“Archie, kamu mengerti?”
Aku tersentak oleh suara itu. Ketika pandanganku keluar dari kegelapan, aku mendapati wajah Pak Abimana. Ia menatap dengan mata melotot. Tidak, dia tidak marah, matanya memang selalu menatap dengan selebar itu.
Tatapanku kemudian beralih ke arah papan putih yang penuh coretan spidol merah tepat di belakang Pak Abimana. Aku mengerutkan dahi dan menggeleng polos. “Nggak, Pak.”
“Ya, sudah. Nanti diulangi lagi,” ujar pria itu.
Aku mengangguk. Sial! Sepertinya aku ketiduran!
“Kita lanjutkan ke bagian proses tutup buku setiap akhir bulan dan tahun,” Pak Abimana berkata.
Pria bertubuh jangkung yang berdiri di samping papan tulis itu sedang menjelaskan mengenai cara kerja sebuah program komputer yang telah dibuat oleh para IT bawahannya. Pak Abimana namanya, ia mengepalai departemen yang berisikan para staf IT perusahaan kami.
“Setelah dilakukan penjurnalan pada program, berikutnya....”
Aku berusaha fokus kembali pada rapat siang ini yang sedang membahas mengenai update sebuah program komputer yang akan digunakan untuk pelaporan segala macam pekerjaan di perusahaan kami, mulai dari pendataan karyawan, barang, pekerjaan di lapangan, hingga transaksi keuangan. Aku masih berusaha fokus meski mataku teramat berat dan kepalaku berdenyut-denyut, akibat tidak tidur semalaman.
Udara di dalam ruang rapat terasa amat sejuk saat itu, pendingin udaranya menyebarkan dingin seolah sedang di musim salju. Sangat nyaman bersandar di kursi ruang rapat yang empuk, memejamkan mata, lalu melupakan segalanya.
Dan, aku tidak ingat bagaimana dan kapan aku terlelap kembali.
__
Takhh!
Sebuah hentakan di mejaku membuatku kembali membuka mata dan kudapati tubuh yang tinggi berdiri menjulang di samping mejaku.
Oh, tidak! Habislah aku kali ini! Apa yang terjadi? Apa Pak Abimana melihatku ketiduran saat rapat? Apa dia akan marah?
Pak Abimana menatapku sekilas, lalu menatap ke arah rekan-rekan lain yang berada di dalam ruang rapat.
“Semalam, siapa saja yang lembur di kantor?” Pak Abimana bertanya.
Aku menggigit lidah. Jangan bodoh! Jangan bicara atau dia akan mengomel karena memberi alasan lembur untuk tidur saat rapat.
Tidak ada seorang staf pun yang bersuara menjawab.
“Semalam, saya ke kantor,” lanjut Pak Abimana. “Saya sedang flu. Jadi, saya tertidur di ruang kantor. Begitu saya bangun...,” ia berhenti sejenak dan memegang dahinya. “Ada kompres di kepala saya,” lanjutnya kembali. “Saya ingin berterima kasih kepada siapa pun karyawan yang sudah berbaik hati itu. Dan ada yang ingin saya kembalikan....”
“Saya!” Suara seorang gadis terdengar, membuat semua kepala di ruang rapat tertoleh padanya.
“Saya lembur tadi malam, Pak,” gadis itu berkata. Dia Kara. Dia adalah salah satu fans Pak Abimana.
Meskipun Pak Abimana sering bersikap dingin hingga terkesan galak, namun ia tetap memiliki wajah tampan dan otak yang cerdas. Dan setiap hari semakin banyak gadis yang menyukainya semenjak tersebar kabar bahwa ia adalah putra dari salah seorang pemilik usaha perhotelan dan resort terbesar di Indonesia.
“Kamu?” Pak Abimana bertanya kepada Kara.
Kara mengangguk. “Ya. Saya yang... meminjamkan kain kompres itu,” ujarnya dengan senyuman malu-malu.
“Oh.” Pak Abimana mengangguk. “Terima kasih, Kara.” Ia merogoh saku celananya, mengeluarkan sesuatu. “Oh, ya. Ada yang mau saya kembalikan. Sepertinya kamu menjatuhkannya semalam.”
Senyuman malu-malu Kara seketika berubah menjadi seulas senyum kaku di wajah merah padam ketika ia melihat apa yang diletakkan Pak Abimana di meja, di tengah-tengah semua orang yang mengelilingi meja rapat itu.
Sebuah celana dalam motif Leopard berwarna merah muda dan hitam.
Kara ternganga di tempatnya tak bersuara lagi. Dia terlalu malu untuk berkata-kata, sepertinya.
Aku nyaris tertawa sekencang-kencangnya jika aku tidak melihat Pak Abimana di sebelahku.
“Rapat kita lanjutkan setelah makan siang.” Suara Pak Abimana memecah hening. “Dan, saya harap saat itu tidak ada yang akan menganggap suara saya sebagai lagu nina bobok.” Ia menyindirku. Kemudian ia menutup percakapannya dengan ucapan selamat siang, dan ia pun pergi meninggalkan ruangan rapat.
Semua staf yang mengelilingi meja rapat persegi panjang itu bisa menghela. Beberapa tertawa kencang sembari menatapku dan Kara. Beberapa langsung pergi untuk makan siang.
Dan, aku tidak mau lebih lama lagi berada di ruangan yang memalukanku itu.
***
ceritamu unik dan lucu juga keren anti mainstream ngakak pas baru baca deskripsinya.
Comment on chapter SatuOh ya kamu juga boleh lho kasih saran dan kritik di cerita aku, judulnya When he gone. aku tunggu ya trims