LEAD TO YOU – PART 8
*****
Alghaz POV
Cerita Gadis kemarin tentang pria yang hampir saja memperkosanya tidak mau hilang dari kepalaku. Lamunanku sempat buyar ketika terdengar suara pintuku terbuka setelah ketukan kedua. Wajah wanita yang familier masuk dengan senyum mengembang di wajahnya.
Amber.
Wanita ini benar-benar keras kepala. Ia melenggang dengan kaki jenjangnya yang dibalut stocking warna kulit, blus putih ketat dipadu dengan rok mini berwarna terong dan juga high heels senada dengan roknya.
“Hai Alghaz...” sapanya dengan suara menggoda.
Amber memang masuk kategori wanita penggoda, dengan wajah sepertinya aku rasa tidak ada pria yang bisa menahan godaannya. Rambut coklat yang tergerai panjang dan lembut, wajah oval dengan hidung mancung dan bibir sensual, payudara yang cukup besar, bokong berisi dan juga kaki yang jenjang tentu akan membuat setiap pria yang memandangnya menelan air liurnya.
Aku mendongak ke arahnya, “Mau apa lagi, Amber?”
Tubuhnya menegang, “Tenanglah Al, aku hanya ingin kita bicara baik-baik” tanyanya sembari melihat ke jam yang melilit pergelangan tangannya, “ini sudah jam makan siang, apakah aku bisa makan siang bersamamu hari ini?”
Aku menggeleng, karena aku sudah punya rencana sendiri, sekarang sudah jam 1 siang dan aku sudah berjanji untuk menjemput Gadis pulang sekolah dan makan siang bersamanya. “Tidak, aku sudah ada janji lain” jawabku. “Dan bagian mana yang tidak kau mengerti dari kalimatku kemarin yang mengatakan bahwa kita SUDAH BERAKHIR, Amber?” tanyaku sinis.
Kening Amber berkerut, “Oh ya ampun, Alghaz. Tidak bisakah kita makan siang sebagai teman?”
Aku tahu maksud dari kata teman versinya, tetap ada sex after lunch, “Naah...” sahutku sambil menggeleng. “Teman versi kita kan berbeda, Amber. Kau tahu itu.”
Amber berdecak dan menelan ludahnya. “Kamu berubah,Al!”
Ya, aku memang merasakan juga perubahan itu, aku berubah sejak Gadis hadir di rumahku dan mengganggu pikiranku. ”Yup! Mungkin” aku menjawab singkat dan bergegas meraih ponsel dan jasku.
"Alghaz say---" suara Amber terputus karena Alghaz memberikan tangannya di depan wajahnya.
“Aku bilang TIDAK, Amber. Apa kau tidak mengerti bahasa yang kugunakan?”
Matanya melebar syok dengan kalimat yang baru saja kulontarkan tadi.
"I want you Al---aku butuh kamu sekarang" ujarnya seraya berjalan mendekatiku.
Aku mendorongnya pelan, “Please, Amber” dia menjauh dengan ekspresi terluka dan kecewa. Tapi aku tidak perduli, aku keluar ruangan dan menelepon sopirku untuk membawakan mobil ke lobi.
..
Mobilku berhenti di depan sekolah Gadis dan melihatnya berjalan ke arahku setelah sebelumnya ia berpamitan pada anak laki-laki yang sempat kulihat menunggu bersamanya kemarin. Ck, aku bisa melihat anak ingusan itu menyukai Gadis. Dadaku meradang membayangkan Gadis seharian berada di kelas bersama anak itu.
Gadis masuk ke dalam mobil dan memasang tali pengamannya sendiri. Aku masih kesal karena melihatnya bersama anak tadi. Jadi aku belum menegurnya. Dia juga terdiam sambil sesekali menatap ke arahku.
“Siapa anak yang menunggu bersama kamu tadi?”
“Farrel?”
“Apa dia yang kemarin mau mengantarmu pulang?”
Gadis mengangguk, “Iya...katanya rumahnya searah dengan rumah Anda, jadi---“
“Sudah, enggak usah diteruskan. Dan ingat ini, kamu tidak boleh pulang kalau bukan aku yang jemput atau Pak Irwin! Jelas?!” tegasku. Aku tidak mau ambil risiko ada yang berani menyakiti Gadis lagi. Kenapa aku begitu peduli padanya? Aku menggeram pelan dalam hati, entahlah!
.
.
.
Sekolah Gadis berjalan dengan sangat baik, tiga bulan sudah berlalu, ujian akhir beberapa hari lagi akan dimulai dan ia terlihat serius ingin melewati semuanya dengan benar. Aku hampir tidak ada kesempatan untuk ngobrol lagi dengannya. Entah kenapa aku merasa ingin selalu berdekatan dengannya, perasaanku ini memang aneh dan aku belum pernah merasa segelisah ini ketika berjauhan dengannya.
Oh c’mon Al, dia hanya anak gadis belia berusia 18 tahun dengan pikiran dewasa dan aku adalah pria 28 tahun yang menginginkan wanita yang selalu bisa memuaskanmu di tempat tidur! Pikiranku memberitahuku. Setiap saat bayangannya selalu mengangguku dan membuatku menerka-nerka seperti apa kalau Gadis tidak memakai kerudungnya? Malam ini aku tidak bisa tidur hanya karena belum bertemu dengannya, karena Gadis mengunci dirinya di dalam kamar untuk belajar. Pesanku hanya dibalasnya dengan, Maaf Alghaz, aku tidak mau mengecewakanmu dengan hasilku yang kurang bagus nantinya. Dan aku tidak tahu harus bagaimana.
Sudah pukul 1 malam, aku turun ke dapur dan membuka lemari es, mengambil air minum dingin dan menuangkannya ke dalam gelasku. Kemudian aku mendengar suara langkah kaki menuju ke dapur, Gadis.
Ia menuju ke lemari tempat menyimpan makanan instan, ia menyalakan kompor, mengisi panci kecil dengan air sedikit dan meletakkannya di atas api. Ia mengambil satu buah mie instan dan membukanya. Dia pasti kelaparan karena tidak makan malam tadi. Aku menghampirinya pelan-pelan.
“Kau sedang apa, Dis?”
Gadis melonjak kaget mendengar suaraku, ia hampir saja menjatuhkan gunting yang sedang ia gunakan untuk membuka mie instannya. “Astagfirullahaladziim...!” ekspresinya terkejut sekaligus lega karena melihatku. Aku buru-buru minta maaf karena sudah membuatnya kaget.
“Maaf, saya pikir enggak ada orang...” ujarnya.
“Aku habis ambil minuman dingin”
Ia mengangguk, “Oh, apa Anda mau mie?”
“Tidak usah ber-anda-anda padaku, Dis...”
“Maaf...”
Aku menghela napas mendengarnya selalu minta maaf, “Aku mau mie-nya”
Dia mengangguk dan mengambilkan satu bungkus lagi mie instan dan membukanya. Kamu duduk berhadapan sambil menikmati mie instan buatannya, di mana ini adalah pertama kalinya dalam hidupku makan mie tengah malam.
“Jadi minggu depan kau sudah mulai ujian akhirnya?” tanyaku seraya menyeruput suapan terakhir mie dalam mangkukku. Ia mengangguk dan berdiri membereskan mnagkuk kami berdua dan mencucinya bersih.
“Aku percaya kamu bisa mengerjakan ujiannya dengan mudah”
“Insya Allah” sahutnya. Kemudian ia memutar tubuhnya, “terima kasih sudah menemani saya makan tengah malam, Alghaz” katanya sambil tersenyum.
Sial, senyumnya akan susah hilang dari benakku sudah pasti. “Sama-sama” aku membalas senyumnya dengan canggung. Aku canggung pada anak kecil? Ya ampun, Alghaz!
..
Paginya, Gadis sudah berangkat lebih pagi diantar Pak Irwin, sopirku. Bi Ami menghampiriku di meja makan. Wajahnya cemas dan tegang.
“Ada apa, Bi?”
“Tuan Alghaz, saya mau bicara sedikit boleh?”
Aku mengangguk sambil meletakkan cangkir kopiku di atas meja, “Tentu saja, ada apa?”
Bi Ami menghela napas panjang, “Tuan Alghaz tahu Max, kan? Pria yang diceritakan Gadis, yang berusaha menyakitinya?”
Eskpresiku berubah keras sudah pasti, karena jantungku ikut berdegup kencang mendengar nama Max keluar dari mulut Bi Ami. “Bicara intinya, Bi” tukasku tidak sabar.
“Max mencari Gadis ke rumah adik saya, Atik, Tuan. Dan ia hampir melukai Yusan, keponakan saya. Sosok yang digambarkan adik saya, sangat mirip dengan yang digambarkan Gadis. Pria itu buta pada satu matanya, berbadan besar dan rambutnya setengah botak. Entah kenapa saya yakin, orang itu adalah Max,, bukan ayahnya Gadis” tutur Bi Ami.
Aku mendengus dan menggeram, sekaligus berharap Max itu ada di depanku sekarang, jadi aku bisa menghajarnya habis-habisan karena ia sudah berusaha menyakiti Gadisku.
Gadisku??
“Apa Gadis tahu hal ini, Bi?”
Ia menggeleng, “Tidak Tuan, saya belum memberitahunya”
“Tidak perlu” kataku, “ia mau ujian akhir, aku takut konsentrasinya akan terpecah nanti, biar aku yang urus Max” lanjutku.
“Terima kasih, Tuan”
“Bi Ami---“ aku menghela napas, ragu-ragu untuk melanjutkan, “menurutmu apa Gadis cocok---ehm---sudahlah, nanti saja!” ujarku sambil berdiri dan berlalu dari hadapan Bi Ami yang kebingungan melihat tingkahku, tapi aku bersumpah melihatnya menahan tawanya.
*****
@yurriansan terima kasih ya, oke aku mampir
Comment on chapter Lead To You - Part 2