LEAD TO YOU – PART 9
*****
Aku menarik napas lega, karena ini adalah hari terakhirku ujian. Harapanku agar aku bisa lulus dengan nilai bagus, semoga saja terwujud. Aku merasa sudah berusaha semaksimal mungkin untuk itu. Farrel dan beberapa teman menghampiriku.
“Gadis, kita mau ke restoran milik ibunya Farrel. Ikut yuk” salah satu temanku mengajakku.
Tapi tentu saja aku tidak bisa langsung menjawab ‘ya’ padanya. Aku harus izin dulu pada Alghaz. Karena yang lalu-lalu ia tidak pernah mengizinkanku untuk bergabung dengan teman-temanku kecuali ia ikut hadir bersamaku. Kan aneh kalau Alghaz harus ikut? Entahlah, perhatian Alghaz belakangan ini memang sedikit menggangguku. Aku hampir saja tidak bisa konsentrasi mengerjakan ujianku karena wajahnya yang berlesung ituselalu muncul di kertas-kertas soalku. Ia sering bertanya tentang teman-teman laki-laki di kelasku, bagaimana mereka memperlakukanku, pendapatku mengenai mereka, sikapnya agak aneh menurutku. Alghaz hampir seperti pria yang cemburu.
Cemburu? Tidak mungkin, kan?
“Gadis?” temanku menegurku lagi.
“Ah ya, sepertinya aku harus izin dulu ya...”
Teman-teman yang lain memberikan senyuman aneh padaku, “Cieeee...izin sama calon suami ya? Si Al itu kan? Dia beneran calon suami kamu Dis?”
“Hussh! Kamu nga---“
“Iya saya calon suaminya...” suara berat Alghaz ada di belakangku.
Tubuhku berjingkat kaget dan tertegun sesaat mendengar pernyataannya. “Alghaz?”
“Duuuh...senangnya dijemput tiap hari sama calon suami...” seloroh mereka.
Alghaz tersenyum melihat ke arahku, “Kita pulang?”
Aku mengangguk dan memohon maaf pada teman-temanku karena tidak bisa ikut bergabung makan bersama mereka.
..
Mobil Alghaz melaju dengan kecepatan sedang, tapi arahnya bukan menuju ke jalan pulang. “Kita mau kemana?”
Ia malah menoleh dengan senyum aneh. “Nanti kamu juga tahu” ujarnya penuh misteri.
Mobil Alghaz berbelok masuk ke sebuah gedung bercat putih bertuliskan KUA di depannya. Mataku penuh rasa penasaran menatap ke arahnya.
“Apa ada yang menikah di sini?”
Alghaz mengangguk sambil memarkirkan mobilnya dan mengajakku turun. Aku mengikutinya melangkah memasuki gedung itu dan terkejut ketika mendapati Bu Ami dan Bu Atik juga Yusan ada di dalam. Omar dan Lidya juga berada di sana, tidak ketinggalan Pak Irwin yang tangannya penuh membawakan kotak besar juga ada di sana. Ekspresiku bingung dan menuntut penjelasan dari Alghaz.
“Aku akan menikahimu, sekarang ganti bajumu dan lakukan dengan cepat, Oke?”
Mataku membeliak mendengar titahnya, “Apa?? Menikah? Tapi---“
“Gadis, aku harus menikahimu sekarang. Jadi kamu tidak boleh menolaknya”
Mataku mencari-cari Bu Ami, aku menatapnya tajam setelah aku menemukannya, “Ibu? Kenapa Alghaz mau menikahi saya tiba-tiba?”
Bu Ami menelan ludahnya, “Gadis, ini yang terbaik. Ayo menurut saja” katanya. Bak kerbau dicucuk hidungnya aku menurut saja ketika Bu Atik dan Bu Ami menggiringku ke sebuah ruangan dan mengganti seragam SMA-ku dengan sebuah satu setel kebaya muslim berwarna putih coklat. Aku tidak menyangka akan menikah bahkan sebelum berita kelulusannya aku terima, ya hampir lulus sih sebenarnya. Tapi tetap saja ini serba mendadak. Bukannya aku tidak suka pada Alghaz, aku suka padanya. Aku menyukainya sejak pertama kali melihatnya, hanya saja aku tidak menyangka kalau Alghaz mempunyai niat untuk menikahiku secepat ini. Tapi kembali lagi, ini pasti sudah menjadi skenario-Nya. Alghaz sudah duduk di depan penghulu saat Bu Ami membawaku untuk duduk di sebelahnya. Beberapa saat kemudian Alghaz mengucapkan ijab qabul-nya dengan lancar dan semua saksi mengesahkannya. Ketika itu juga penghulu mengatakan bahwa kami sudah resmi dan sah sebagai suami istri.
Ya Allah, benarkah ini? Aku menikah dengan pria yang baru saja kukenal beberapa bulan yang lalu. Bisakah ia menjadi imamku? Menuntunku ke syurga-Mu? Aku menelan ludah menyadari bahwa Alghaz sebenarnya bukanlah type pria yang kuidam-idamkan. Tapi bisa apa aku? Semua langkahku menuntunku kepadanya, pada Alghaz, yang selama ini menaungiku dan melindungiku.
Ia sedikit kikuk ketika harus meraih tanganku dan menyelipkan sebuah cincin di jari manisku. Bukan hanya Alghaz, tubuhku juga bergetar ketika tanganku berada dalam pegangannya. Dadaku menghangat sekaligus bergetar merasakan sensasi sentuhannya. Aku belum pernah bersentuhan dengan pria sebelumnya, secara sengaja. Jadi aku baru tahu rasanya, semakin hangat ketika tahu bahwa sentuhannya sudah halal bagiku. Alghaz mengecup keningku setelah aku mencium tangannya sebagai tanda bahwa aku akan mengabdikan hidupku padanya sebagai istrinya.
Semua yang datang memberiku selamat dan untaian doa yang tentu saja aku amin-kan. Alghaz tidak pernah memperlakukanku dengan buruk, semoga saja ia benar-benar bisa menjadi imamku seumur hidupku.
..
"Aku tidak punya penyakit menular, Gadis. Kamu tidak harus menempel pada pintu mobil seperti itu!" cetus Alghaz ketika aku memilih merapat seperti cicak pada pintu mobil, dari pada merapat padanya. Aku masih merasa canggung berdekatan dengannya, walaupun kami sudah menjadi suami istri. Ini demi menjaga kestabilan detak jantungku juga, karena setiap kali berdekatan dengannya jantungku seperti akan keluar dari biliknya.
“Iya---tapi saya sedang flu, saya takut kau tertular nanti..." ujarku mencari alasan.
Alghaz malah bergeser ke arahku, "Kau mau kemana lagi kalau aku semakin dekat seperti ini?" Tanyanya.
"Ehm---" wajahku pasti terlihat panik sekarang. “Saya---“
"Geser ke sini for God's sake!" perintah Alghaz, galak.
Duh, mau tidak mau aku menggeser bokongku perlahan untuk mendekat ke arahnya. Alghaz meraih tanganku dan menggenggamnya dengan kuat. “Aku sudah berhak menyentuhmu, kan?” katanya.
Jantungku hampir melompat lagi, tapi aku mengangguk dalam gerakan lambat. Aku memandang wajahnya dari jarak yang sangat dekat, detak jantungku semakin cepat. Masya Allah, suamiku ini ternyata pria yang sangat tampan, dengan lesung pipi yang dalam menghiasi wajahnya. Mataku bergerak-gerak, bingung harus melihat ke mana? Mata coklatnya yang tajam dengan alis yang tebal, hidungnya yang mancung sempurna atau bibirnya yang sedang bergerak karena sedang berbicara padaku saat ini?
"Apa kau menyukainya?" Ada jeda sebelum Alghaz melanjutkan, "kau suka dengan apa yang kau lihat sekarang?" Alghaz menambahkan sambil tersenyum, memamerkan lesung pipinya yang semakin dalam.
Aku menunduk malu, tapi jari-jari Alghaz yang kuat mengangkat daguku sehingga aku bisa melihatnya lagi dengan jelas. “Aku akan merasa senang kalau kamu suka dengan yang kamu lihat sekarang, Dis” katanya.
Aku mengangguk dengan sangat pelan, “Ya, saya menyukainya...”
“Bagus” cetusnya seraya mendekatkan wajahnya padaku. Ya Tuhan sepertinya Alghaz akan menciumku sekarang, suara dentuman jantungku bisa jadi terdengar keras kalau ada speaker di dalamnya. Kepalaku spontan menjauh, Alghaz berhenti dan memandangku dengan mata sedikit melebar.
“Maaf, saya---“
“It’s ok! Mungkin aku terlalu buru-buru...” ujarnya seraya melepaskan tangannya dari daguku dan meletakkannya di atas pahanya, pandangannya menatap ke depan. Aku merasa sudah membuatnya kecewa. Kemudian aku memberanikan diri mendekati wajahnya dan dengan satu gerakan cepat aku mencium pipinya. Sumpah, aku merasakan pipiku memanas sekarang. Aku pasti terlihat seperti kepiting rebus. Alghaz melihatku dengan ekspresi terkejut senang, matanya mengerjap berkali-kali tidak percaya dengan yang kulakukan barusan. Duh pasti Alghaz menganggapku aneh sekarang.
Ia menyentuh pipinya yang tadi aku cium, “Kamu---“ ia berhenti seperti kehabisan kata-kata, “Gadis, baru kali ini aku begitu bahagia ada yang mencium pipiku dengan gerakan cepat seperti tadi”
“Maaf---“
“Jangan terus-terusan minta maaf, Dis! Kamu tidak melakukan kesalahan. Aku suka, aku suka ciuman pipi kamu tadi---sering-sering ya” ujarnya konyol.
Aku tersenyum.
*****
@yurriansan terima kasih ya, oke aku mampir
Comment on chapter Lead To You - Part 2