LEAD TO YOU – PART 29
*****
“Aku minta maaf atas nama ayahku, Dis...” isak Dinar sambil menggenggam tanganku.
Aku menyeka cairan bening yang jatuh dari sudut mataku, kepalaku menggeleng. “Dinar, aku tidak mau mengingat lagi peristiwa itu, insya Allah aku sudah memaafkan ayahmu” ujarku.
“Kau pasti sangat membenci ayahku, dia sudah melakukan hal yang sangat buruk padamu, aku tidak bisa membayangkan ketakutanmu menghadapi ayahku waktu itu. Maafkan aku...” dia terisak lagi.
Dinar mengunjungiku di rumah, ketika ia merasa sudah bisa memaafkan dirinya sendiri dan juga memaafkan ayahnya. Aku merasakan penyesalannya, tapi aku tahu ini bukan salahnya, dan aku tidak mau ia menyalahkan dirinya terus menerus.
“Aku juga tidak menyangka, sepupuku Amber ada hubungannya dengan semua ini. Aku belum bisa memaafkan Amber, Dis. Dia sepupuku, ya Tuhan. Bagaimana bisa dia hamil anak ayahku?” ujarnya penuh rasa sakit.
“Aku tidak tahu harus bilang apa, Din. Kamu harus sabar dan ikhlas ya...”
“Kasihan pamanku, Dis. Bibiku sakit dan sangat depresi sekarang”
Aku membayangkan wajah paman dan bibi Dinar waktu itu. Wajah polos mereka pasti berubah sekarang, sakit hati karena sudah dikecewakan anak, dan saudaranya sendiri. Amber mendekati Alghaz kembali atas permintaan Max, namun semua jadi berubah kacau karena kehadiranku. Itu menurut Amber pada Baldi. Menurut kesaksian Amber juga, Max-lah dalang dari pembunuhan orang tua Alghaz. Ternyata Max dan ayah Alghaz adalah partner bisnis, dan Max pernah sakit hati atas tindakan ayah Alghaz yang mencampakkannya begitu saja. Ditambah perasaan terbakar cemburu, karena Max pernah mencintai ibu Alghaz. Karena alasan itulah Max memerintahkan anak buahnya membunuh keluarga Alghaz. Kasus ini menguap begitu saja pada waktu itu karena Max tidak meninggalkan bukti-bukti apapun dan Alghaz tidak bisa mengingat jelas orang-orang yang ia lihat saat pembunuhan itu terjadi. Kisah sinetron yang rumit memang, tapi sepertinya Dinar tidak perlu tahu hal ini. Perasaannya pasti tambah hancur kalau ia juga tahu ayahnya adalah dalang pembunuhan orang tua Alghaz.
Sekarang Amber menjalani hukumannya sesuai dengan perbuatannya. Kondisinya yang hamil tidak membuat ia lolos dari hukuman. Aku dan Alghaz merasa lega semua berjalan sesuai yang kami inginkan.
Tiga bulan berlalu semenjak kematian Max, sudah tidak ada lagi bayang-bayang masa lalu yang membayangi kehidupan kami. Pertemuanku dengan Dinar saat ini membuktikan bahwa kami sama-sama berusaha melupakan masa lalu dan sama-sama mencari kebahagiaan untuk masa depan kami.
“Bagaimana kehamilanmu, Dis?” tanya Dinar sambil melihat ke arah perutku yang belum terlihat membuncit.
Spontan aku meraba perutku, “Bayiku sehat, besarnya kira-kira sebesar kacang tanah” aku terkekeh, “kata dokter usianya sekitar delapan minggu”
“Apa kamu mual-mual?”
Aku mengangguk, “Iya, yang aneh lagi, aku mual mencium parfum Alghaz. Jadi aku tidak memperbolehkan dia pakai wangi-wangian dulu. Aku malah lebih suka bau keringatnya, aneh kan?”
Dinar tersenyum kecil, “Syukurlah, aku senang kamu baik-baik saja, Dis” ujarnya. “Boleh aku memegang perutmu, Dis?” tanyanya.
Aku mengangguk sambil mengambil tangannya, dan meletakkannya di atas perutku, “Belum ada gerakan apapun, jadi tidak akan ada bedanya sih...” ujarku.
“Iya, masih sama dengan perutku” katanya, “coba kalau aku tekan sedikit...” cetusnya sambil memberi tekanan pada pegangannya di perutku.
Aku merasakan tekanan tangannya terlalu kuat sekarang dan ekspresi Dinar berubah menatapku dengan mata hitamnya yang tajam. Jantungku berdebar melihatnya seperti itu, “Dinar, kurasa kamu terlalu kuat menekannya, perutku sakit” ujarku mencoba menghalau tangannya dari perutku. Tapi tangannya malah makin keras menekan perutku dan aku jadi panik.
“Aku tidak rela kehilangan ayahku, Dis! Ayahku orang baik! Dia jadi jahat karena kamu...kamu yang membuatnya! Ini salahmu!” ujarnya histeris sambil kedua tangannya sekarang berada di atas perutku memukul dan menekan kuat-kuat perutku.
Aku berteriak minta tolong, Bu Ami mendengar teriakanku dan lari menolongku. Ia memegangi tangan Dinar yang masih berusaha menyakiti bayi di dalam perutku. Aku memandangnya tidak percaya. “Apa yang kamu lakukan, Dinar?”
“Kamu tidak boleh bahagia, Dis! Keluargaku hancur karena kamu! Karena aku bertemu dengan kamu!”
“Tapi anak ini tidak bersalah, Dinar. Kenapa kamu tega...” lagi-lagi aku mengeluarkan air mata. “Aku pikir kita sudah saling memaafkan, Dinar. Aku tidak menyangka kamu tega melakukan hal ini” ujarku sambil memegangi perutku yang sekarang mulai terasa sakit.
Bu Atik datang dan menahan tubuhku yang terhuyung sambil memegangi perutku, “Telepon Alghaz Bu, aku harus ke rumah sakit...perutku...” ujarku.
Mata Bu Ami dan Bu Atik mendelik ke arahku. Aku melihat Dinar menelan ludahnya, wajahnya terlihat panik, tapi aku tidak tahu lagi pikirannya sekarang. Ia berusaha melukaiku, aku-aku benci padanya karena dia mau menyakiti anakku.
.
.
.
Dokter memberikan obat penguat kandungan padaku dan ia memintaku untuk bedrest dalam dua hari ini. Alhamdulillah bayinya baik-baik saja. Alghaz sangat marah mengetahui Dinar ingin menyakitiku. Ia meminta Baldi menyelidiki Dinar lebih lanjut den mengawasinya. Ia juga melarangku untuk dekat-dekat lagi dengannya.
“Dia itu anak pembunuh, Dis! Bisa jadi naluri itu menurun di darahnya!” Alghaz menelan ludahnya sambil menatapku penuh penyesalan, ia sadar komentarnya barusan sangat menusukku.
Aku juga anak pembunuh, Al.
“Maaf, Dis. Aku tidak bermaksud---“
“Sudahlah, Al. Aku tidak apa-apa”
“Gadis, kau berbeda!” tukasnya sambil meraih tanganku dan meletakkannya di pipinya. “Aku tahu kau berbeda, sayang. Aku tidak mungkin senyaman ini kalau aku tidak tahu itu” ujarnya pamer lesung pipinya. Dia tahu aku luluh kalau dia melakukan itu.
Aku tersenyum sambil menyelipkan telunjukku pada lubang di pipinya itu. Aku menghela napas, “Yang penting sekarang, calon bayi kita baik-baik saja...” ujarku. “Soal Dinar, dia hanya frustrasi karena masalah ini tiba-tiba datang padanya. Tindakannya bagian dari penolakannya bahwa ayah yang selama ini ia kagumi dan banggakan membuatnya kecewa dan hancur seperti sekarang, Al. Aku harus memaafkannya”
Alghaz mendengus, “Itulah kenapa aku sangat mencintaimu, Dis! Kau itu berhati mulia”
“Tidak usah berlebihan” sahutku.
Pintu kamarku terbuka, Omar dan Lidya muncul dari balik pintunya. “Assalamualaikum!” seru mereka bersamaan.
“Waalaikumsalam” jawabku dan Alghaz.
Lidya menghampiriku, “Kau baik-baik saja kan, Dis?” tanyanya.
Aku mengangguk, aku senang Lidya sudah terbiasa memanggilku dengan Gadis saja walau di depan Alghaz. “Iya, kami baik-baik saja” sahutku sambil mengusap perutku.
“Aku tidak percaya Dinar bisa melakukan itu padamu, Dis” ujar Omar.
“Itu juga yang kukatakan pada istriku” timpal Alghaz, “Bagaimana kalian?” tanya Alghaz ditujukan pada Omar dan Lidya.
Aku menangkap ekspresi aneh pada mereka berdua. Mataku bergerak-gerak menatap mereka bergantian, “Apa ada yang kulewati?” tanyaku penasaran.
Lidya dan Omar saling bertatapan dan sama-sama menaikkan bahunya. Alghaz tersenyum aneh mencurigakan.
Ada apa ini?
“Omar dan Lidya akan menikah bulan depan...”
“Apa?!” aku terkejut, “aku tidak tahu kalau kalian berdua sedekat itu?”
“Aku kan tidak suka pamer seperti suamimu itu, Dis” ledek Omar.
Alghaz menatap Omar dengan mata coklatnya yang tajam. “Aku memang ingin semua dunia tahu kalau Gadis itu milikku!” belanya menggelikan dan membuatku dan Omar terkekeh.
“Selamat Lidya! Aku bahagia sekali”
Lidya mengangguk dengan senyum bahagianya. “Terima kasih, Dis”
“Kapan tepatnya kalian dekat?” tanyaku ingin tahu.
“Saat Alghaz memintaku mencari teman kencan lain di Amsterdam, kalau kau ingat” ujar Omar sambil melirik Alghaz, sahabatnya.
Alghaz tertawa renyah mengingat hal itu. Ya, aku juga mengingatnya. Saat itu Omar komplain karena Alghaz tidak bisa jauh dariku, dan bisa dibilang ia cemburu saat itu. Aku ikut tertawa kecil mengingat saat itu, “Ya, aku ingat” sahutku.
“Omar memintaku jadi teman kencannya saat itu, dan keterusan setelahnya” timpal Lidya sambil tersenyum simpul.
“Oh so sweet” cetusku.
“Ah, apanya yang so sweet?” sambar Alghaz sambil menghampiriku dan meraih tanganku, “yang so sweet itu kamu, sedang mengandung anakku sekarang...” katanya kekanakan.
Tapi aku dan yang lain tertawa dibuatnya. Alghaz mengusap perutku, “Hanya rahim ini yang akan mengandung anak-anakku, ya kan?” selorohnya menggodaku lagi, membuatku teringat tingkah konyolku waktu itu.
“Ingat itu, Omar!” cetus Lidya menatap Omar.
Aku dan Alghaz saling berpandangan sambil tersenyum, Alghaz terus memamerkan lesung pipinya sepanjang malam. Aku bahagia memilikinya.
Maka nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang kau dustakan.
THE END
----------------------
Thanks! Udah baca storyku sampai sini. Jangan lupa Like dan Komen juga ya...
Salam, Leni
@yurriansan terima kasih ya, oke aku mampir
Comment on chapter Lead To You - Part 2