LEAD TO YOU – PART 28
*****
Aku masih terpaku diam terduduk di tepi tempat tidur, karena masih juga belum menemukan bagaimana caraku untuk keluar dari tempat ini. Jantungku berdetak cepat ketika kulihat gagang pintu bergerak dan pintunya terbuka. Sosok besar Max berdiri di sana, menatapku dengan menyeringai.
“Kita harus pergi sekarang, Gadis. Ada perubahan rencana” katanya sambil berjalan mendekatiku. Aku mundur menjauh dan menepis tangannya yang berusaha meraih tanganku. Tapi gerakan berikutnya terlalu cepat dan ia berhasil mencekal tanganku dengan tangannya yang besar dan kuat. Perlawananku tidak ada apa-apanya karena tenagaku hanya sepersekian saja dari tenaganya.
“Aku tidak mau pergi!”
“Jangan membantah, sialan! Kita tidak ada waktu untuk berdebat” ujarnya kembali menguatkan cekalannya pada pergelangan tanganku dan berusaha menarikku. Aku menarik tangannya ke mulutku dan menggigitnya sekuat tenaga, benar-benar sekuat tenaga karena sampai merobek kulitnya dan mengeluarkan darah.
Max marah dengan tindakanku dan menepiskan tangannya sampai mengenai wajahku, kemudian ia memukulku dengan keras, sehingga aku terhuyung dan kepalaku terbentur dinding. Rasa pusing mendera kepalaku yang terbentur tadi. Max menarik jilbabku sampai terbuka, tapi pandanganku buram dan tubuhku terasa tidak berdaya. Max baru akan menarik rambutku ketika aku mendengar suara tembakan senjata di luar sana dan tiba-tiba ada seseorang yang menyeruak masuk ke dalam kamar dan menodongkan senjatanya di kepala Max. Dengan gerakan lambat tangan Max melepaskan pegangannya pada rambutku.
Kemudian samar-samar aku mendengar suara yang sangat familier dan sangat aku harapkan, “Gadis...apa kau bisa bangun? Gadis!” aku tidak sanggup menjawabnya.
“Ayah! Apa yang sudah ayah lakukan??” suara ini juga sangat familier, tapi pandanganku sudah menggelap dan mataku sudah menutup, kemudian terdengar suara tembakan satu kali lagi dibarengi suara jeritan, setelah itu aku tidak mendengar apa-apa lagi. Aku pingsan.
.
.
.
Mataku terbuka dengan perlahan, dari bau antiseptik yang tercium, aku tahu kalau aku berada di sebuah kamar rawat di rumah sakit. Perlahan mataku berusaha beradaptasi dengan sinar lampu yang menerangi ruangan, aku mengedarkan pandangan mencari seseorang, tapi tidak menemukan Alghaz di ruangan ini. Aku melihat ke bawah dan mendapati Bu Ami yang sedang menyandarkan kepalanya di tepi tempat tidur. Aku mengusap tangannya.
“Bu...”
Ia mendongakkan kepalanya dan terkejut melihatku, “Gadis? Alhamdulillah, kau sudah bangun Nak!” serunya sambil mengusap wajahnya dengan tangannya..
“Mana Alghaz Bu?”
Bu Ami tertunduk lesu dan ekspresinya berubah sendu. Raut wajahnya terlihat khawatir. “Ehm...”
“Ibu, mana Alghaz?” tanyaku sekali lagi dengan kecemasan yang kentara.
Bu Ami kelihatan semakin gugup, ia meraih tanganku, “Gadis, yang sabar ya Nak, saat ini suamimu sedang menjalani operasi, karena katanya ada peluru yang bersarang di dadanya”
Mataku mendelik, “Apa? Alghaz kenapa Bu?”
“Ia tertembak saat tadi berusaha menyelamatkanmu, tapi Tuan Omar bilang operasinya sebentar lagi selesai. Kita berdoa ya semoga operasinya berhasil...”
Dadaku sesakseketika. Tidak! Aku tidak mau kehilangan Alghaz sekarang, Aku harus melihatnya, aku berusaha bangkit dan turun dari tempat tidur, tapi Bu Ami mencegahku, “Gadis, kamu belum pulih benar! Kamu harus sehat sehingga kamu bisa merawat suamimu nantinya” ujarnya.
Ya, Bu Ami benar juga, Alghaz pasti akan membutuhkanku nanti. Ya Allah selamatkan suamiku. Ia sudah mempertaruhkan nyawanya untuk menyelamatkanku, masihkah aku ragu akan cintanya? Tidak lagi, aku yakin dia benar-benar mencintaiku dan sebaliknya.
Aku juga mencintai laki-laki itu , sangat!
Bu Ami duduk di kursi di sebelah brankarku setelah memberiku air minum untuk membuatku tenang. Aku berusaha mengalihkan pikiranku tentang operasi yang sedang berlangsung.
“Bu Ami, apa Ibu tahu apa yang terjadi dengan Max? Apa dia sudah ditangkap?” tanyaku.
Bu Ami menggeleng, “Dia tidak ditangkap Nak, tapi dia tidak akan bisa mengganggumu lagi, karena dia sudah mati” jawab Bu Ami datar dan ada kelegaan pada suaranya.
Aku sempat tertegun mendengarnya, “Innalillahi wainnailaihirojiun!” ucapku spontan. Entah aku harus merasa senang atau berduka mendengar berita ini. Satu sisi aku lega karena Max tidak akan lagi hadir menggangguku, tapi di sisi lain aku membayangkan Dinar yang bersedih karena kehilangan sosok ayah yang sangat dikaguminya. Aku yakin aku mendengar suaranya di tempat kejadian saat itu.
Kemudian pintu kamar terbuka dan Lidya muncul dari balik pintunya dengan tersenyum ke arahku, ia berjalan cepat menghampiriku, “Gadis? Syukurlah kau sudah sadar” katanya sambil meraih tanganku.
“Terima kasih, Lidya” aku juga menyentuh tangannya, “bagaimana Alghaz?” tanyaku tidak sabar menunggu kabar tentang hasil operasinya.
“Operasi Mr. Devran baru saja selesai, dan alhamdulillah semua berjalan lancar. Pelurunya berhasil dikeluarkan dan sekarang sedang masa pemulihan. Kurang lebih satu atau dua jam ke depan Alghaz akan siuman” katanya membuat hatiku lega bukan kepalang.
“Alhamdulillah” ujarku bersamaan dengan Bu Ami.
“Bisakah aku melihatnya, Lidya?” rengekku.
“Tenanglah Gadis, aku sudah mengatur agar kalian bisa satu ruangan nantinya. Mr. Devran akan dibawa ke kamar ini kalau sudah siuman” ujarnya sambil tersenyum dan membuatku tenang, “yang sabar ya” lanjutnya.
Aku mengangguk membalas senyumnya.
..
Dua jam kemudian, brankar yang membawa Alghaz masuk ke ruanganku. Kepalanya menoleh ke arahku dengan gerakan lambat ketika brankarnya sudah berhenti di sampingku. Bibirnya menyunggingkan senyum, aku balas tersenyum padanya. “Kau baik-baik saja kan, Al?” tanyaku cemas.
Dia mengangguk dengan pelan, sambil menunjukkan jempol tangannya padaku, “Aku baik, jangan khawatir” katanya sambil memamerkan lesung pipinya.
Mataku berkaca-kaca melihatnya masih bisa bercanda menggodaku. “Aku takut sekali...”
“Aku tahu.”
Omar berdeham keras, “Apa kami harus keluar sekarang?” tanyanya membuat Alghaz terkekeh pelan.
“Gadis, apa kau tahu kalau Omar adalah pahlawan kita hari ini? Ia menembak Max dengan tepat!” seru Alghaz.
“Ya, dan akhirnya aku harus memberi keterangan lanjutan pada polisi terkait senjata yang kugunakan! Berkat kau Al, terima kasih” katanya bermaksud menyindir Alghaz.
Aku masih kurang paham apa yang mereka bicarakan. Tapi aku tersenyum pada Omar, “Terima kasih sudah berusaha menolongku Omar, walau aku tidak mengharapkan juga kematian Max, tapi aku percaya ini terjadi karena kehendak Allah semata...” ujarku.
“Sebenarnya itu terjadi karena ketidak sengajaan, anak buah Max menembak Alghaz dan spontan senjataku mengarah ke Max dan peluru itu meluncur begitu saja menembus dadanya. Suamimu ternyata benar-benar memeberiku senjata mematikan yang canggih” katanya.
Dahiku berkerut dan memalingkan tatapanku pada Alghaz yang berbaring pada brankarnya di sampingku, “Senjatamu?”
Alghaz mengangguk, “Untuk keamanan, sayang” ujarnya.
“Ya, tentu saja” gumamku.
Omar menghela napasnya, “Baiklah, sepertinya aku harus pergi sekarang dan beristirahat di rumah” ia melirik jam ditangannya, “karena besok pagi-pagi sekali aku sudah harus berada di kantor Polisi” ujarnya.
“Ehm, Omar. Aku mau bertanya satu hal, bagaimana keadaan Dinar sekarang?”
“Dia syok dan depresi tentu saja, awalnya dia tidak percaya ayahnya adalah dalang semua ini, tapi kesaksian sepupunya, Amber membuat matanya terbuka” kata Omar.
“Amber? Apa Polisi memanggil Amber juga?”
Omar mengangguk, “Ya, kecurigaanku dan Alghaz ternyata terbukti. DNA kehamilan Amber cocok dengan Max, jadi anak yang ada di rahim Amber bukanlah anak Alghaz melainkan anak Max” katanya dan seketika membuatku benar-benar mual sekarang.
“Tapi mereka kan---“
“Paman dan keponakan, itu benar”
“Ya Tuhan, hati Dinar pasti sangat hancur sekarang” gumamku.
“Ya, dia menitipkan maafnya padamu, sepertinya dia belum bisa menemuimu, karena ia merasa malu” ujarnya lagi.
Aku mengangguk mengerti, “Aku tahu...” aku sedikit banyak bisa merasakan perasaannya, hampir sama denganku kurang lebih. Hanya saja aku tidak merasa benci pada Dinar, tidak sama sekali. Aku tahu dia tidak bersalah.
“Mungkin besok Penyidik akan mengajukan beberapa pertanyaan juga pada kalian, itu kata Baldi...” ujar Omar sambil mengangsurkan ponselnya pada Alghaz.
“Apa mereka menemukan keterlibatan Amber dalam hal ini?” tanya Alghaz.
“Sepertinya belum, besok dia akan menjalani pemeriksaan lagi, terkait kebohongannya mengaku-aku hamil anakmu” ujar Omar.
Alghaz menghela napas sambil memegang dadanya. Ia menatapku dan aku balas menatapnya tajam, “Apa ada Amber lain di luar sana yang akan mengaku kalau dia sedang mengandung anakmu, Al?” tanyaku.
Alghaz tersenyum menampilkan pipinya yang berlubang, “Kau cemburu?”
“Tentu saja! Aku tidak mau mendengar ada rahim lain yang sedang menumbuhkan anakmu!”
Alghaz dan Omar hampir menyemburkan tawa, “Apa?”
“Hanya rahimku saja yang boleh mengandung anakmu!” ujarku.
Omar mengangkat tangannya ke udara, “Tunggu! Sebaiknya aku dan yang lain di luar saja, ini pembicaraan pribadi” ujarnya dan mengajak yang lain ke luar ruangan.
“Terima kasih banyak, Omar” ujarku tulus.
Alghaz kembali menatapku dengan mata coklatnya yang gelap, “Coba ulangi tadi kau bilang apa?”
Aku menggeleng, “Kau sudah mendengarnya...”
“Tentu saja hanya rahimmu yang boleh mengandung anak-anakku, Dis. Kau istriku.”
Aku tersenyum dan tidak bisa menahan kekehan yang keluar begitu saja dari mulutku, aku tidak percaya sudah mengucapkan kalimat konyol seperti tadi karena cemburu. Aku menatapnya intens berusaha menyelami pikirannya.
“Apa yang kamu pikirkan, Dis?” tanyanya.
“Kamu.”
Kedua alisnya meninggi, “Oya?”
Aku mengangguk pelan. “Aku tidak percaya kau rela mempertaruhkan nyawamu untuk menyelamatkanku.”
“Kau hidupku, Dis! Tentu saja aku harus menyelamatkanmu, karena itu sama saja dengan menyelamatkan hidupku juga” katanya.
Aku terdiam, terpaku dengan ucapannya barusan.
“I love you, Gadis!” ujarnya spontan.
Aku mengangguk dengan senyuman, tidak sanggup menjawabnya kecuali dalam hati.
I love you more, Alghaz!
*****
@yurriansan terima kasih ya, oke aku mampir
Comment on chapter Lead To You - Part 2