Five month before...
“Siang, Pak...” sapaku pelan.
“Oh Kinara, sudah sampai kau rupanya, duduk sini...” Pak Jamil berdiri dari kursinya dan beralih ke sofa tamu yang ada di ruangannya, “langsung saja Kinara...”
“Sebelumnya saya mau meminta maaf memanggilmu di saat kau sedang sibuk untuk kuliah. Tapi Bapak tidak punya opsi lain yang lebih baik terkait dengan masalah ini”, Pak Jamil menatapku tajam, mencoba membaca reaksiku, “saya membaca makalah tesismu, dan kebetulan kita dimintai tolong untuk kegiatan edukasi dimasyarakat dan juga sekolah-sekolah terkait dengan kebencanaan. Menurut saya, ini akan sangat membatu tesismu. Kau tidak perlu ke luar Jogja, ganti saja lokasi penelitianmu di sini.”
“Saya memilih ke Tambora bukan hanya karena saya pengen liburan loh, Pak. Tapi karena memang lokasinya dan kondisi gunungnya. Kalau di Merapi, sudah banyak sekali kajian dan penelitian yang dilakukan di sana, jadi...” aku berusaha untuk menguatkan pendapat.
“Ya, Bapak paham sekali, tapi toh kebermanfaatan itu yang paling utama kan? Nanti kalau memang metode dan penelitianmu itu berguna, tinggal kita alih terapkan di sana. Ini sudah jelas sekali kau dibutuhkan di sini dan materinya sangat cocok dengan tesisimu. Kau akan mudah untuk pengambilan sampling datanya...” Pak Jamil masih kekeuh dengan penujukkan tim ini. Aku tahu beliau sudah menyiapkan berbagai macam amunisi yang membuatku tidak bisa menolaknya. Beliau tahu benar bagaimana karakterku dan sebaliknya.
“Baiklah Pak...” aku menyerah, dengan begitu mudah.
“Baguslah, saya sudah membicarakan ini dengan dosenmu sebenarnya. Mereka bilang kalau saya mendapatkan persetujuanmu maka tidak masalah kau yang mengambil kewajiban ini...” Pak Jamil berdiri dari kursinya dan mengambil beberapa berkas yang diserahkan padaku, “ini proposal yang masuk dan juga tim yang akan bekerja bersamamu selama enam bulan, mohon maaf Kinara, tidak ada yang single. Bapak sudah berusaha mencari tapi tidak dapat...”
“Ah, come on, Sir. Please...” aku mengeluh. Atasanku di lap penelitian ini memang sudah merencanakan dari awal dan beliau suka sekali menggodaku, "Bapak sudah merencanakan semuanya ya dengan dosen saya sebelum saya dipanggil ke sini?"
“Alright... itu juga benar. Maklumlah Kirana, sedikit sekali orang lapangan yang mampu berkomunikasi dengan masyarakat awam. takutnya menimbulkan presepsi lain yang membahayakan. Apa lagi ini urusannya dengan anak-anak,” aku bisa dengan jelas melihat beliau menahan tawanya. Beliau berdeham sebelum melanjutkan, “di sana ada nomor yang bisa kau hubungi Kinara. Terserah kapan, tapi lebih cepat lebih baik. Bapak percaya padamu.”
“Baik Pak, seperti biasa, Anda juga bisa mengandalkan saya...” aku pamit dan menyapa beberapa temanku. Aku merindukan pola kerja ini namun karena aku harus kuliah lagi aku meninggalkan beberapa pekerjaan pada temanku dan menjadi jarang ke kantor.
“Oh, mohon maaf dan terimakasih...” aku menundukkan kepalaku pada seseorang yang menahan pintu lift untukku. Aku berlari masuk ke lift tepat beberapa detik sebelum pintu tertutup.
“Tidak masalah...” laki-laki itu menjawab dengan suaranya yang berat namun terdengar lembut di teling. Sangat tidak cocok dengan tubuhnya yang tinggi dan kecil, ya walau tidak bisa dibilang kurus tapi dia cukup kecil. Mengingatkanku pada manekin. Aku memukul kepalaku sendiri karena berfikiran macam-macam.
“Ah, sebentar, Saya sepertinya pernah melihat Anda”, aku mencoba mengingat-ingat di mana aku melihatnya.
“Yang jelas saya tidak Nona, ini pertama kalinya saya bertemu dengan Nona”, jawabnya masih dengan menggunakan suaranya yang rendah itu. Nona? Apa aku terlihat begitu muda?
“Aku ingat! Anda tim mitigasi kan? Yang akan ke sekolah-sekolah akhir tahun ini?” aku hampir berteriak mengatakannya. Terlalu excited mungkin.
“Bagaimana Nona bisa tahu...” belum selesai ia menjawab pintu lift terbuka.
“Saya juga ada di tim itu. Baru hari ini saya bergabung...”
“Oh jadi Nona yang akan mewakili lab penelitian?” aku mengikutinya keluar dari lift dan mengangguk.
“Kenalkan nama saya Kinara dan jangan panggil saya nona...” aku mengulurkan tanganku.
“Saya Krisnawan Wijaya, kalau begitu saya panggil Nyonya?” ia menyambut tanganku. Tangannya terasa kokoh saat menjabat tanganku.
“Enak saja, saya belum menikah!”
“Ah begitu kah? Anda masih terlalu muda untuk menikah...”
“Oh Anda terlalu menghina...” aku beranjak dan menoleh, “Kalau tidak ada kegiatan lain, apa bisa kita membicarakan beberapa detail kegiatan sambil makan siang?”
“Boleh, saya ke sini untuk memastikan siapa yang akan bergabung dengan tim dan kebetulan sekali bertemu dengan Anda, Kinara”, ia menyetujuinya dan menjajari langkahku.
“Anda bisa lebih rileks berbicara dengan saya. Saya jauuuh lebih muda...”
“Oke...” dia tersenyum, membuat garis tipis dengan bibirnya yang mungil, “berapa usiamu Kinara?”
“Panggil saja Nara. Usiaku? 27 tahun bulan ini... Pak Krisna?” tanyaku tidak yakin. Dia pantasnya dipanggil mas atau bapak sih? Aku teringat Pak Jamil yang mengatakan bahwa tidak ada yang single di dalam tim.
“27? Aku tidak mengira akan sebanyak itu. Aku? Tebak berapa?” ia menaikkan alisnya.
“34 ehmm 36 atau....?” jawabku asal dan kesal.
“36 cukup bagus. Yah segitu umurku...” ia kembali tersenyum. Kini lebih lebar sehingga aku bisa melihat lesung pipitnya. Ah manis sekali. Aku diam-diam mencubit lenganku. Ada apa coba denganku?
“Kita makan di sana aja gimana? Biar enak tinggal nyebrang jalan saja...” aku melihat kafe yang ditunjukkan oleh Pak Krisna. Kafe itu cukup sering aku datangi karena lokasinya yang dekat dengan Lab. Makanannya cukup bervariasi dengan model angkringan yang kini menjamur di Jogja. Cukup nyaman tempatnya dan yang jelas tidak terlalu mahal.
“Bang, kopi susu sama nasi goreng ya? Kaya biasanya, pedes...” aku menyebutkan pesananku.
“Sama, kopinya nggak pakai susu...” jawab Pak Krisna saat penjual menoleh padanya.
“Hoi, Krisna kan ?” seseorang di sampingku menepuk pundak Pak Krisna.
“Eh, bener. Bagaimana kabar lo Res!” Pak Krisna menyambutnya dengan jabat tangan.
“Baik, ini anak lo udah segede ini?” orang itu menoleh padaku. Aku menatapnya terkejut, “kenalkan saya Restu. Saya temen bapak kamu dulu waktu SMU...” ia meraih tanganku dan menjabatnya.
“Ehm...” Pak Krisna menoleh padaku dengan tatapan tidak enaknya.
“Yah, Nara tunggu di kursi ya. Capek. Kalau ayah sudah selesai ngobrolnya nanti bisa nyusul Nara di sana...” aku menujuk kuris kosong dekat kaca yang menghadap jalanan.
“Oh iya...” Pak Krina terkejut sekaligus gugup saat melihat tingkahku. Aku tertawa dan berjalan menjauhi mereka. Aku melihat bayanganku sendiri di cermin dan maklum. Aku tidak memakai baju formal dan hanya menggunakan kemeja dibalut jeans dan snekers. Pantas saja kalau aku telihat seperti anak-anak.
“Maaf, tadi temanku ngaco...” Pak Krisna duduk dihadapanku setelah temannya pamit.
“Tidak apa-apa...” aku terkikik geli saat membayangkan ekspresinya tadi, “memang usia Bapak berapa sih?”
“Aku? 45...”
“Apa...uhuk, uhuk...” aku tersedak oleh air liurku sendiri. Setua itu kah? Tapi kenapa wajahnya tidak telihat setua itu? Aku berdiri dan menundukkan badanku, “maafkan kelancangan saya...”
“Apa-apaan sih...” ia tertawa sebelum mengacak rambutku pelan dan menyuruhku kembali duduk, “bener-bener deh temenku bikin kacau...”
“Memang Bapak berniat menggoda saya dengan berbohong tentang umur Bapak?” aku menatapnya tajam. Sialan, hatiku sempat berdesir saat dia mengacak rambutku tadi. Ah, ini bukan pertanda baik.
“Nggak lah, emang orang sepertimu bisa digoda oleh bapak-bapak anak satu?” tanyanya balik.
Oh anaknya satu.
“Memang Bapak pikir saya orang seperti apa?”
“Ehm, kau beda, aneh dan yang jelas kau bukan orang yang gampang baper”, jawabannya membuatku menyeritkan dahi.
“Iya sih, tapi Bapak tahu nggak, Bapak terlalu santai...” protesku.
“Aku bukan orang kantoran Nara, dan kau juga bukan kan? Kita sama-sama orang lapangan, santai saja, yang serius-serius banyak...” dia tersenyum saat pesanannya datang dan mulai melahap habis pesanannya.
Aku mengangkat bahuku pelan, yah terserahlah. Setidaknya aku punya teman yang bisa dan gampang di ajak untuk mengobrol bersama.
Next...
Nb: ada yang tahu tempat makan yang biasa di sebut angkringan?
@renicaryadi terimakasih, ini ada skuelnya, Kinara saat remaja, namun masih ongoing. Iyaaa. masih ditnnggu kelanjutan storynya. Semangat
Comment on chapter Prolog ; My Biggest Question