"Walau terbiasa ditolak, tetap saja rasanya sakit dan kecewa."
-Raya Aurora-
Dear Raya Aurora,
Salam sejahtera, semoga kita selalu berada dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa. Amiin.
Dengan ini, kami memberitahukan bahwa naskah Anda yang berjudul Dalam Bingkai Bersamamu tidak lolos seleksi. Hal ini telah kami putuskan melalui mekanisme dan prosedur sebagaimana mestinya. Demikian pemberitahuan ini kami buat, semoga menjadi maklum. Tetap berkarya. Kami tunggu karya-karya Anda selanjutnya. Terima kasih.
Salam hormat,
Tim Redaksi Ratu Press Group
Situs: blogratupress.com
Jantung Raya berdegup kencang selama membaca isi email yang baru saja masuk di ponselnya. Kemudian, dia mengembuskan napas sebanyak-banyaknya ketika sampai di kalimat penutup. Naskahnya ditolak lagi. Ini penolakan yang ke-26 kali dari penerbit yang berbeda. Raya merasa seperti sudah rutin mengirimkan naskah setahun sekali sejak berusia 1 tahun, lalu rutin juga ditolak setiap tahunnya hingga kini berusia 26 tahun.
Penolakan tetaplah penolakan, akan selalu menimbulkan rasa sakit dan kecewa walaupun itu sudah terjadi selama berkali-kali. Seseorang bisa saja mengatakan bahwa dia sudah terbiasa ditolak, tapi rasa sakit itu akan selalu ada. Itu adalah hal yang wajar, namanya juga sudah berjuang mati-matian.
Penolakan memang akan menimbulkan rasa sakit, tapi bisa saja seseorang yang kamu inginkan dan perjuangkan itu bukan yang terbaik untukmu. Terima rasa sakit itu, lalu yakinkan dirimu bahwa suatu saat nanti kamu akan mendapatkan seseorang yang terbaik, yang memang tercipta untukmu. Itu adalah kutipan yang ditulis oleh seorang penulis di akun Instagram miliknya. Kutipan itu memang untuk siapa saja. Maksudnya, manusia. Namun―menurut Raya―bisa juga diumpamakan sebagai naskah-naskah yang dia perjuangan, yang terus-menerus ditolak oleh penerbit. Jadi, Raya meyakini suatu saat nanti akan ada satu penerbit yang menerima atau menginginkan salah satu naskah yang ditulisnya.
Raya menutup aplikasi email setelah merenung hampir 45 menit, lalu dia mengembuskan napas kuat-kuat sambil tersenyum lebar sebelum bersiap menuju suatu tempat. Sebenarnya, tadi gadis itu sudah akan masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri setelah memasak. Namun, sesuatu menggerakkan tangannya untuk meraih ponsel, lalu matanya seketika membelalak sempurna ketika mendapati notifikasi email masuk yang ternyata berisi penolakan naskah.
Kini, dia sudah siap mengawali hari. Di pundak kanan, tergantung tas manis berwarna abu-abu yang dibeli dari hasil penerbitan cerpen karyanya di suatu majalah remaja. Di tangan kiri, tergenggam sebuah tas berisi notebook kesayangannya. Dengan langkah mantap, Raya berjalan keluar kompleks tempatnya menyewa kamar indekos menuju stasiun kereta.
Perjalanan yang Raya tempuh terhitung cukup lama, hingga tibalah dia di tempat tujuan; Cafe Barina. Dia memilih meja di samping kolam ikan, sudut favoritnya. Setelah memesan mango smoothies dan pancake, Raya membuka notebook yang berisi naskah novel yang baru saja ditolak untuk dievaluasi dan direvisi. Dia masih penasaran kenapa naskahnya ditolak, padahal naskah ini sudah lima kali direvisi habis-habisan olehnya. Dia yakin betul, naskah novel yang berjudul Dalam Bingkai Bersamamu ini menarik dan memiliki nilai jual.
Dia sedikit mengoceh dalam hati, kenapa masih saja tidak bisa membaca selera pasar dengan baik? Ataukah penerbit-penerbit itu yang tidak bisa melihat potensi yang dimilikinya? Lama-kelamaan, dia jadi pusing sendiri, lalu kehilangan arah. Mau diapakan dan dibawa ke mana naskah yang saat ini berubah di matanya; terlihat hancur, bersamaan dengan hancurnya kepercayaan diri yang terus dipupuknya setiap hari. Ah, kenapa semua jadi terlihat sia-sia? gumamnya sambil mengembuskan napas lemah.
Waktu menunjukkan pukul 4 sore, berarti 6 jam telah berlalu. Selama 6 jam itu, dia habiskan untuk memandangi layar notebook sambil meratapi ketidakberuntungan nasibnya dan merevisi naskah sedikit-sedikit. Serta, melihat-lihat Instagram stories orang-orang yang diikutinya dan streaming drama Korea. Terlihat tidak produktif, tapi baginya itu bisa menjadi mood booster sekaligus trik untuk mencari inspirasi.
Raya terkesiap, lalu menutup notebook. Dia menyesali telah membuang-buang waktu selama 6 jam ini. Dia juga merasa punggungnya sedikit pegal. Gadis yang dagunya terbelah itu ingin menyudahi ritual putus asanya, lalu memperbaiki keadaan sebelum semuanya terasa semakin sia-sia. Pertama, dia akan menunaikan salat asar lebih dahulu. Langkah berikutnya akan dipikirkan setelah salat.
Oleh karena itu, dia memutuskan untuk keluar kafe, lalu berjalan menuju sebuah masjid yang jaraknya sekitar 100 meter dari kafe itu. Raya selalu senang mendirikan salat asar di masjid ini karena ornamen masjid yang super artistik dan taman yang sejuk di halaman depannya.
"Raya!" panggil seseorang dengan cukup lantang.
Raya menoleh ke belakang dan didapatinya seorang laki-laki yang mengenakan kemeja lengan panjang berwarna abu-abu berjalan ke arahnya. "Eh, Kak Al," sahut Raya. Sedikit terkejut bisa bertemu dengan laki-laki yang disapa Kak Al itu olehnya.
"Kamu mau salat?"
"Iyalah, Kak. Masa aku mau jogging di masjid?" candanya.
"Yuk, bareng!"
"Emm, duluan deh, Kak. Aku kalau wudu lama, nanti Kak Al kelamaan nunggunya."
"Kamu wudu atau mandi?"
"Luluran, Kak." Raya tersenyum lebar.
"Dasar kamu! Ya udah, aku duluan ya, Ray."
"Oke, Kak Aldo."
Aldo pun berjalan menuju saf laki-laki karena dia sudah berwudu sebelum bertemu Raya. Selesai salat, Raya terkejut untuk kedua kalinya karena mendapati Aldo sedang menunggunya di dekat penyimpanan sandal jemaah.
"Hai, Raya," sapa Aldo. Kali ini dengan nada lembut karena Raya sudah melihatnya.
"Eh, Kak Aldo. Masih di sini? Belum balik ke kantor?"
"Iya, belum nih. Aku lagi nunggu Ibu pengusaha dan Ibu penulis dulu," jawab Aldo sambil tersenyum ramah.
"Amiin. Bisa aja nih, Bapak Komisaris," ucap Raya sambil tersenyum manis.
Aldo mengibaskan tangannya pelan sambil tersenyum santai. Menepis sebutan Bapak Komisaris dari Raya. "Jadi, gimana lanjutan novel yang kamu kirim ke penerbit itu? Udah ada kabar?" tanyanya kemudian.
"Udah, Kak. Ditolak," jawab Raya, lesu.
Aldo mengerutkan kening. "Lagi?"
"Iya."
"Sedih?"
"Pastilah, Kak, tapi ah ya udahlah. Aku bisa coba ngajuin ke penerbit lain."
"Semangat terus, ya! Atau kamu coba aja terbitin indie dulu. Cari penerbit indie yang high class dan terpercaya. Nanti aku bantu biaya penerbitannya."
"Nggak usah, Kak. Makasih. Aku masih optimis naskahku bisa terbit di mayor. Entah naskah yang mana dan entah penerbit yang mana."
"Ya udah, kalau kamu masih optimis. Itu yang terpenting. Optimis dulu."
Raya menunduk sambil menggerak-gerakkan kakinya ke kanan dan ke kiri. "Kak," panggilnya pelan.
"Ya?"
"Sebenarnya aku sekarang nggak terlalu optimis. Aku udah kehilangan kepercayaan diri," keluh Raya, lalu menegakkan lagi kepalanya. "Emang naskah-naskahku ancur banget ya sampai nggak ada penerbit yang mau nerima?"
"Sabar, Raya. Aku tahu kamu udah berjuang mati-matian selama ini. Ditolak, bukan berarti naskah kamu nggak layak terbit. Pasti ada kok satu penerbit yang mau nerima. Sabar."
"Tapi ini berkali-kali, Kak. Dua puluh enam kali lho, bayangin!"
"Sabar. Kan aku bilang, sabar."
"Ya udah, deh." Akhirnya tiga kata itu yang terucap sebagai penutup, seperti biasanya ketika dia mengeluh pada Aldo, lalu Aldo menenangkan. "Nanti aku belajar lagi."
"Gitu, dong! Sabar, optimis, dan terus berjuang. Itu baru namanya Raya si pantang menyerah!" ujar Aldo dengan penuh semangat, membuat Raya tersenyum seketika. "Udah konsultasi lagi ke Elvira?"
"Belum, Kak. Kak Elvira tuh baiknya kayak malaikat, jadi aku takut bikin dia kecewa karena gagal lagi. Dia sih pasti akan selalu ngasih masukan, tapi aku jadi ngerasa nggak enak karena ngerepotin dia terus. Ngerepotin terus dan ngecewain terus."
"Nggak gitu juga, Raya. Nggak apa-apa konsul lagi ke Elvira, atau coba aja ke Ratri. Mereka sama-sama editor freelance yang jago, kok. Ratri apalagi, dia kayaknya lebih cocok sama kamu. Dia juga kan nulis novel. Elvira juga nulis novel, tapi dia lebih cenderung ke puisi. Lihat aja novelnya udah kayak puisi. Narasinya tuh selalu lembut dan syahdu. Bikin pembaca terbawa suasana dan mikir apa maksudnya, persis kayak puisi."
Raya tertawa mendengar penuturan Aldo. Ini tawa pertama sejak Raya menerima email penolakan naskah itu. "Kak Aldo lama-lama bisa juga nih jadi book reviewer!" kata Raya di tengah-tengah tawanya.
"Nah, gitu dong ketawa! Kan jadi tambah cantik."
"Emang aku cantik, Kak?"
Aldo tertegun seketika. "Cantik."
Tiba-tiba tawa Raya meledak di udara. "Ke mana aja baru bilang sekarang? Aku udah tahu dari lahir kalau aku cantik."
"Dasar narsis!"
"Bukan narsis, tapi percaya diri."
"Iya, terserah kamu aja, deh."
"Oh ya, aku duluan ya soalnya buru-buru ngejar kereta takut kemalaman sampai kosan."
"Mau aku antar?"
"No, thank's, Sir. Lagian kan Kak Aldo masih di jam kerja."
"Aku bisa keluar sebentar kalau kamu mau."
"I'm okay, Kak."
"Ya udah, deh. Hati-hati, ya."
"Iya, makasih. Makasih juga karena selalu tahu caranya menenangkan aku." ∩∩∩
@Gladistia Wah, terima kasih banyak, ya. Senang bisa menghibur.
Comment on chapter Ditolak Lagi