Nina mengikuti orang yang mengaku editornya Starlit itu. Bingung harus mempercayainya atau tidak.
Dari penampilannya, cowok ini masih muda, mungkin usianya masih 20-an. Tubuhnya yang tinggi kurus dibalut jumper berwarna army green. Ekspresi wajahnya sangat serius, sampai-sampai kedua alisnya nyaris bersambung. Bagaimana pun galaknya, Nina tetap yakin ia pernah melihat wajah itu. Tapi entah di mana.
Reza mendorong gerbang rumah yang tadi ditinggalkan Nina. Lalu memencet tombol yang ada di pilar dalam gerbang. Saat itulah, muncul sebuah lampu terang bertuliskan kata “Starlit” di papan besar atas pagar.
Nina melongo.
Bagaimana bisa ia gagal memerhatikan tulisan sebesar ini?
“Tunggu di kursi itu.” Reza menunjuk meja kursi besi yang terletak di teras.
“Maaf kak sebelumnya, saya boleh izin sholat?” ucap Nina segera, tepat saat Reza membuka pintu depan Starlit.
“Pencuri sholat juga?” tanyanya, lalu menutup pintu dengan keras.
Butuh waktu bagi Nina untuk memproses pertanyaan bernada retoris itu. Perasaannya mulai tidak enak. Apalagi hingga jam segini, tidak ada orang lain lagi yang datang setelahnya.
Pulang…nggak…pulang…nggak…pulang…Nina galau membuat keputusan. Tapi mengikuti kata hatinya, Nina memutuskan untuk mampir dulu ke mushola terdekat.
“Ya Allah, jangan digagalin ya.”
***
Sepuluh menit ditinggal pergi, eh malah menghilang.
Begitu melihat meja depan teras yang kosong, Reza langsung yakin dugaannya benar.
Cewek itulah pelakunya. Entah di mana atau bagaimana mereka bertemu, tapi cewek itulah yang telah mencuri dompetnya sekitar sebulan lalu.
Pamflet yang dipegangnya inilah bukti utamanya. Sebab di seluruh dunia, hanya ada satu pamflet semacam ini. Karena meski bosnya sudah menyuruh Reza menggandakan dan menyebarkan pamflet loker ini, ia tidak pernah sekali pun melakukannya.
Alih-alih menggandakan, Reza malah mencoret-coret bagian belakang pamflet ini. Menyimpannya di dalam dompet. Sampai suatu hari dompetnya tiba-tiba lenyap tanpa jejak. Termasuk juga KTP, SIM, Kartu BPJS, dan gaji yang baru didapatnya dari beberapa project bulan lalu.
“Dasar maling.” umpat Reza sekali lagi.
Tepat setelah itu, gerbang Starlit kembali terbuka. Maling yang ditunggu-tunggu Reza kembali.
“Maaf kak, tadi saya izin sholat sebentar.”
Cewek itu bicara dengan suara lembut nan lugu. Dengan kikuk, dia memarkir sepeda motornya di dekat gerbang. Lalu berjalan tergesa-gesa ke arah Reza.
Andai dia bukan pencuri, pasti cewek ini akan membuat Reza simpati.
Tapi dia pencuri. Ya, pencuri barang-barang berharganya.
Dan malam ini, Reza akan merebut semua hal yang menjadi miliknya.
“Silakan duduk.” sergahnya.
Reza menghela napas dalam berulang kali, teringat semua barangnya yang sudah hilang. Tapi ia tidak boleh langsung marah.
“Atas nama?”
“Nina Amalia Putri.” jawab Nina cepat-cepat, dari tadi ia sudah nervous. Tapi melihat sorotan mata tajam orang galak itu, nervousnya naik level lagi.
“Namanya biasa ya,” komentar Reza.
“Kalau boleh tahu, dapat info loker ini dari mana?”
“Dari temen kak.”
“Serius dari temen?” nada bicara Reza naik setengah oktaf.
“Iya kak, jadi ada temen sekolah saya yang saudaranya pemilik sini. Terus saya dikasih ini.” jawab Nina, keringat dingin mengucur keras di punggungnya.
“Saudara? Siapa namanya?”
Nina terhenyak, menyadari sesuatu. Siapa tahu kalau cowok bernama Reza di depannya ini adalah pemilik Starlit, dan Noval hanya berbohong?
“Namanya Noval kak, teman sekolah saya di SMA.”
“SMA? Kamu masih sekolah?”
“Ya kak.”
“Di mana?”
“S…SMA Naraya kak, lumayan jauh dari sini.”
Mendadak, roman wajah Reza berubah. Pandangannya kosong. Tapi beberapa detik kemudian ia jadi serius lagi.
“Beneran?! Kapan kamu dapatnya?!” geramnya.
“Sebulan lalu, kak.”
“Oh…sebulan lalu…yakin kamu dikasih temen, bukan nyuri punya orang lain?!” kali ini Reza benar-benar membentak. Ia menghentakkan pamflet loker ke meja di depan Nina, membuat cewek itu terkaget.
“Saya nggak mungkin nyuri kak, seriusan, saya nggak bohong ini cuma dikasih.” suara Nina bergetar menjawab bentakan tak tertebak itu.
“Kalo terbukti bohong awas ya. Aku tahu sekolah itu, aku bisa lapor ke guru kalo kamu nyuri dompetku.”
“Nyuri?!” Nina ternganga. “Apa maksud kakak saya nyuri?! Apa maksudnya?!”
“Pamflet ini cuma ada di dompetku, ini tandanya ada coret-coretan di belakangnya. Kalau bukan kamu yang pencuri, berarti teman yang ngasih ini adalah pencurinya.”
Nina berjanji nggak bakal nangis lagi…
Ia sudah nggak pernah nangis lagi…
Tapi kali ini, Nina udah nggak kuat. Bukannya diinterview, ia malah dituduh berbuat hal buruk semacam ini.
“Asal kakak tahu ya, saya bukan pencuri! Saya datang ke sini dengan niat baik, pengen dapat kerja, bukan nyuri!”
Tepat saat Nina mengangkat tasnya, ingin pulang, terdengar suara motor mendekat. Beberapa saat kemudian, sebuah moge masuk dan parkir di samping motor Nina.
“Selamat malam, sudah selesai interview-nya?” seorang cowok berperawakan tinggi besar muncul. Penampilannya benar-benar trendi. Kacamata yang dikenakannya membuatnya tampak semakin keren.
Tapi begitu melihat Nina yang bersimbah air mata, cowok itu terkejut.
“Lho, Mbak, ada apa?” tanyanya.
Nina hanya menggeleng, tidak kuat bicara.
“Lho, kenapa Za?”
Reza tampak berpikir sebentar untuk menjawab, “Nggak ada apa-apa kok, Arman, santai aja.”
“Nggak mungkin nggak ada apa-apa kalo mbaknya nangis.” Arman menghalangi jalannya Nina. Tapi cewek itu tetap menggeleng.
“Ayo kita bicarakan baik-baik. Nama saya Arman, CEO Starlit. Ayo, lanjut interviewnya sama saya aja. Kita masih perlu ngomongin banyak hal lho, termasuk gaji kan belum.”
***
@elham udah dong om udah updet. Makasih ya udah nungguin. Lagi sakit gigi haha