“Lexi...” aku memanggil Lexi sambil menelungkupkan wajahku di atas counter panjang tempatnya biasa membuat kopi.
“Kau kenapa sih Dek? Capek? Sudah lama aku nggak ngelihat kamu main ke sini...” Lexi keluar dari balik counter dan duduk di sampingku. Seperti biasa tangannya menyentuh kepalaku dan merapikan rambutku yang mencuat berantakan.
Kafe Weldenvarden sepi pengunjung, masih jam 2, satu jam setelah kafe di buka. Lexi adalah pemilik kafe sekaligus barista di sana. Aku sudah mengenalnya kurang lebih delapan tahun saat aku lulus sekolah menengah dan merayakan kelulusan kami di kafe yang kebetulan baru buka. Kafe Weldenvarden sangat unik. Dari depan kafe ini terlihat sangat kecil, namun prakteknya kafe ini sangat luas sekali. Totalnya ada empat lantai. Jika kalian tahu model sawah terasiring, kafe ini di desain seperti itu, dua lantai di muka utama sedangkan dua lantai ada di bawah yang menghadap langsung ke pemandangan sejuk pengunungan dan juga kota. Kafe ini hampir tersembunyi di antara lebatnya pohon pinus yang tumbuh di sekeliling bangunan. Tapi jangan salah, kafe ini tidak pernah sepi pengunjung, sangat ramai malah. Dan pemilihan namanya ini karena si pemilik kafe sangat tergila-gila oleh serial Eragon karya Christopher Paolini dimana Weldenvarden adalah ibu kota negeri elf. Aneh-aneh saja Lexi ini, dia pikir dia peri hutan?
Aku menoleh menatap laki-laki campuran jawa dan tionghoa ini, kulitnya putih, rambutnya lurus dan diikat model ekor kuda karena sedikit panjang, dan matanya cokelat terang. Mata yang bisa membuat wanita hanyut kedalamnya. Tidak bisa dipungkiri dia memang tampan, ditambah lagi tinggi dan juga bentuk tubuhnya yang proposional. Aku yakin tidak semua pengunjung kafe ini datang karena kopinya yang enak tapi juga karena ketampanannya.
“Kau tindikan!” aku menyadari sesuatu yang berbeda darinya. Tanpa aku sadari tanganku sudah menyentuh telinga kirinya. Mengusap anting panjang yang jatuh berkilauan mengiasi telinganya dan sebuah tindik kecil putih sejajar di belakannya., “kenapa dua sekaligus? Cuma sisi sebelah kiri lagi?”
“Kalau kanan-kiri nanti dikira cewek, Nara” Lexi meraih tanganku yang meraba telinganya dan menggenggamnya.
“Kenapa tindikan?”aku menatapnya, meminta penjelasan. Jujur, walau anting itu cocok untuknya tapi aku tidak terlalu suka laki-laki yang tindikan. Tapi kenapa aku tidak suka? Biasanya aku tidak menilai orang dari penampilannya, namun beda dengan Lexi. Ia berbeda, membuatku selalu ini mencercanya, “kau ingin terlihat seperti oppa-oppa korea dan menarik banyak pelanggan wanita ya?”
“Enak aja!” dia mencubit pipiku, membuatku merengek kesakitan.
“Terus kenapa?”
“Nothing special...” jawabnya. Membuatku memanyunkan bibirku sebal, “kau kenapa jarang ke sini?”
“Ahhh, kau tau nggak Lex?”
“Nggak...”
“Ah...” aku menggeram sebal setiap kali dia melakukannya.
“Iya, iya.. kenapa aku nggak tahu...” dan begitu pahamnya dia denganku sehingga ia sering sekali menggodaku, “kenapa? Ada masalah terkait perjalanan ke Bima?”
“Itu dia, aku nggak jadi ke Bima...” Lexi memandangku terkejut, dia tahu rencana penelitan dan tesisku karena aku sering sekali nongkrong di kafe ini sambil mengerjakan tugas dan laporan kuliahku. Bisa dikatakan cafe ini adalah rumah keduaku, “Pak Jamil memintaku untuk pindah lokasi sekaligus dinas di Jogja. Dia butuh tim teknis untuk proyek dan karena tesisiku ternyata cocok, aku di suruh untuk penelitian di sini. Merapi...”
“Bagus dong, nggak perlu jauh-jauh, malah satu kali dayung dua pulau terarungi...” jawabnya membesarkan hatiku.
“Iya sih, makannya akhir-akhir ini aku sibuk mondar-mandir, nggak sempet mampir sini...”
“Jadi hari ini kosong?”
“Kukosongkan tepatnya, aku ingin retreat dulu di sini...” aku mulai memindai menu apa yang akan pesan.
“Gimana kalau nemenin aku ke supermarket sebentar? Ada beberapa sayur dan bumbu yang habis...” tawaran Lexi membuatku berdiri.
“Tunggu apa lagi?” aku sudah melangkah ke arah mobilku yang terpakir di luar, "ayo!"
----
Side story 1; Lexi
Aku menepuk dahiku pelan. Apa benar dia sudah 27 tahun? Bagaimana bisa wanita yang berumur lebih dari seperempat abad masih sibuk mengambil berbagai macam camilan dan menaruhnya di keranjang belajaan?
“Kak Lexi, beliin ini ya, baru nih. Aku belum pernah minum...” aku hanya mengangguk setuju. Terhipnotis oleh kepolosan anak 17 tahun yang bersembunyi di dalam tubuhnya yang sudah 27 tahun itu.
“Kau hanya memanggiku kakak kalau ada maunya loh Nara?” aku menarik lengannya yang hendak mengambil barang lain di konter camilan.
“Ya, besok-besok aku akan seperti itu lagi...”
“Kayak pernah terjadi aja”, gadis itu hanya tersenyum, membuatku mengalihkan pandangan dan mengandeng tangannya, menyeretnya ke kasir. Menyudai sesi belanja ini.
“Terimaksih Kakak...”
“Kenapa masih memanggilku, Kakak? Seram tau...” aku mengikuti tatapan matanya yang melihat ke arah telinga kiriku.
“Baiklah aku akan melepasnya nanti...” aku membuka bagasi mobil dan meletakkan semua belanjaan ke dalamnya.
“Aku tidak pernah menyuruhmu melepasnya”, ia kini beralih menatap mataku tanpa gentar, membuatku tersedot ke dalam lingkaran hitam kehidupannya itu, “entah kenapa kau terlihat cocok memakainya, cantik...” bisiknya pelan.
“Kau mau? Tapi cuma ada satu di rumah...” belum sempat aku menjawab gadis itu sudah mengangguk cepat.
“Oh ternyata kau hanya menginginkan antingku, tidak benar-benar memujiku...”
“Tidak... kau tampan Lex, serius...”
“Ya, ya, ya... pakai sabuk pengamanmu sebelum aku mengikatnya dan kau tak bisa bergerak lagi...”
Tanganku tak kuasa untuk tidak menyentuh kepalanya. Sial, kenapa gadis itu diam saja sih. Protes kek!
to be cotinue...
@renicaryadi terimakasih, ini ada skuelnya, Kinara saat remaja, namun masih ongoing. Iyaaa. masih ditnnggu kelanjutan storynya. Semangat
Comment on chapter Prolog ; My Biggest Question