Read More >>"> LEAD TO YOU (Lead To You - Part 7) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - LEAD TO YOU
MENU
About Us  

LEAD TO YOU – PART 7

*****

“Bagaimana hari pertamamu?” tanya Alghaz. Kali ini ia menyetir sendiri mobilnya, sosoknya nampak semakin gagah dalam balutan kemeja putih yang lengan bajunya digelung sampai siku dan kaca mata hitamnya. Aku mengucap Masya Allah dalam hati atas ciptaan-Nya yang indah di sampingku ini.

“Baik, saya suka sekolahnya, saya juga suka teman-temannya”

“Baguslah kalau begitu.”

Aku mengangguk kikuk.

Alghaz menoleh ke arahku, “Kamu sudah makan?”

Aku tersenyum, “Saya insya Allah puasa hari ini.”

Ia mendengus pelan sambil tersenyum, “Ah ya, aku benar-benar lupa” katanya.

“Aku mau mengajakmu ke suatu tempat dulu sebelum pulang” ujarnya sambil membelokkan mobilnya ke sebuah pertokoan yang sangat besar.

“Mau apa kita ke sini?”

“Beli pakaian, untukmu” katanya.

Aku terperangah, “Hah? Untuk apa?”

“Berapa setel pakaian yang kamu punya, huh?”

“Ehm, saya rasa ada dua setel... dan itu cukup.”

Mata Alghaz yang gelap menatapku setelah ia melepas kaca matanya, “Dua?? Itu cukup?”

Aku mengangguk dan merasa aneh kenapa nada suaranya terdengar gusar. “Iya, cukup untuk saya” jawabku jujur.

“Kamu harus memilih sepuluh setel pakaian, dua pasang sepatu untuk sekolah. Kalau tidak, maka kita tidak akan pergi dari sini!”

“Huh?? Anda serius?!”

Ia mengangguk sambil tersenyum aneh lagi dan keluar dari mobilnya. Aku mengikuti langkahnya. Alghaz benar-benar menyuruhku memilih pakaian yang aku sukai dan ia hanya duduk sambil bermain ponselnya dengan senyum yang terus tersungging di wajahnya. Pramuniaga wanita yang membantuku tidak hentinya menatap Alghaz walau ia sedang berbicara padaku. Alghaz memintanya membantuku memilih pakaian yang cocok untukku tapi kedua pramuniaga itu malah sibuk menggosipkan Alghaz di depan mataku.

Setelah dua jam sepuluh setel baju muslim dan dua pasang sepatu sekolah berhasil aku dapatkan dan Alghaz baru benar-benar mengajakku pulang ke rumah. Sudah masuk waktu Ashar, jadi aku minta waktu untuk mencari mushalla dulu di mall ini. Setelah bertanya dan ditunjukkan letak mushalla-nya aku minta Alghaz mengantarku lebih dulu ke sana. Walau agak bersungut-sungut, tapi Alghaz tetap melangkahkan kakinya ke sana.

“Anda mau shalat  juga atau---“

Ia menggeleng, “Aku tunggu kamu di sini” katanya. Baiklah aku tidak akan memaksanya, walaupun dalam hati aku ingin sekali melihatnya shalat. Lima belas menit kemudian aku selesai dan kembali lagi ke tempat Alghaz menunggu, tapi kemudian ada seseorang memanggilku. Suara laki-laki.

“Mbak, maaf ini tadi ponselnya jatuh dari kantongnya” katanya.

Spontan aku memeriksa kantong rok sekolahku, ternyata benar ponselku tidak ada di sana. Aku menerimanya sambil mengucapkan terima kasih. “Alhamdulillah, terima kasih Mas...” kataku.

“Gadis? Kenapa?” tiba-tiba suara Alghaz ada di belakangku, laki-laki itu terlihat gugup.

“Maaf, saya tadi hanya kasih handphone-nya yang jatuh” katanya sambil pamit pergi seperti ketakutan. Aneh.

Alghaz mendengus sambil mengangguk dan mengajakku pergi. Ia meraih tanganku, tapi aku melepaskannya pelan-pelan. “Maaf, Alghaz, tapi tolong jangan sentuh saya seperti tadi.”

Alghaz menatapku heran, “Kenapa?”

“Kita bukan mahram, jadi tidak boleh bersentuhan, haram hukumnya. Dan yang haram itu dosa” ujarku.

Aku mendengar Alghaz berdecak, “Ck, aku kan hanya menggandeng” gusarnya.

Aku diam saja dan mengikutinya yang berjalan cepat menuju tempat parkir. Alghaz melemparkan belanjaanku ke kursi belakang begitu saja. Sepertinya ia masih kesal karena aku menolak gandengan tangannya tadi.

“Memangnya kalau bukan mahram, tidak boleh bersentuhan sama sekali?” tanya Alghaz ketika kami sudah berada di dalam mobil.

Aku menoleh ke arahnya, “Jangankan bersentuhan, memandangnya saja sebenarnya tidak dibolehkan.”

“Jadi kalau aku menatapmu seperti ini tidak boleh?” ujarnya sambil menatapku dengan mata gelapnya yang tajam.

Aku memalingkan wajahku ke arah sebaliknya dan menggeleng. Tapi tiba-tiba Alghaz meraih tanganku dan menggenggamnya erat, sangat erat, sehingga aku kesulitan melepaskan tanganku darinya.

“Kalau begini? Dan aku mau begini, siapa yang bisa melarangku?” tanyanya membuatku takut dan cemas.

“Lepaskan saya...” lirihku.

Ia menggeleng dan mendekatkan kepalanya ke wajahku. Ya Allah tidak lagi, jangan Alghaz, jangan dia. Mataku terpejam, panas dan berair. Aku merasakan genggaman tangannya mengendur dan akhirnya terlepas. “Gadis?”

Ternyata aku terisak ketakutan, aku membuka mataku dan menatapnya, ekspresinya bingung melihatku, “Maafkan aku, Dis”

Aku menggeleng, “Saya mohon, jangan lakukan itu lagi...” ujarku menangis, antara lega dan ketakutan karena merasa trauma.

Alghaz melajukan mobilnya dan empat puluh menit kemudian kami sampai di kediamannya. Aku segera turun dan berlari menuju ke kamarku. Bu Ami yang melihatku terlihat bingung, tapi aku mengabaikannya setelah mencium tangannya dan mengucapkan salam. Tidak lama Bu Ami masuk ke kamar dan mendekatiku yang duduk di atas tempat tidur sambil memeluk bantal. Aku sedang merenung, apa sikapku tadi adil atau tidak untuk Alghaz, karena ia tidak tahu apapun tentang masa laluku. Tapi untuk hal ia menyentuh tanganku, itu adalah mutlak tidak kuizinkan siapapun menyentuhku sebelum menjadi halal bagiku!

“Tuan Alghaz memintaku menyampaikan maafnya padamu sekali lagi” ujar Bu Ami duduk di tepian tempat tidur.

Aku menutup wajahku dengan bantal.

“Apa yang terjadi, Dis?”

“Alghaz menggandeng tanganku dengan paksa Bu...”

Bu Ami menghela napasnya, “Tuan Alghaz tidak mengerti bahwa itu dilarang agama kita, nak. Tapi Ibu yakin ia tidak berniat buruk” sela Bu Ami.

Aku mengangguk, “Iya, Gadis tahu, Bu”

“Kamu tahu tidak, Tuan Alghaz kelihatannya suka sama kamu, Dis”

Mataku membulat menatap Bu Ami, “Ibu, mana mungkin Alghaz suka sama Gadis.”

“Buktinya, dia mau menjemputmu pulang sekolah, mengantarmu belanja. Ini bukan sifatnya sama sekali. Sekarang sebelum maghrib sudah di rumah, sejak ada kamu, beberapa hari ini Ibu perhatikan Tuan Alghaz berubah”

Aku menelan ludah, tidak mungkin seorang Alghaz yang berkuasa menyukai gadis sederhana sepertiku. Suara ketukan di pintu membuyarkan lamunanku.

Bu Ami bergegas membukakan pintunya, Alghaz berdiri di ambang pintu. Bu Ami bergeser dan membiarkan Alghaz masuk ke kamarnya. Aku langsung berdiri dari tempat tidur dan memandangnya penuh antisipasi, aku harap Bu Ami tidak keluar dan meninggalkan kami berdua.

“Aku mau bicara dengan Gadis Bi” ujar Alghaz dan serta merta Bu Ami keluar dengan dari kamar.

Alghaz menatapku sembari berjalan mendekatiku, “Saya mohon tetap di sana Tuan Alghaz”

“Oh jadi kembali lagi ke Tuan Alghaz?” tanyanya berhenti melangkah. “Aku minta maaf Gadis, aku tidak berniat menyakiti kamu. Maaf kalau aku lancang sudah menyentuh tangan kamu” katanya.

Aku menelan ludahku. “Saya rasa, saya harus menceritakan pada Anda kenapa saya bisa sampai berada di sini...”

Ia mengangguk, “Aku banyak waktu untuk mendengar ceritamu” katanya bersamaan dengan suara adzan maghrib berkumandang.

“Kita bicara lagi setelah saya berbuka dan shalat maghrib, kalau boleh...”

“Tentu---tentu saja boleh, aku akan menunggumu di ruang makan, setuju?”

Aku mengangguk dan tersenyum.

“Baiklah, sampai bertemu nanti” katanya seraya memutar tubuhnya dan menghilang di balik pintu.

.

.

Aku menarik napas dalam-dalam, sedikit gugup untuk memulai cerita tentang kejadian yang menimpaku beberapa waktu lalu. Alghaz di depanku sudah tidak sabar menunggu kalimat keluar dari mulutku.

“Saya bertemu dengan Bu Ami, karena saya melarikan diri dari rumah...” aku memulai ceritaku. Alghaz menaikkan alisnya sambil terus fokus menatapku, sepertinya ia benar-benar ingin tahu tentang latar belakangku. “Saya melarikan diri karena---(aku menelan ludah dengan susah payah, ternyata cukup sulit menceritakan kembali kisahku)---karena ayah saya sudah menjual saya pada seorang pemabuk yang mau memperkosa saya...” mataku berkaca-kaca sedikit, aku langsung menyekanya. Aku tidak mau kembali larut pada kekalutan waktu itu, jadi aku berusaha mengendalikan diriku.

Mata Alghaz membesar, tangannya di atas meja terlihat mengepal, rahangnya juga berkedut seperti menahan amarah yang besar. “Bagaimana mungkin ada seorang ayah berbuat begitu pada anaknya?” ujarnya gusar.

Aku mengangguk tidak menyalahkan pertanyaannya.

“Apa yang dilakukan ‘orang gila’ itu terhadapmu?” tanyanya lagi dengan geram.

Aku tahu siapa yang dimaksud dengan ‘orang gila’ itu, “Namanya Max, saya  memanggilnya dengan Om Max, karena dia adalah teman ayahku.”

“Tua bangka kurang ajar!” makinya.

Alghaz menyandarkan punggungnya ke kursi, tapi wajahnya masih menunjukkan ekspresi keras, “Apa yang kamu lakukan sehingga bisa lepas dari manusia laknat itu?”

“Sepertinya saya membuat sebelah matanya buta---“

Mata Alghaz mengerjap terperangah dan ia menegakkan punggungnya, “Huh? Apa kamu serius?”

Aku mengangguk dan menghela napas sekaligus. “Saya berharap dia tidak dendam---walaupun saya sedikit pesimis” ujarku.

“Gadis, apa benar usiamu sekarang baru 17 tahun?” tanya Alghaz sambil memicingkan matanya.

Aku mengangguk, “Beberapa bulan lagi saya akan 18 tahun” sahutku.

Alghaz menggeleng pelan, “Cara bicaramu dan perilakumu tidak seperti anak berumur 18 tahun...” katanya.

“Maksud Anda saya berbohong?”

Alghaz menggeleng lagi, “Bukan begitu, setelah ibumu meninggal, siapa yang mendampingimu belajar? Karena depalan tahun yang lalu, usiamu berarti baru 9 tahun?”

Aku menunduk menatap piring kosongku dan pura-pura merapikan sendok-sendoknya, kemudian menghela napas pendek,“Itu masa yang sulit dan berat untuk saya, selama hidupnya ibu banyak mengajarkan saya untuk bersikap mandiri. Ibu saya meninggal karena sakit, ia tidak pernah mengeluh sampai suatu ketika ia jatuh dan masuk rumah sakit. Kemudian divonis bahwa ibu menderita kanker usus sejak dua tahun sebelumnya. Satu bulan di rumah sakit, ibu tidak bisa bertahan. Aku dan Ayah merasa bersalah tidak mengetahui sakitnya Ibu, kami sempat saling menjauh karena saling menyalahkan. Sampai akhirnya tiga tahun setelahnya  kami berdamai dan memutuskan pindah rumah. Di tempat yang baru, di mana tidak banyak tetangga kami mulai menata hidup baru. Aku sekolah di tempat yang baru dan ayah bekerja berpindah-pindah, tabungan mulai menipis dan ayah mulai berhutang. Aku tahu ayah mulai berhutang, karena beberapa teman ayah pernah datang ke rumah untuk mencarinya dan menagih hutang,” aku menyeka mataku yang ternyata menumpuk cairan bening yang siap tumpah. “Ketika hutang ayah semakin menumpuk, beberapa teman sesama pemabuknya menyarankan sesuatu yang membuat ayahku berubah gelap mata dan menjualku kepada salah satu temannya, Om Max itu” aku mengusap hidungku dengan tisu yang ada di meja. Ya Allah, serpihan sakit hatiku kembali memberontak dan membuat perih dadaku. Ia adalah ayah kandungku, mengapa tega sekali ayah meninggalkanku dengan pemerkosa seperti Max? Hidungku tersendat karena isak tangisku bertambah. Alghaz berdiri dan berpindah tempat di sebelahku, aku menatapnya waspada dengan mata basah.

“Tenang saja, aku tidak akan menyentuhmu...” katanya. Tapi rahangnya terlihat mengeras dan berkedut. Urat-urat pada kepalan tangannya terlihat menonjol. Alghaz seperti sedang berusaha menahan emosinya. Sampai datang Bu Ami di sebelahku dan memelukku, Alghaz tidak bersuara lagi. Ia hanya membiarkanku mengeluarkan tangisku.

*****

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • dreamon31

    @yurriansan terima kasih ya, oke aku mampir

    Comment on chapter Lead To You - Part 2
  • yurriansan

    Aku baru baca chapter 1, seru ceritanya. suka juga dengan gayamu bercrta.

    oh ya mmpir jg ya f crtaku. aku tggu kritik dan sarannya.
    judulnya : When He Gone
    trims

    Comment on chapter Lead To You - Part 1
Similar Tags
Behind The Scene
1194      500     6     
Romance
Hidup dengan kecantikan dan popularitas tak membuat Han Bora bahagia begitu saja. Bagaimana pun juga dia tetap harus menghadapi kejamnya dunia hiburan. Gosip tidak sedap mengalir deras bagai hujan, membuatnya tebal mata dan telinga. Belum lagi, permasalahannya selama hampir 6 tahun belum juga terselesaikan hingga kini dan terus menghantui malamnya.
Menuntut Rasa
433      323     3     
Short Story
Ini ceritaku bersama teman hidupku, Nadia. Kukira aku paham semuanya. Kukira aku tahu segalanya. Tapi ternyata aku jauh dari itu.
Senja (Ceritamu, Milikmu)
5727      1442     1     
Romance
Semuanya telah sirna, begitu mudah untuk terlupakan. Namun, rasa itu tak pernah hilang hingga saat ini. Walaupun dayana berusaha untuk membuka hatinya, semuanya tak sama saat dia bersama dito. Hingga suatu hari dayana dipertemukan kembali dengan dito. Dayana sangat merindukan dito hingga air matanya menetes tak berhenti. Dayana selalu berpikir Semua ini adalah pelajaran, segalanya tak ada yang ta...
Monoton
520      354     0     
Short Story
Percayakah kalian bila kukatakan ada seseorang yang menjalani kehidupannya serara monoton? Ya, Setiap hari yang ia lakukan adalah hal yang sama, dan tak pernah berubah. Mungkin kalian tak paham, tapi sungguh, itulah yang dilakukan gadis itu, Alisha Nazaha Mahveen.
Like Butterfly Effect, The Lost Trail
4833      1302     1     
Inspirational
Jika kamu adalah orang yang melakukan usaha keras demi mendapatkan sesuatu, apa perasaanmu ketika melihat orang yang bisa mendapatkan sesuatu itu dengan mudah? Hassan yang memulai kehidupan mandirinya berusaha untuk menemukan jati dirinya sebagai orang pintar. Di hari pertamanya, ia menemukan gadis dengan pencarian tak masuk akal. Awalnya dia anggap itu sesuatu lelucon sampai akhirnya Hassan m...
Jangan Datang Untuk Menyimpan Kenangan
476      337     0     
Short Story
Kesedihan ini adalah cerita lama yang terus aku ceritakan. Adakalanya datang sekilat cahaya terang, menyuruhku berhenti bermimpi dan mencoba bertahan. Katakan pada dunia, hadapi hari dengan berani tanpa pernah melirik kembali masa kelam.
CHERRY & BAKERY (PART 1)
3730      934     2     
Romance
Vella Amerta—pindah ke Jakarta sebagai siswi SMA 45. Tanpa ia duga kehidupannya menjadi rumit sejak awal semester di tahun keduanya. Setiap hari dia harus bertemu dengan Yoshinaga Febriyan alias Aga. Tidak disangka, cowok cuek yang juga saingan abadinya sejak jaman SMP itu justru menjadi tetangga barunya. Kehidupan Vella semakin kompleks saat Indra mengajaknya untuk mengikuti les membuat cu...
Letter From Who?
436      299     1     
Short Story
Semua ini berawal dari gadis bernama Aria yang mendapat surat dari orang yang tidak ia ketahui. Semua ini juga menjawab pertanyaan yang selama ini Aria tanyakan.
Bisakah Kita Bersatu?
565      314     5     
Short Story
Siapa bilang perjodohan selalu menguntungkan pihak orangtua? Kali ini, tidak hanya pihak orangtua tetapi termasuk sang calon pengantin pria juga sangat merasa diuntungkan dengan rencana pernikahan ini. Terlebih, sang calon pengantin wanita juga menyetujui pernikahan ini dan berjanji akan berusaha sebaik mungkin untuk menjalani pernikahannya kelak. Seiring berjalannya waktu, tak terasa hari ...
The Ruling Class 1.0%
1269      526     2     
Fantasy
In the year 2245, the elite and powerful have long been using genetic engineering to design their babies, creating descendants that are smarter, better looking, and stronger. The result is a gap between the rich and the poor that is so wide, it is beyond repair. But when a spy from the poor community infiltrate the 1.0% society, will the rich and powerful watch as their kingdom fall to the people?