1. Aditya Anarghya
Matahari tak ada ampun memberikan panas siang ini. Peluh yang mulai longsor di kening membuat gadis itu berulang kali menyeka dengan punggung tangannya padahal kali ini ia sedang berada di dalam ruangan ber-AC.
Koperasi sekolah memang mendadak bisa lebih ramai daripada kantin di rooftop pada saat minggu awal tahun ajaran baru di mulai. Pemesanan seragam yang sekaligus sudah diberi bordiran nama masing-masing siswa sudah menanti untuk di bawa pulang oleh empunya yang sudah menebus harga yang ditentukan.
Dengan embusan napas kesal, gadis itu akhirnya memilih untuk keluar dari antrian pengap dan duduk di bawah pohon beringin tak jauh dari koperasi. Seseorang yang sedari tadi sudah memperhatikannya pun ikut untuk duduk di samping gadis berponi rata yang sedang memegang majalah SMAN Insan Cendekia dua bulan lalu.
Embusan angin dari sibakkan kertas majalah tentu tidak terlalu banyak berpengaruh untuknya. Hanya saja dedaunan beringin yang sedang gencar-gencarnya mengeluarkan gas oksigen cukup membantu gadis itu bernapas lebih leluasa.
"Panas, ya?"
Suara bass di samping gadis itu membuat kepakan majalah terhenti sejenak. Wulan mengedarkan pandangannya dan menemukan sesosok siswa yang ia kira memiliki aliran darah Arab itu sedang ikut merasakan oksigen dari beringin bersama.
Wulan terdiam, tak ada niat sama sekali untuk menjawab sebuah pertanyaan retoris dari pemuda yang bajunya sudah keluar dari celana, dasi abu-abu entah terbang kemana, dan rambut yang mungkin terlupa untuk pemuda itu cukur selama liburan panjang.
Dan ya, sepatu converse yang Wulan tak tahu keluaran tahun berapa dan entah berapa dekade tak dicuci itu. Buluk.
"Mau beli seragam ya? Saya juga,"
"Sekaligus mau beli dasi, liburan kemarin saya lupa taruh dimana. Untung aja hari Senin kemarin ngga ada upacara."
Alis Wulan terangkat sedikit, dia curhat colongan?
"Kalau tahu gini mending ke kantin pesen ice lemon tea, di koperasi udah pake AC masih aja panas."
"Tapi babeh nyuruh buat bayar hari ini, jadi apalah dayaku.."
Wulan membisu, membiarkan pemuda kurus berkulit hitam manis itu bermonolog ria.
"Kamu mau ikut ke kantin bareng saya?"
Wulan menoleh sedikit dan menemukan pemuda itu tersenyum sambil memamerkan lesung sekaligus gingsulnya.
"Kamu mau ikut?" tanyanya sekali lagi sebelum benar-benar meninggalkan Wulan sendiri di sini.
"Ngga" jawab Wulan pelan, tapi tak ada keraguan yang terdengar dari satu katanya. Lagian, dia ini siapa sih?
"Ya udah, saya di sini aja bareng kamu."
π
"Atas nama Ayunda Wulandari, bu.."
"Ukuran?"
"L"
"Bentar saya cari dulu ya.."
Wulan mengangguk, dirinya kini sudah berada di depan etalase yang ada di koperasi setelah setengah jam dia hanya mendengarkan suara dari pemuda yang entah siapa yang tiba-tiba berani duduk di sampingnya tanpa izin.
Untung saja hari ini masih hari bebas pelajaran karena pihak guru dan OSIS pun masih sibuk mengurusi masa orientasi calon siswa baru. Jadi sah-sah saja jika dia lebih memilih berada di luar kelas daripada harus berkutat dengan buku materi baru kelas sebelas.
"Ayunda Wulandari?" matanya sedikit berbinar saat satu plastik berisi baju seragam baru mendarat di hadapannya. Hanya saja yang membuat ia sedikit kurang suka adalah batiknya yang berwarna merah tua, jadi mirip dengan batik yang biasa Bunda gunakan saat pergi ke universitas.
"Kok warnanya merah tua bu?" tanyanya sedikit tak suka. Ibu koperasi hanya tersenyum samar, "Sudah persetujuan dari pihak guru."
Bahunya sedikit menurun, dengan gerakan cukup lemas ia mengulurkan dua lembar uang ratusan ribu.
"Ada uang pas?" tanya bu koperasi. Wulan menggeleng.
"Dasi 1 sama kaos kaki 1. Bayar pake uang Ayunda ya, bu.."
Wulan mendelik pada pemuda aneh itu. Tapi ia justru malah tampak tenang dengan kedua tangan ia masukkan ke dalam saku celana dan pipinya memamerkan lesung pipi.
"Nanti saya ganti, tenang aja." ucapnya. Wulan mendecih.
Kok dia ada di sini sih?
Tangan Wulan segera meraih bungkusan yang ada di atas kaca etalase dan berniat segera meninggalkan koperasi itu.
Dia siapa sih? Sok kenal banget!
"Ayunda!" panggil pemuda itu, tapi Wulan tak menggubrisnya. Ia masih saja melangkah cepat. Bodo amat dengan uang jajan tiga harinya itu..
"Ayunda!"
"Wulan."
Wulan menginterupsi, ia memang terbiasa dipanggil Wulan daripada Ayunda. Dan panggilan dari pemuda aneh itu membuat Wulan geram setengah wafat hingga ia menghentikan aksi langkah cepatnya.
"Namamu Ayunda Wulandari, kan?" pandangan Wulan menyipit, memandang pemuda aneh itu tanpa minat.
"Saya salah jika memanggil kamu Ayunda?" Wulan memutar bola matanya malas.
"Kamu siapa sih?"
"Nah, dari itu saya juga ingin kenal sama kamu. Tak kenal maka tak sayang, yang udah kenal aja kadang ngga sayang- sayang. Kalo udah sayang nanti di--"
"Waktuku keburu abis gara-gara kamu." potong Wulan cepat membuat pemuda itu tersenyum kikuk.
Tangannya terulur berniat berjabat tangan dengan Wulan, tapi gadis itu bergeming. Tidak mengulurkan jari jemarinya sama sekali.
"Jangan sok akrab."
"Siapa tahu abis ini kita akrab?"
Wulan sudah malas. Ditinggalkannya pemuda itu yang masih berdiri di tempatnya.
"Uang kamu nanti gimana?"
Suara cukup lantang dari pemuda itu membuat langkah Wulan terhenti kembali.
Tiga puluh ribu, lumayan untuk beli kuota satu bulan.
Ia membalikkan badan dan melihat si aneh itu berlari mendekatinya.
"Aditya Anarghya, kalo diartikan Matahari yang tak ternilai" ucap pemuda aneh itu sebagai perkenalan diri. Wulan diam saja, apa untungnya baginya?
Tidak ada.
"Saya ngga bawa uang pas, nanti aja ya kalo pulang. Kamu ke kelas saya aja, 11 MIPA 1. Deket kok. Kamu MIPA 4 kan?"
Wulan melongo. Skenario drama macam apa ini?
Tanpa ampun, Wulan meninggalkan kembali pemuda yang mengaku dirinya 'Matahari tak ternilai' itu.
Aditya tersenyum lebar. Semakin jauh Wulan, semakin semangat juga ia mengejarnya.
Budak Cinta memang begitu.
π
Bel tanda pulang sekolah yang berbunyi sejak lima menit lalu membuat tempat parkir seketika ramai. Para murid berseragam putih abu-abu berbondong-bondong mengeluarkan kendaraannya dan membuat suara hening di sekolah itu berubah menjadu cukup bising sebab deru motor beragam merk itu.
Aditya mendecak menunggu Bobi dan Miko menggeledah kolong meja di kelas sebelah.
"Pulpen seribu juga dapet kali. Udah kaya ngga mampu beli aja!"
"Sorry ya,Dit.. Kita mah elite, pilihnya yang hi-tech." ujar Miko masih mencari pulpen gel seharga lebih dari lima belas ribu di kolong meja.
"Lumayan duitnya bisa buat ngemil mie ayam kali." jawab Bobi sekenanya tanpa melihat raut wajah bosan Aditya yang bersandar di daun pintu kelas XI MIPA 2.
Aditya mencibir, nyolong pulpen mahal itu elite ya?
Berulang kali ia mengembuskan napas kesal walau sesekali ia mengumbar senyum saat ada calon adik kelas lewat di hadapannya sambil berbisik pada teman-temannya dengan binar wajah khas degem bertemu kakak kelas ganteng.
Ngomong-ngomong, Aditya itu ganteng. Tapi akunya sendiri saat dihadapan cermin.
Bosan menunggu kedua sobatnya, Aditya memutuskan berjalan ke kelas 11 MIPA 4, kali saja bidadarinya belum pulang. Dan lagi-lagi kedua sudut bibirnya tertarik melihat Ayunda-nya masih memegang sapu bersama salah satu temannya, Riana.
"Oi, Rihanna. How are you today?" sapa Aditya dari pintu kelas MIPA 4 yang terbuka lebar.
"Apa sih, Dit! Gaje!!"
"Kan aku cuma nanya kabar Rihanna."
"Riana, Dit! Udah berapa kali bilang sih?"
"Kan biar terkenal kaya Rihanna itu lho. Kamu mah ngga paham."
Wulan hanya melirik sekilas pemuda aneh yang sudah dengan tanpa malu berdiri di depan pintu dengan sepatu converse buluk dan dengan tangan bersedekap seolah sedang mem-boss-i mereka piket.
"Kamu kenal orang aneh ini?"
Riana mengangguk menjawab bisikan dari Wulan.
"Aditya, cecunguk dari kelas 10 MIPA 3. Sekelas dulu." ucapnya pelan. Semoga saja Aditya tidak mendengarkan keduanya sedang membicarakannya.
"Pulang sana!" usir Riana pada Aditya. Aditya hanya diam, cuek saja. Malah menguatkan niatnya untuk menunggu Ayunda-nya pulang.
"Neng Rihanna jangan gitu dong sama Aa Aditya, Aa Aditya ngga mau ganggu Neng Rihanna kok."
"Terus?"
"Nunggu sayang Ayunda pulang."
"Mati aja sana!" wajah Wulan memerah. Dia siapa sih panggil sayang-sayang?
Candra saja yang kembarannya tidak pernah memanggilnya sayang, minjem duit pengecualian.
"Ngga kok, nggak. Becanda doang." Aditya cengengesan saat gagang sapu Wulan tiba-tiba terangkat seakan ingin melayangkannya ke kepala hitam Aditya.
Suara sapu yang seperti terlempar membuat Aditya terperanjat. Ternyata Riana yang mulai panas ingin mengenyahkan makhluk kardus semacam Aditya.
"Pulang yuk, Lan! Robot kerdus aja lebih elite daripada Aditya!"
"Kok Rihanna sih yang sewot, Aditya kan ngga ngapa-ngapain?"
"Bodo!"
Dengan bringas, Riana langsung menarik tangan Wulan untuk segera meninggalkan kelas mereka. Wulan awalnya tertarik pasrah tapi teringat hari ini dia membonceng Candra.
"Bentar, Na. Aku nebeng Candra, ngga papa ya kamu ke parkiran sendiri? Kayanya Candra masih di kelas deh." ucap Wulan merasa sedikit tidak enak pada Riana.
Riana mengangguk paham, "Ngga papa. Asal hati-hati aja sama si kerdus itu!" jawab Riana tak ketinggalan dengan lirikan sadis miliknya untuk Aditya.
Wulan tersenyum mengambang, dan melambaikan tangan pada Riana yang sudah dulu menuruni anak tangga.
"Nunggu saya ya?"
Aditya melangkah pelan mendekat pada Ayunda-nya yang berjalan mendekat ke kelas 11 MIPA 1. Merasa pertanyaannya tidak digubris ia berusaha mensejajarkan langkahnya dengan Wulan.
"Kelas MIPA 1 udah kosong. Kamu mau cari siapa?"
"Bukan urusan kamu."
Wulan tetap melangkah cepat berusaha menjauh dari manusia kerdus semacam Aditya. Tapi ia perempuan, sudah jelas langkahnya kalah lebar dengan langkah Aditya si jangkung itu.
"Kan saya sudah bilang kalo kelas MIPA 1 udah kosong."
Risih, Wulan segera berbalik arah dan menatap manik Aditya tepat.
"Kamu siapa? Mulut kamu bisa diem ngga sih? Bawel banget dari tadi."
Bukannya merasa bersalah, Aditya justru tersenyum lebar, "Tadi siang saya udah kenalan kan? Nama saya Aditya Anarghya artinya Matahari yang tak ternilai. Panggilannya Aditya, Ditya juga boleh, apalagi kalo dipanggil sayang sama Ayunda, boleh banget."
"Dasar aneh!"
"Kalo ngga aneh bukan Aditya."
"Terserah!"
πππ
@AriSetya006 sip.. semangat ya..
Comment on chapter 1. Aditya Anarghyaceritmau menarik, mmpir juga k story Guruku "Bagus" ya...