LEAD TO YOU – PART 6
*****
Alghaz POV
Aku duduk di kursi dengan gusar, sudah berulang kali aku membaca dokumen perjanjian ini dan aku bahkan sampai hapal isinya. Tapi hal inipun tidak membuatku melupakan bayangan Gadis. Wanita dengan seragam abu-abu dan hijabnya itu selalu membayang di pelupuk mataku.
SIAL!
Aku belum pernah merasa sepenasaran ini soal wanita. Gadis benar-benar membuatku menebak-nebak bagaimana bentuk rambutnya, panjang atau pendekkah? Lurus, bergelombang atau keriting? Aku mendengus kesal memikirkan hal itu. Sejak kemunculannya di rumahku dua hari lalu, keberadaannya benar-benar menggangguku. Gadis adalah wanita yang sangat cantik, terlihat dari bentuk wajahnya dan profil tubuhnya. Walaupun seluruh tubuhnya tertutup karena pakaiannya, tapi aku yakin dia wanita yang cantik secara keseluruhan.
Bu Ami bilang, Gadis mengalami peristiwa buruk sebelum bertemu dengannya, tapi Bu Ami belum bercerita apa peristiwa buruk itu, ia memintaku bertanya langsung pada Gadis. Tapi bagaimana mungkin aku bertanya padanya dan membuatnya kembali mengingat peristiwa itu? Jadi aku memang belum bertanya apapun padanya. Aku belum pernah setertarik ini pada wanita berhijab, belum pernah. Hidupku penuh dengan wanita seksi dan terbuka, yang menampilkan bentuk tubuhnya dan kelebihan yang mereka punya. Aku adalah penikmat keindahan, termasuk keindahan wanita. Tapi kehadiran Gadis membuatku lupa pada mereka, tidak terkecuali Amber, wanita yang saat ini tengah dekat denganku. Entah kenapa aku merasa malas bertemu dengannya hari ini, walaupun aku sudah membuat janji dengannya kemarin di telepon.
Bersamaan dengan aku memikirkan Amber, pintu ruanganku terbuka, dan kepala Lidya muncul. “Maaf Mr. Devran, saya---“ kalimat Lidya terputus karena dari belakangnya Amber menerobos masuk begitu saja.
Aku menghela napas dan memberikan isyarat agar Lidya menutup pintunya. Amber menghampiriku seraya memelukku, aku tidak membalasnya. Ya, sepertinya aku malas membalasnya. Amber melepaskan pelukannya dan menatapku bingung, “Al?” matanya bergerak-gerak menyelidikiku, “kau kenapa?”
Aku memegang bahunya dan menjauhkannya dariku sedikit lagi, “Amber, aku rasa kita harus menghentikan ini, aku tidak mau merusak hubunganmu dengan pacarmu” ujarku. Mata Amber membulat menatapku. Yup, Amber selingkuh dari pacarnya dan akulah lelaki selingkuhannya itu. Tapi tidak sepenuhnya seperti itu, aku dan Amber pernah menjalin hubungan sebelumnya, tapi hubungan kami tidak berjalan baik setelah enam bulan berjalan. Aku menyukai Amber, aku bahkan tidak bisa membayangkan hidupku tanpa Amber. Ketika Amber memutuskan hubungan kami, aku memohon padanya untuk tetap bersamaku, karena aku membutuhkannya, aku kecanduan dirinya. Awalnya Amber menolak, tapi dengan bujuk rayuku ia akhirnya setuju bahwa hubungan kami berlanjut secara diam-diam. Ia memiliki kekasih, namun ia selalu bercinta denganku. Aku tidak mengenal kekasihnya dan tidak berniat untuk mengenalnya. Tapi aku merasa kasihan padanya, karena itu, aku rasa ini saatnya aku mengakhiri semuanya.
“Kau bercanda kan Al?”
“Aku serius”
Amber mundur selangkah seolah-olah syok, atau ia memang merasa syok betulan. Kepalanya menggeleng, “Aku tidak mau! Aku mencintaimu Al!”
“Tidak, kau hanya mencintai tubuhku, sama sepertiku. Aku hanya membutuhkan tubuhmu” desisku, “hubungan kita tidak benar Amber! Pacarmu akan sakit hati jika tahu hal ini”
“Tapi dia kan tidak tahu”
“Dia akan tahu suatu hari nanti”
Amber menggeleng. “Kau yang menarikku kembali enam bulan lalu Al, sekarang kau mencampakkanku? Apa kau mau balas dendam?”
“Kau bilang akan bertunangan dan akan segera menikah, bagaimana kalau aku juga demikian?”
“Apa kau mau bertunangan juga?” tudingnya.
Aku menarik napas dalam-dalam dan memilih menyandarkan bokongku pada meja, “Bagaimana kalau iya?” sahutku menelan ludahku.
“Siapa wanita itu? Mana wanita yang akan menjadi tunanganmu itu?” tanyanya dengan ekspresi cemas.
“Amber, dengar. Kau memilih laki-laki lain dan meninggalkanku” ujarku setenang mungkin, “kemudian aku memintamu tetap berhubungan denganku sementara kita bebas berhubungan dengan siapapun bukan? Hubungan antara kita hanyalah nafsu belaka, tidak ada cinta”
“Tapi kau tidak akan bisa hidup tanpaku kan? Kau tidak akan pernah cukup tanpaku, kan?” tukasnya.
“Sebelumnya, ya. Tapi aku rasa aku harus membiasakan diri untuk cukup tanpamu” ujarku.
“Apa ada wanita lain yang menggantikanku, Al? Apa dia lebih memuaskanmu di tempat tidur?”
Aku menggeleng cepat, “Tidak, sampai saat ini belum ada yang menggantikanmu”
“Kalau begitu, biarkan aku terus bersamamu sampai kau temukan penggantiku!” ujarnya.
“Maaf Amber, aku memutuskan kita berakhir sampai di sini” ujarku sambil berdiri. Tiba-tiba Amber berdiri dan menyambar bibirku dengan cepat, aku sempat kehilangan diriku ketika merasakan kehangatan dan lembutnya bibir Amber. Tapi ketika kesadaranku kembali pulih, aku mendorongnya pelan dan menggeleng, “ini yang terakhir, Amber” ujarku seraya kembali melumat bibirnya dengan keras dan dalam.
“OOOWW!! Get a room man!” sembur Omar ketika masuk ruanganku tanpa mengetuk pintu dan melihat adegan ciumanku dengan Amber. Kami saling melepaskan diri dan menjauh. Amber menatapku sendu, kemudian ia mendekatiku dan mencium pipiku seraya berbisik, “Aku tidak akan pergi darimu, Alghaz. Tidak ada yang menciumku seperti tadi” ia membelai pipiku dengan tangannya dan berlalu ke arah pintu. “Hai Omar, lain kali ketuk pintu dulu...” tukasnya sinis pada Omar.
Omar hanya tersenyum miring pada Amber dan mengabaikannya. Ia mendekati mejaku dan duduk di depanku. “Aku tidak mengerti apa yang kau lihat darinya, Al” katanya.
“Sudahlah, aku baru saja mengakhiri hubunganku dengannya tadi.”
Mata Omar membulat, “Kau mengakhirinya dengan sangat bagus, Al. Kalau aku tidak datang, aku yakin Amber sudah tergeletak di atas meja ini dengan tubuhmu di atasnya, ya kan?”
Aku melemparkan kertas padanya, “Sial!”
“Itulah dirimu! Kalau sudah bersama Amber, kau akan jadi lembek seperti ongol-ongol!”
“Cukup tentang Amber! Apa tujuanmu ke sini?”
“Tidak banyak yang kudapat tentang Gadis, selain keterangan bahwa ia sebatang kara sekarang. Ibunya meninggal 8 tahun yang lalu, ayahnya pergi meninggalkannya entah kemana. Perlu waktu untuk menyelidiki latar belakangnya lebih lagi. Cerita ia bertemu dengan keluarga Bi Ami di desa itu benar, Bu Atik dan anaknya sudah mengkonfirmasi cerita itu” terang Omar.
Aku manggut-manggut dan mengerti bahwa untuk mengetahui siapa Gadis sebenarnya tidak mungkin diketahui secara singkat, “Teruskan saja cari tahu Omar” kataku.
“Kenapa?” Omar balik bertanya.
“Kenapa kau bertanya lagi?”
“Jangan bilang kau tertarik padanya?”
“Tutup mulutmu itu!” semburku. Mana mungkin aku tertarik padanya. Tapi kalau tidak kenapa aku mencari tahu sedalam ini tentangnya, dan kenapa aku juga tidak bisa melupakannya. Aku memandang jam dinding, “kembali kerja sana!” perintahku pada Omar.
Ia berdiri dan berjalan keluar dengan bersungut-sungut dan bergumam sesuatu yang tidak jelas kudengar. Aku mengeluarkan ponselku dan mengirim pesan pada Gadis.
Kamu pulang sekolah jam berapa?
Sekali lagi aku melihat jam dinding, 13.30 dan aku belum makan siang? Karena aku begitu sibuk memikirkannya atau bagaimana? Sampai-sampai aku lupa makan siang? Pesanku belum terbaca.
Ya Tuhan, Gadis tahu cara membaca pesan yang masuk kan? Pikirku cemas. Aku meneleponnya. Dering keempat baru terdengar suara di ujung sana. Ada kelegaan tersirat dalam hatiku mendengar suaranya yang syahdu. “Assaalamualaikum” jawabnya.
Mau tidak mau aku menjawab salamnya, “Waalaikumsalam, kamu di mana Dis?” tanyaku.
“Saya masih di sekolah”
“Kamu pulang jam berapa?”
“Baru saja bell pulang berbunyi tadi”
“Aku jemput kamu ya”
“Tidak usah Alghaz, ada temanku yang searah dan dia mau memberiku tumpangan katanya”
Mataku membesar, “Apa? Temanmu itu perempuan atau laki-laki?” tanyaku aneh.
“Laki-laki, dia bawa motor.”
“Kamu tunggu di sekolah! Aku jemput!” ujarku geram seraya menyambar jasku dan mematikan telepon Gadis, kemudian menelepon Irwin, sopirku.
Perasaan yang aneh ini masih menggelayut di benakku sampai mobilku masuk ke pelataran parkir sekolah Gadis. Aku bergegas turun dan masuk ke dalam gedung sekolah dan mendapati Gadis yang sedang duduk di depan kantor guru sambil membaca buku kecil. Aku berdiri di depannya tanpa ia sadari.
“Gadis...”
Ia mendongakkan wajahnya yang polos dan cantik itu, “Alghaz? Cepat sekali?”
Tentu saja aku cepat, aku tidak mau keduluan oleh anak ingusan yang berniat mendekati Gadis juga. “Ayo kita pulang” ajakku.
Gadis melambaikan tangannya pada beberapa murid lain yang ia temui selama berjalan ke tempat parkiran. Ia adalah anak yang supel, baru sehari saja sepertinya sudah mendapatkan banyak teman.
*****
@yurriansan terima kasih ya, oke aku mampir
Comment on chapter Lead To You - Part 2