.

"Iya, iya. Aduh ampun, ampun, Mak Lampir!" Radit mengaduh, lalu terpaksa beralih pada dinding di samping Raya; menyandarkan tubuhnya. "Raya, sini coba hape lo!" pinta Radit tiba-tiba.

"Ngapain, sih? Gue lagi motoin dagangan, jangan ganggu deh lo!"

"Sini!" pinta Radit lagi kedua kalinya.

"Iya, iya, ih." Gadis itu terpaksa menyodorkan ponsel jadul yang sudah sedari tadi diputar-putarnya untuk mencari sudut foto yang tepat.

"Nih gini nih, talinya lo taruh miring terus bandul-bandulannya lo tekuk gini."

"Oh, gue kira lo mau ngapain," ujar Raya sambil cengengesan.

"Makanya jangan sering-sering suuzon sama gue. Nih, perhatiin potografer profesional!" Radit mengubah ekspresi wajahnya agar telihat sekeren mungkin.

"Terus aja sok kegantengan. Buruan lanjutin!" Raya menjitak kepala Radit hingga laki-laki itu meringis.

"Iya, iya. Terus ini buat apa?" Radit menunjuk pada beberapa tangkai bunga buatan yang sangat cantik.

"Buat properti."

Radit meletakkan bunga dengan asal. "Di sini naruhnya?"

"Bukan di situ. Jadi, itu cuma ditaro di pinggir, yang masuk frame cuma setengahnya aja."

"Oh gitu, biar apa?"

"Biar jadi bagus aja pokoknya. Ya, namanya juga pemanis, jadi setengah aja cukup. Katanya fotografer profesional, masa nggak tahu?" Raya melipat kedua tangannya di dada sementara Radit cengengesan.

Cekrek. "Nah, gimana?" Radit memamerkan hasil bidikan pertamanya.

"Woh, daebak... keren... bagus, bagus!" seru Raya takjub.

"Coba lo foto sendiri nih, nyusahin orang aja!" Radit mengoceh, lalu mengembalikan ponsel jadul milik Raya.

"Yeee, yang mau ikut campur siapa? Gue nggak minta tuh, wleek!" Raya menjulurkan lidahnya, lalu mencoba memotret setelah sebelumnya meletakkan kalung yang lain.

"Bukan gitu posisi hapenya. Gimana sih masa gitu aja nggak bisa? Jadi, hapenya lo miringin biar angle-nya bagus."

Seperti itulah Radit mengarahkan Raya dengan sabar walau sesekali mengejek gadis itu—tentunya—hingga tidak terasa 1 jam telah berlalu. Sudah lima belas model aksesori kalung terfoto. Keringat membuat rambut panjang Raya terlihat lepek. Radit pun tak kalah, kaos hitamnya mulai basah karena keringat yang luar biasa.

"Hore, udah banyak yang difoto!" Raya bertepuk tangan kegirangan.

"Hore, makan-makan!" Radit tak kalah heboh.

"Makan makan?" tawa Raya terhenti.

"Ya, iyalah. Cape nih gue, kepanasan, keringetan, pegel." Radit mengelap keringat yang mengucur di lehernya.

"Nggak ikhlas banget lo bantuin gue." Raya mengerucutkan bibirnya.

"Pelit banget lo."

"Ya udah, iya, iya."

"Gitu dong, jangan pelit-pelit jadi orang, entar jomlo seumur hidup lo."

"Ngomong tuh sama diri sendiri!" sembur Raya, lalu merapikan barang-barangnya, mengabaikan Radit yang masih mengumpat kesal.

--

Taman Kencana. Taman yang berada di wilayah Jakarta Barat ini selalu dikunjungi oleh anak-anak basket, karena memiliki lapangan basket yang terbuka untuk umum dan tentunya gratis. Aldo, menjadi salah satu anak basket yang memanfaatkan taman ini. Namun, bukan sebagai pemain, melainkan sebagai pelatih.

Ketika sedang seru bermain, tiba-tiba salah satu anak lepas kendali menyebabkan bola basket terlempar ke luar lapangan, dan... jeduk! Benda bulat itu mengenai kepala seorang gadis yang sontak terjatuh lunglai. Aldo serta anak-anak didiknya berlarian ke arah sang gadis. Dengan panik, Aldo segera membalikkan tubuh gadis itu yang ternyata, "Raya? Ray, Raya!"

Rivaldo Andrian adalah seorang laki-laki dengan suara lembut, tinggi 180 cm, hidung tidak terlalu mancung, dan kulit sawo matang. Dia adalah pribadi yang selalu terlihat tenang, tapi tidak untuk saat ini. Aldo sedang duduk gelisah di bangku taman sambil memegangi kepalanya yang menunduk. Di sampingnya, Raya terbaring pingsan. Kepala gadis itu dialasi oleh sweater miliknya dan tubuhnya diselimuti oleh sweater milik Aldo. "Ray, Raya!" seru Aldo saat melihat Raya membuka kedua matanya.

"Emm, emm, Kak Al? Kak Al, kok? Aku, kok?" tanya Raya terbata-bata, masih setengah tidak sadar.

"Alhamdulillah, kamu udah sadar. Kamu tadi pingsan, Ray."

"Ha? Pingsan? Oh oh, aduh kepalaku kok agak sakit, ya?"

"Nih, ini minum dulu," perintah Aldo sambil menyodorkan air mineral yang sedari tadi sudah disiapkannya. "Kamu tadi kena bola basket. Maaf ya, itu anak didik aku yang lagi main basket terus nggak sengaja ngenain kamu. Maaf, ya. Sekarang sih anak-anaknya udah aku suruh pulang."

"Oh, itu anak didiknya Kak Aldo yang ngenain aku. Ya udah, besok mendingan Kak Aldo ngajuin resign aja deh biar mereka dapet pelatih basket yang baru, biar ngajarinnya agak beneran dikit."

"Heh, enak aja! Aku mah udah ngelatih dengan benar, cuma anginnya aja yang mengarah ke kamu terus lepas landas deh." Aldo menjelaskan, lalu cengengesan di akhir kalimat.

"Yeee, malah nyalahin angin lagi!" seru Raya sambil tertawa pelan.

"Btw, kamu ngapain ada di taman ini?"

"Aku tadi abis nganter barang ke daerah sini, terus mampir karena inget masa-masa sekolah. Dulu waktu masih sekolah aku pernah latihan drama di taman ini sama temen-temen," tutur Raya, yang dibalas anggukan oleh Aldo. "Kak Aldo ngapain ada sini? Maksudku, aku nggak pernah tahu Kak Aldo ngelatih basket."

"Cari-cari kegiatan aja sih selama nganggur."

Raya sedikit terkejut mendengar jawaban Aldo. "Kak Ado nganggur? Terus kantor gimana?"

"Aku udah resign dari kantor papa sejak sebulan yang lalu. Sekarang aku lagi prepare sebuah bisnis."

"Bisnis? Bisnis apa?"

"Ade, deh. Nanti kamu juga akan tahu."

"Sok misterius deh, Kak!"

Aldo tersenyum sambil menatap Raya lembut. "Ya udah, sekarang aku temenin kamu makan, ya. Yuk, makan! Aku udah pesenin nasi goreng buat kamu."

"Seriusan? Abis pingsan aku dikasih nasi goreng nih?" Wajah sendu Raya seketika berubah menjadi super ceria. Kembali seperti semula.

"Iya, sebagai permintaan maaf."

"Cuma nasi goreng aja? Nggak pake minum? Kan seret, Kak."

"Ah, kamu nih. Iyalah, sama minumnya juga. Yuk!" ajak Aldo lagi. Kali ini sambil menarik tangan Raya.

"Oh, oke. Btw, tangan aku berharga lho untuk menghasilkan sebuah karya. Jadi, nggak usah ditarik-tarik, nanti nilai jualku berkurang!"

Aldo terkejut dengan penolakan terselubung dari Raya, tapi keterkejutannya tidak bertahan lama, karena dia segera mengubahnya dengan tawa santai. "Ya udah, oke ini aku lepas. Aku cuma takut kamu jatuh lagi aja."

"Hu, modus!" ejek Raya, kemudian mereka berjalan menuju kantin taman.

Mereka menikmati nasi goreng dan minuman dingin dengan obrolan ringan. Sesekali Raya memancing agar Aldo mau menceritakan bisnis apa yang sedang dipersiapkannya. Namun, pertahanan Aldo sangat kuat. Dia tetap bungkam dan mengalihkan pada obrolan lain.

Setelah menghabiskan nasi goreng, Raya bergegas pamit pulang. Dia merasa butuh istirahat setelah melakukan serangkaian to do list-nya hari ini.

"Aku anterin aja ya, Ray," ujar Aldo, menawarkan diri.

"Nggak usah, Kak. Aku udah biasa ke mana-mana sendiri. Bye, Kak Al, thank you traktirannya," tolak Raya seraya menyambar tasnya.

Aldo mendesah dan bergumam, hem... ditolak lagi. "Raya, kalau butuh bantuan, jangan sungkan bilang ke aku. Aku tahu kamu kuat, tapi kamu juga wanita yang harus dibantu dan diperhatikan," ujar Aldo yang membuat Raya menoleh, lalu tersenyum kikuk. Wajahnya memerah.

--

Malam hari di depan pintu gerbang indekos, Radit sedang memasukkan motor kesayangannya sambil mendengarkan musik melalui headset. Sesaat kemudian, kesenangannya terusik oleh suara asing yang tiba-tiba muncul.

"Mas, Mas, Mas!" Radit menoleh dan mendapati seorang gadis dengan ekspresi wajah tak sabar memanggil ke arahnya.

Radit menstandar motornya, lalu melepas headset. "Iya, Mbak?"

"Maaf, Mas. Apa benar ini kosan Pak Anas?" tanya gadis itu sambil mengubah ekspresi wajah tak sabarnya menjadi semanis mungkin. Ada alasan kuat kenapa dia harus terlihat manis di hadapan Radit. Laki-laki itu terlihat sangat berkarisma di matanya.

"Oh, iya betul, Mbak. Ada yang bisa dibantu?" Radit berjalan mendekati gadis itu.

"Oh, jadi benar ya ini kosan Pak Anas. Saya nyari temen, Mas. Namanya Raya. Katanya dia ngekos di kosan Pak Anas. Kenal nggak, Mas?"

"Oh, Raya? Raya yang Kang kalung itu, ya?"

Gadis itu bingung sesaat. "Iya sih, Mas, dia jualan aksesoris cewek gitu," jawabnya kemudian.

"Kang kalung?" Tiba-tiba terdengar sebuah suara di tengah-tengah pembicaraan mereka, lalu muncullah sosok Raya yang sudah berdiri sambil melotot pada Radit.

"Raya!" seru gadis itu, lalu langsung memeluk Raya. "Raya ya ampun, gue kangen banget sama lo!" sambungnya, kegirangan.

"Duh, Dinda, lebay deh! Baru 1 bulan yang lalu kita ketemuan," sanggah Raya, lalu melepaskan pelukan gadis yang belakangan diketahui bernama Dinda.

"Satu bulan itu lama tahu, Raya." Dinda membela diri.

"Palsu!" seru Raya pada Dinda. Kemudian, dia melirik Radit. "Kang kaleng, duluan ya!"

"Mana ada kang kaleng seganteng gue?"

"Ngomong tuh sama kaleng!" seru Raya sambil menyerahkan satu kaleng minuman soda di tangan Radit.

"Buat gue?" tanya Radit heran, yang dibalas anggukan singkat dari Raya yang sudah menaiki anak tangga bersama Dinda.

Sepeninggal dua gadis itu, Radit hanya terdiam menatap punggung Raya dari belakang. Kemudian setelah punggung kurus itu sudah tidak terlihat lagi, Radit yang masih duduk di atas motor tiba-tiba tersenyum lebar sambil menggeleng-gelengkan kepala. Terusin juteknya, gue terhibur, gumamnya kemudian. ∩∩∩

 

How do you feel about this chapter?

1 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (17)
  • hayriin

    @Gladistia Wah, terima kasih banyak, ya. Senang bisa menghibur.

    Comment on chapter Ditolak Lagi
  • Gladistia

    Halo kak ^^
    Ceritanya seru, aku terhibur banget. Apalagi pas Raya sama Radit. Ada ajah kelakuan mereka....
    Ditambah sama Aldo yg....
    Ahhhh gemas. Aku tunggu next-nya ya kak.
    Semangat dan sukses untukmu ya kak ^^♡

    Comment on chapter Sambut Tanganku
  • hayriin

    @Akashisidu makasih ya, dear. 😊

  • Akashisidu

    senyum senyum sendiri bacanya. sensasi macam apa ini? niceee lanjutkan...

  • hayriin

    @enhaac Terima kasih, Kak. Aku sudah mampir ke spotmu hehe...

  • enhaac

    Enak banget bacanya.

  • Oreoreo

    Lanjuuuttt..
    Lucuu

  • shanntr

    aaa seru aku sukaa:))
    lanjutkan kak semangat yaa:)
    kunjungi sotry ku juga kalo sempet:))

  • rara_el_hasan

    @hayriinsama sama mbk Rini semangat ya

  • hayriin

    @yurriansan makasih, Kak. Iya, sama-sama. Udah ada bagian barunya nih hehe

Similar Tags
Luka Adia
674      409     0     
Romance
Cewek mungil manis yang polos, belum mengetahui apa itu cinta. Apa itu luka. Yang ia rasakan hanyalah rasa sakit yang begitu menyayat hati dan raganya. Bermula dari kenal dengan laki-laki yang terlihat lugu dan manis, ternyata lebih bangsat didalam. Luka yang ia dapat bertahun-tahun hingga ia mencoba menghapusnya. Namun tak bisa. Ia terlalu bodoh dalam percintaan. Hingga akhirnya, ia terperosok ...