Malam itu, Raka Rivano terpaku, memegangi jeruji besi bercat putih yang tertutup rapat. Ia menengok jam di ponselnya. Sepuluh menit lagi tepat pukul 11 malam.
Ini adalah pertamakalinya ia memberanikan diri. Mendatangi tempat yang sangat ia benci. Tempat yang selalu membuat hatinya bergetar, napasnya menyesak, tubuhnya berkeringat dingin.
Tapi kali ini, kemarahan membuat tekadnya bulat.
“Ngapain ke sini?” tanya seseorang yang baru saja ke luar dari pintu depan. Melihat wajahnya saja Raka sudah sangat muak, apalagi melihatnya berjalan menuju dirinya.
“Bikin ulah lagi, ya, kaya biasanya?” tanya cowok itu, ekspresinya dingin. Dipenuhi kebencian.
“j***k!”
Cowok di hadapan Raka itu terkejut saat sebuah benda keras menghantam wajahnya. Ia masih bisa merasakan sakit di wajah saat melihat dompet hitam itu jatuh ke tanah.
“Rasain! Kenapa emangnya? Aku yang nyuri kemarin, puas?” geram Raka. Meski suaranya nggak terlalu keras, suara itu bisa membuat siapa pun ketakutan mendengarnya.
“Puas, hah? Udah puas? Ternyata umur aja ya yang udah tua, mental ciprit. Nggak punya otak? Nggak bisa mikir pake logika sampe bisa nyakitin cewek separah itu?”
Dari balik jeruji gerbang, Raka mengacungkan telunjuknya yang bergetar dipenuhi amarah. Tepat ke lelaki yang membalasnya dengan tatapan menghujam. Penuh kebencian, sama seperti yang dirasakannya.
“Kalau sampai Nina Amalia Putri gagal masuk ke perusahaan ini gara-gara kamu, sumpah aku bakal hancurin raimu iku.”
***
Melihat cowok yang dulu menjadi nightmare-nya itu, kaki Nina langsung terasa berat. Hatinya mencelos. Padahal tadinya ia sudah berharap banget nggak bakal dipertemukan sama Reza. Tapi ternyata...ia malah diperintah untuk bekerja bersamanya.
Reza, sang editor Starlit itu, benar-benar sesuai dengan ingatan Nina. Mata yang tajam, bibir yang selalu terkatup rapat, dan ekspresi wajah yang seolah selalu kesal.
Saat Bos Arman menitipkan Nina ke Reza, cowok itu bahkan nggak bereaksi apa-apa. Ia tetap terfokus pada komputernya, mengetik dengan kecepatan mencengangkan.
Nina nggak berani angkat bicara. Keheningan mencekam di ruangan itu hanya dipecahkan oleh suara ketikan keyboard yang menggema. Serius, apa Nina benar-benar harus kerja di tempat ini sendirian? Bersama seseorang yang sama sekali nggak menganggap dirinya ada?
Tepat saat memikirkan itu, terdengar derik keras kursi saat Reza bangkit. Cowok itu kemudian mengambil sebuah buku tebal dari bawah mejanya. Lalu menghempaskannya di depan Nina, membuat ujung-ujung jarinya yang terletak di atas meja sedikit tertimpa.
“Baca. Satu jam. Harus selesai. Setelah itu langsung praktik.”
Nina merasakan sakit di ujung-ujung jari dan juga hatinya. Ia sempat berpikir ingin berteriak, marah, lalu ke luar dari tempat ini selamanya.
Tapi...apa kata ibunya kalau tiba-tiba ia pulang ke rumah?
“Nggak usah nangis, kalo kamu cengeng berarti mentalmu belum siap buat kerja. Pulang sana kalau nggak terima.”
Nina yang tadinya menunduk, mengerling Reza. Ada senyum sinis di sudut bibirnya, dan matanya menyipit jahat.
Melihat itu, Nina yang tadinya memang hampir nangis jadi merasa kesal. Benar-benar kesal.
“Saya nggak bakal ke luar kalau pekerjaan saya bagus, kak. Dan saya bakal membuktikan kalau saya mampu bertahan di perusahaan ini.”
***
Hari pertama Nina di Starlit berakhir tanpa arti. Sampai jam kerjanya berakhir, nggak ada yang dilakukannya selain baca buku panduan content writing tadi.
Tapi seenggaknya, dia sekarang paham apa saja yang harus dilakukannya saat aktif kerja besok. Apa saja teknik yang harus digunakan, jenis-jenis tulisan yang biasa dipesan klien, dan banyak lagi. Meski ada istilah-istilah seperti optimasi, keyword, dan lain-lain yang belum dipahami, Nina merasa setelah praktik dia pasti bisa.
“Woiii...Nina…sini!”
Saat Nina pergi ke kantin siang itu, ia bertemu Raka yang sedang nongkrong bersama teman-temannya. Anehnya, di antara gerombolan cowok itu, ada seorang cewek manis berambut panjang yang duduk tepat di samping Raka.
“Itu...pacarnya Raka yang waktu itu nggak, sih?” bisik Oliv. Entah kenapa, pertanyaan itu membuat Nina merasa terganggu.
“Nggak tahu, ya kali.”
Tadinya Nina mau mengucapkan terimakasih ke Raka. Dia nggak lupa kok, sama apa yang udah dilakukan cowok itu ke dia. Meski nggak yakin, Nina menduga Raka yang paling berjasa membuat dia diterima kerja di tempat sekarang/
Tapi melihat Raka bersama seorang cewek seperti itu, niat Nina jadi urung. Rasa sebal yang dulu sempat hilang muncul lagi.
Buat apa sih, Raka menggoda Nina saat dia lagi sama cewek lain? Apa Raka pikir Nina bakal tergoda sama cowok yang digadang-gadang jadi playboy paling legendaris SMA Naraya? Cara berpikir cowok itu sebenarnya gimana sih?!
“Ayo, cari kursi yang jauh aja.” ajak Nina, setelah dia dan Oliv memesan seporsi setengah mie ayam dalam satu mangkok.
Kedua cewek itu mengambil meja terjauh dari tempat Raka dkk. Tapi tetap aja, suara Raka dan teman-temannya yang sama-sama gila masih membahana.
“Nin, ini Raka sama cewek cantik lho!” salah satu teman Raka menyeru.
“Ditembak sama Raka kok nggak mau, ini Raka Rivano lho, calon artis beken!”
“Subscribers The Seeds sekarang udah berapa bro? 15K?”
Nina berusaha tetap fokus ke mie ayam yang dibaginya dengan Oliv. Meski gerah, dia nggak mau mengundang perhatian satu kantin dengan menyahut kalimat-kalimat nggak jelas itu.
Tapi kemudian Raka bicara,
“Wes...wes nggak usah rame ae to, rek. Cinta itu ada batasnya, kalau kita udah berusaha keras, berkorban, tapi nggak ada perubahan, itu berarti dia emang nggak pantas diperjuangkan, betul tidak?”
“Betuul!”
“Berarti sebagai cowok, kita harus cari lagi yang benar-benar bisa mencintai kita, betul tidak?”
“Betullll, Pak Ustadz!”
***
Nina terus kepikiran ancaman Raka sampai ia tiba di rumah. Ia memang nggak punya perasaan apa-apa ke Raka (Ya, nggak boleh! Aku nggak boleh mikir yang aneh-aneh! Buang semua rasa aneh yang kemarin mengganggu hatimu, Nina!). Tapi mendengar kata-kata Raka di kantin tadi, Nina merasa cowok itu sengaja membuat perasaannya tidak enak dengan menyindirnya.
Sesampainya di rumah, Nina langsung merebahkan diri sejenak. Lima belas menit lagi ia harus sudah bangun, menyiapkan makan sore untuk ibunya yang akan pulang kerja.
Tapi baru saja rebahan, ponsel Nina berdering.
Di layar ponselnya yang jadul, ia melihat nomor tidak dikenal mengiriminya pesan.
Tugas tadi malam ke mana? Langsung kirim ke aku SEKARANG. Segera ditunggu klien.
Tugas? Tugas apa? Menyadari SMS ini dikirim dari Starlit. Nina mulai panik.
Tugas...tugas apa? Bukannya dari kemarin ia cuma disuruh baca buku selama berjam-jam?
***
@elham udah dong om udah updet. Makasih ya udah nungguin. Lagi sakit gigi haha