Kabar bahwa Mika dan Juwita berpacaran, menyebar dengan cepat ke seantero sekolah.
Ada yang kecewa, banyak yang patah hati, tak sedikit yang menatap Pinky dengan tatapan miris, penuh simpati.
Bagaimanapun juga mereka tahu perjuangan gadis itu dalam mendapatkan cinta Mika.
Bagaimana perasaannya kalau pemuda yang ia cintai setengah mampus itu kini justru menjadi milik gadis lain?
Apa dia baik-baik saja?
Apa ia terluka?
Sejujurnya, Pinky tidak baik-baik saja. Ia gadis yang tegar dan bermental baja, tapi bukan berarti hatinya tak terluka.
Ada goresan di sana, cukup dalam, lebih dari cukup untuk membuatnya menangis berhari-hari.
Lebih dari cukup untuk membuatnya tak masuk sekolah dan memilih untuk menenangkan diri.
***
Mika menatap bangku Pinky yang kosong. Sudah hampir seminggu ini gadis itu tak masuk sekolah. Entah karena apa, itu ia tak tahu.
Yang jelas, tak ada lagi gadis yang akan berdiri menunggunya di dekat pintu gerbang sambil membawakannya kotak bekal.
Tak ada lagi gadis yang akan heboh memanggil namanya.
Tak ada lagi gadis yang begitu antusias ketika berbicara padanya.
Dan tak ada lagi gadis rese yang kerapkali mengganggu ketenangan hidupnya.
Harusnya Mika lega.
Harusnya ia senang karena sekarang ia bisa menjalani hari-harinya dengan tenang.
Nyatanya tidak.
Mungkin ini terdengar konyol mengingat bahwa selama ini dia sendirilah yang menghendaki gadis itu pergi.
Sekarang begitu gadis itu tak menampakkan batang hidungnya, rasanya ada yang hilang.
Hampa.
***
"Dimas, kenapa Pinky nggak masuk?"
Siang itu, ia memberanikan untuk bertanya tentang dirinya pada Dimas.
Dimas mendongak, menatap Mika sebentar dengan ekspresi tak ramah, lalu asyik mengutak-atik ponselnya kembali.
"Nggak tahu," jawabnya pendek, ketus.
"Apa dia sakit?"
"Nggak tahu," lagi-lagi Dimas menjawab tak kalah ketus.
"Dimas?"
"Ah, udah deh. Jangan nanya-nanya tentang dia lagi! Urusi aja pacar loe!"
Mika menatapnya bingung.
"Apa hubungannya? Gue 'kan cuma pengen tahu soal Pinky. Sebagai teman sekelas, gue pikir wajar untuk menanyakannya,"
"Wajar pantat sapi!" Dimas membanting ponselnya dengan gemas ke atas meja.
Untungnya kelas sedang sepi. Beberapa siswa menghabiskan waktu istirahatnya di kantin dan taman sekolah. Juwita sendiri sedang ke perpustakaan mengembalikan buku, tanpa didampingi Mika.
"Elo ini bodoh atau apa? Kalau elo peka, elo pasti memahami perasaan Pinky. Dia yang jungkir balik mencintai dirimu, dan sekarang harus mendapati kenyataan bahwa elo pacaran sama cewek lain, tentu aja dia terluka. Dia perlu menenangkan diri. Ah, dasar payah," pemuda itu menggerutu.
"Gue 'kan udah bilang padanya sejak dulu kalo gue nggak mencintainya," Mika membela diri.
"Tetap aja berita bahwa elo pacaran melukai perasaannya!" Dimas mengeram sebal.
Dan itu tepat ketika tatapan matanya menangkap sosok makhluk satu spesies dengannya, celingungkan di depan pintu kelas.
Jefri, setiap setengah jam sekali pemuda itu akan mampir ke sini menanyakan soal Pinky. Dan itu ia lakukan setiap hari, sejak Pinky tak masuk sekolah.
"Pinky belum masuk, woi! Jangan bolak balik mampir ke sini! Kehadiran elo tambah bikin gue stress!" Teriak Dimas.
Jefri manyun. "Gue nggak ngomong sama elo, dasar rambut brekele," jawabnya cuek.
Jawaban itu sukses memancing reaksi berlebih dari Dimas.
"Bre-brekele!?" teriaknya.
Pemuda itu menyingkirkan bangkunya, lalu melesat keluar kelas, menghampiri Jefri.
Merasa terancam, Jefri memilih melarikan diri.
"Berhenti loe!" Teriak Dimas. Yang dikejar tak menggubris, terus mempercepat langkah kakinya. Dan akhirnya mereka kejar-kejaran di lorong kelas.
Mika menatap adegan itu dengan bingung. Sejurus kemudian ia kembali mengalihkan pandangannya pada bangku di sebelah bangku Dimas.
Kosong.
***
Beberapa hari kemudian Pinky masuk sekolah seperti biasanya. Hanya saja, ia tak lagi berdiri di dekat pintu gerbang menunggu Mika sambil membawakannya kotak bekal.
Setelah turun dari mobil, ia segera melenggang memasuki kelas.
Sikapnya tak jauh berbeda. Ia tetap menebarkan senyum pada teman-teman yang ia temui di sepanjang lorong kelas. Langkahnya tetap ringan, dan sinar matanya tetap ceria.
Satu hal yang berubah, ia tak memberi senyum sapa pada Mika.
Ia cenderung menghindar, mengabaikannya. Gadis itu bahkan nyaris tak melakukan kontak mata dengannya, sama sekali. Seakan menganggapnya tak ada.
Keadaan itu terus berlangsung hingga berhari-hari lamanya.
Pinky tersenyum pada orang lain, tapi pada Mika tidak.
Ia ramah pada siswa lain, tapi pada Mika tidak.
Begitu terus.
Gerah diperlakukan seperti itu, merasa dibedakan, merasa harga dirinya terluka, Mika nekat berbicara terlebih dahulu pada Pinky. Di sebuah siang, ketika pelajaran bahasa usai.
"Pinky," panggilnya canggung.
"Hm," yang dipanggil hanya menyahut pendek. Tanpa perlu repot-repot mendongak dan menatap balik. Jemarinya sok sibuk mencoret-coret buku tulisnya.
"Gue ... pengen minta maaf," ucap Mika lagi.
"Untuk?" Kali ini jawabannya ketus.
"Untuk ..." Mika tertegun.
Iya juga sih. Untuk apa ia meminta maaf?
Karena ia berpacaran dengan Juwita?
Karena ia melukai perasaannya?
Tapi 'kan sejak dulu juga begitu.
"Gue minta maaf karena, mungkin aja gue udah melukai perasaan elo. Mungkin aja gue udah membuat hubungan di antara kita nggak nyaman, dan ...,"
Pinky mendongak, menatap lurus ke mata Mika dengan tatapan berkilat hingga kalimat pemuda itu terhenti seketika.
Glek, pemuda itu menelan ludah.
"Sejak dulu emang begitu 'kan? Cinta gue sebelah pihak. Rasa sakit gue juga hanya sebelah pihak. Perasaan nggak nyaman yang gue rasakan juga hanya sebelah pihak. Seperti yang pernah elo bilang pada gue dulu, semua bermula dari diri gue sendiri. Lalu kenapa harus elo yang minta maaf sekarang?"
Matek.
Mika mati gaya.
"Itu ...," Ia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Pacarmu sedang butuh bantuan tuh," ucap Pinky kemudian.
Mika mengernyit. "Eh?"
Pinky menunjuk keluar kelas dengan dagunya.
Mika mengikuti arah penunjuk tersebut, dan dari dalam jendela kelas, ia bisa melihat Juwita tengah kerepotan membawa buku-buku. Berjalan dengan hati-hati di lorong, mencoba menghindari beberapa siswa yang berlarian dan nyaris menubruk dirinya.
Dan tanpa berpamitan pada Pinky, pemuda itu berlari ke arahnya, dan membantunya.
Pinky menarik nafas, lalu kembali coret-coret di atas bukunya.
Kesal.
Pada dirinya sendiri.
***
Pinky ada di kamar mandi ketika keributan itu berlangsung.
Beberapa murid perempuan, entah dari kelas berapa, tengah mengeroyok Juwita, mendorongnya ke dinding, dan menyiram tubuhnya dengan air.
"Sebenarnya apa yang disuka Mika dari elo? Elo nggak cantik, elo juga nggak kaya, kenapa elo bisa membuatnya jatuh cinta, hah?!"
Byuuurr...
Dan mereka kembali mengguyur dengan air.
"Elo pasti menggodanya 'kan? Ya 'kan??!"
Awalnya Pinky ingin mengabaikan, tak berusaha ikut campur. Ayolah, gadis itu adalah kekasih dari orang yang ia cintai, bagaimana mungkin ia akan menolongnya?
Tapi, bukan Pinky namanya jika ia tahan melihat kejahatan di depan matanya.
Gadis itu mengumpat lirih dan ... Braakkk!
Ia membuka pintu kamar mandi dengan kesal.
"Bisakah kalian membiarkan gue buang air dengan tenang, hah?!" teriaknya.
Beberapa siswa itu menoleh, dan tampak kaget menyaksikan Pinky muncul dari salah satu kamar mandi.
"Pinky?" Mereka mendesis hampir bersamaan.
"APA YANG KALIAN LAKUKAN PADANYA, HAH? INI KEKANAK-KANAKAN TAU!" Pinky kembali berteriak.
"Kami ...,"
"Kami kesal padanya,"
"Dan tolong jangan ikut campur urusan kami,"
Ucapan salah satu siswa perempuan berambut sebahu membuat Pinky naik pitam.
"Siapa elo berani nyuruh gue nggak ikut campur?" Ia mendesis. Melemaskan jemari-jemarinya hingga menimbulkan bunyi gemerutuk.
"Gue nggak keberatan membuat keributan dengan kalian. Jika kalian masih waras, cepat enyah dari hadapan gue!" Ancamnya.
Dan nyali siswa-siswa perempuan itu ciut. Mereka memilih pergi, meninggalkan Pinky dan Juwita di kamar mandi.
"Elo nggak apa-apa?" Tanya Pinky sambil melangkah mendekati Juwita yang basah kuyup di lantai.
"Gue ..."
Pintu toilet tiba-tiba terbuka, dan Mika menyeruak masuk.
"Juwita! Elo nggak apa-apa?" Ia menghambur ke arah gadis yang tampak rapuh tersebut.
"Mereka bilang elo dapat masalah di sini. Elo baik-baik aja 'kan?" Ia bertanya cemas sambil menghapus butiran-butiran air di wajah Juwita dengan telapak tangan.
"Apa yang elo lakuin padanya?" Kali ini ia menatap Pinky dengan sorot mata berkilat.
Bibir Pinky berdecih. Ia bersedekap dengan kesal.
"Elo pikir gue melakukan apa padanya? Gue bahkan nggak menyentuhnya sedikitpun," balasnya.
"Pinky yang nolongin gue," Juwita menengahi, suaranya menggigil kedinginan.
Mendengar penuturan gadis itu, Mika kembali menatap Pinky, kali ini tatapannya penuh penyesalan, merasa salah sangka.
Pinky hanya mengibaskan rambutnya cuek.
"Tahu begini aku nggak akan ikut campur," ia berbalik, lalu beranjak meninggalkan mereka.
***
Pinky sesenggukan di atap gedung, sendirian. Tubuhnya melorot di lantai dan punggungnya tersandar di pagar pembatas. Sesekali ia menyembunyikan wajahnya di telapak tangan demi untuk meredam isak tangisnya.
Sejauh ia mencoba tegar, tetap saja hatinya sakit.
Menyaksikan Mika bersikap manis pada Juwita, menyaksikan pemuda itu bersikap protektif padanya, bahkan malah menuduh ia yang berusaha mencelakainya, hatinya sakit.
Ia sengaja menyendiri, di sini, dan menumpahkan rasa sakit di hatinya dengan menangis.
Tangisnya sempat terhenti sesaat dan ia tertegun ketika dua pemuda itu muncul dari pintu yang menyatu dengan anak tangga, lalu melangkah menghampirinya.
"Kami mencarimu," Dimas berkata lebih dulu. Suaranya pelan.
"Dan kami mengkhawatirkanmu," Jefri menyahut.
Pinky tak berusaha menyembunyikan air matanya. Ia terus saja sesenggukan. Sampai akhirnya Jefri dan Dimas sama-sama mengeluarkan sapu tangan dari saku, dan dengan berbarengan mereka mengulurkannya pada Pinky.
Gadis itu menerima dua sapu tangan tersebut lalu mulai menghapus air matanya.
"Thanks," ucapnya. "Gue bolos di jam terakhir," lanjutnya.
"Kami juga," Dimas dan Jefri ikut duduk, masing-masing di sisi Pinky.
"Kami akan menemani elo bolos," ujar Jefri sambil tersenyum kecut.
Pinky menatap pemuda yang duduk di samping kanan dan kirinya secara bergantian, lalu mengangkat bahu.
"Terserah deh," jawabnya.
Awalnya tangisnya sudah reda. Namun ketika pintu di anak tangga kembali terbuka, dan dua sahabat baiknya muncul dari sana, tangisnya kembali meledak.
"Eriiii!! Yunaaaa!! Huaaaa....,!" Ia meraung.
Eri dan Yuna berlari, menghambur ke arah gadis itu dan memeluknya erat.
"Pinky! Huaaaa......"
Dan dua gadis itu ikut menangis, keras.
Bingung melihat ulah ketiga gadis tersebut, Dimas dan Jefri memilih untuk ikut merentangkan tangan dan memeluk mereka.
Dan jadilah kelima makhluk itu saling berpelukan.
Tiba-tiba saja hubungan mereka jadi dekat, entah sejak kapan.
***
"Gue harus menyelamatkan harga diri gue," Pinky seolah berbicara pada dirinya sendiri.
Ia melangkah ringan menyusuri pinggir lapangan, menuju lorong kelas yang mengarah pada deret ruangan lain. Sementara keempat sosok lain mengikuti langkahnya dari belakang.
"Lalu apa yang akan elo lakukan?" tanya Eri.
"Gue akan mengajak dia bertemu empat mata, dan gue akan bilang pada dia bahwa gue capek ngejar-ngejar dia. Dan gue akan istirahat," jawabnya sambil tersenyum mantap.
"Setuju!" Dimas dan Jefri menyahut tak kalah semangat.
Pinky mendelik dan menoleh ke arah pemuda itu.
"Kenapa kalian berdua masih mengikuti gue sih?" bentaknya.
Dimas dan Jefri hanya meringis.
"Kembali ke kelas kalian!" bentak Pinky lagi.
"Kita 'kan satu kelas, Ping," jawab Dimas.
"Jangan panggil gue Ping!"
Yang dibentak hanya meringis, tanpa rasa bersalah.
"Gue akan minta pada pihak sekolah agar bisa pindah ke kelas elo," ujar Jefri.
Pinky melotot.
"Coba aja kalo berani! Tamat riwayat elo!" Ancamnya.
"Kalau elo sampai bisa pindah ke kelas Pinky, maka kami juga ikut pindah ke sana," Eri dan Yuna nimbrung.
Langkah Pinky terhenti tiba-tiba hingga membuat keempat sosok di belakangnya menubruk dirinya secara beruntun.
Gadis itu berbalik.
"Jangan ada yang pindah ke kelas gue! Titik!" Teriaknya.
"Elo sih, kenapa harus ikut-ikutan mau pindah kelas," Dimas menggerutu pada Jefri.
"Gue 'kan juga pengen satu kelas dengannya dan itu wajar. Yang nggak wajar itu kalau Eri dan Yuna ingin satu kelas dengannya. Kalian nggak sedang bersaing memperebutkan cinta Pinky 'kan?" Jefri menatap Eri dan Yuna dengan was-was.
Dua gadis itu membelalak.
"Kami normal woi!!" Mereka berteriak serempak.
Dan keempat orang itu kembali terlibat keributan dan adu mulut.
Pinky mendesah kesal. Gadis itu memilih duduk di bangku dekat lapangan, mengambil pemotong kuku dari sakunya, lalu mulai mengikir kukunya yang cantik.
Mengabaikan keempat sahabatnya yang terus menerus ribut.
***
Mika melihatnya.
Dari salah satu lorong kelas ia melihat Pinky dan keempat sahabatnya bercengkerama di dekat lapangan.
Tadinya ia berniat mencari gadis itu dan meminta maaf secara langsung padanya karena sempat menduga ia melakukan hal buruk pada Juwita. Tapi ternyata ia salah.
Dan sekarang, entah untuk berapa lama, tanpa sadar ia menghabiskan waktunya menatap gadis itu.
Bercengkerama dengan sahabat-sahabatnya, berdebat, membentak, menertawakan sesuatu, bahkan terkadang terlihat terkikik geli. Tanpa alasan yang ia ketahui, Mika senang melihatnya.
Beberapa hari ini ia melihat gadis itu murung. Dan sekarang, melihat ia bertingkah seperti biasanya, tiba-tiba saja ia merasa ... lega.
Seiring dilihatnya senyum di bibir Pinky, tanpa sadar bibirnya ikut tersenyum.
***
"Apa yang ingin elo bicarakan?" Tanya Mika bingung.
Siang itu Pinky sengaja mengajaknya ke taman di belakang sekolah, dia bilang, ada yang harus mereka bicarakan, berdua saja.
Pinky menatap pemuda itu dalam.
Tadinya ia mengajak pemuda itu bertemu untuk mengembalikan harga dirinya.
Mengatakan padanya bahwa ia lelah mengejar dirinya dan memutuskan untuk melupakannya.
Tapi ...
Tapi ...
Begitu pemuda itu berdiri menjulang di hadapannya, berbicara padanya, menatap lekat ke arahnya dengan sepasang matanya yang teduh, niat Pinky ambyaarr.
Ia salpok ke wajahnya yang tampan.
Salpok ke hidungnya yang mancung, ke bibirnya yang tipis, ke senyumnya yang menawan, ke lesung pipinya yang lucu.
Bagaimana mungkin?
Bagaimana mungkin ia melepaskan makhluk ajaib ini begitu saja!
Pinky mendesah lirih. Dan tanpa sadar, ia tertawa miris. Ia menertawakan ketololannya sendiri.
"Apa yang elo tertawakan?" Mika menatap gadis itu bingung.
Pinky kembali terkekeh.
"Tadinya gue mengajak elo ketemu untuk bilang bahwa gue lelah dan memutuskan untuk nggak ngejar-ngejar elo lagi. Tapi ..."
"Tapi apa?" Mika makin bingung.
Pinky tersenyum da menatapnya dalam.
"Gue berubah pikiran," jawabnya.
Mika mengernyit. Dan Pinky kembali berkata, "Sebelum janur kuning melengkung, sebelum elo dan Juwita berada di depan penghulu mengucapkan janji suci sehidup semati, gue akan tetap mengejar cinta elo. Tapi jangan khawatir, gue akan bersaing dengan sehat, dengan siapapun."
Dan ia tersenyum manis.
Gubraakkk....
Mika melongo.
Eri dan Yuna yang bersembunyi di balik bangunan dan mendengarkan pembicaraan antara Mika dan Pinky secara sembunyi-sembunyi hanya mampu tepok jidat.
Sementara Dimas dan Jefri yang berdusal di belakang mereka hanya mampu berpandangan, lalu mewek berjamaah.
Ou-em-ji, Pinky..
***
Bersambung