Read More >>"> Nina and The Rivanos (6. Harapan Baru) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Nina and The Rivanos
MENU
About Us  

“Gimana bro? Sukses?”

Noval mengacungkan jempolnya dengan bangga. Kedatangannya di kantin disambut dengan cengiran lebar dari sekitar sepuluh cowok yang mengelilingi satu meja.

Raka, sang ketua dari kerumunan nggak waras ini duduk di pusat perhatian. Mengipasi dirinya sendiri dengan dompet hitam yang kini sudah sedikit menipis.

“Langsung percaya gila, si Nina.”

Noval duduk di bangku kosong tepat di depan Raka. Seraya menatap dengan penuh kebanggaan, Raka menyodorkan semangkuk bakso, semangkuk mie ayam, segelas es teh, dan sebotol air mineral.

“Ini hadiah buat kamu, bro, meski goblok, aku nggak pernah berhenti bersyukur punya sohib kaya kamu.”

Mata Noval berbinar melihat makanan-makanan favoritnya berjajar di hadapannya. Ini semua gratis lagi, udah lengkap sama es teh juga. Tapi…

“Nggak, aku nggak mau makan uang haram.” gerutu Noval, mati-matian mengalihkan pandang dari bakso dan mie ayam.

“Lah? Kok isoo i lho? Yang penting kan nggak ikut nyuri?” seru Dito, ketua kelas 11 IPA1 yang juga baru ditraktir mie ayam oleh Raka.

“Bener! Kan Raka yang nyuri, jadi dosanya ditanggung Raka sendiri, ya to?” Alfan menanggapi, sambil melahap potongan bakso terakhirnya. Ucapan ini disetujui langsung oleh cowok-cowok lain yang juga ditraktir Raka hari itu.

“Udah makan aja, ribet amat sih? Emangnya tahu aku beneran nyuri atau nggak? Aku iseng tok kok, bro! Nggak seriusan!”

Noval melirik Raka dengan pandangan selidik, “Trus yang tadi pagi kamu omongin itu, bercanda?”

“Iyo!”

“Seriusan?”

“Yo wes, kalo nggak mau kita semua siap makan jatahmu, kok. Ya kan, ya kan?”

 “Oke, oke, percoyo!”

Noval, yang sedari tadi menahan air liur yang makin banyak di mulutnya, mulai melahap traktiran double dari sahabatnya.

Nggak sia-sia ia dilahirkan dengan tubuh besar. Dalam waktu 10 menit saja, Noval bisa menghabiskan bakso dan mie ayam itu.

“Alhamdulillah, seneng tenan aku punya sohib kaya kamu, Ka.”

“Sama-sama, tapi bentar aku bayar jatahmu dulu, Val.”

Raka membuka lagi dompetnya, terang-terangan di depan teman-temannya. Di saat itu, Noval melihat sebuah KTP terselip di tempat kartu. Bagian depannya yang transparan membuatnya bisa membaca siapa pemilik KTP tersebut.

“Lah? Kalo emang itu dompetmu, kok bukan KTP-mu seng ono ndek kunu?”

Waduh.

***

Sampai pulang sekolah, Nina nggak bisa berhenti memikirkan lowongan pekerjaan yang baru didapatnya dari Noval. Dia nggak nyangka, kacung Raka yang selama ini nggak pernah in touch sama dia, ternyata peduli sama krisis yang dialaminya.

Tiba-tiba ponsel butut Nina berdering.

“Nin, kamu pulang o duluan ya! Ini ada yang pingsan di depan sekolah.” seru Olivia dari telpon. Dari suaranya ia terdengar kelelahan.

“Lah? Seriusan?!”

“Iyo! Dia nggak napas, mau dibawa ke rumah sakit ini! Wes kamu pulang o dulu ya!”

“Siapa yang-”

Belum selesai pertanyaan itu, Oliv udah memutuskan sambungan telpon mereka. Meski penasaran, Nina harus menunggu sampai besok untuk mendengar cerita dari Oliv soal kejadian hari ini.

Sejak kelas satu, Oliv sudah tergabung dalam PMR sekolah. Lebih dari itu, beberapa bulan lalu, ia bahkan sudah dilantik sebagai anggota resmi PMI daerah. Oleh sekolah, ia dikirim bersama empat orang lain yang notabene adalah senior mereka.

Nina sebenarnya senang melihat Oliv bisa semaju itu dibanding teman-teman PMR-nya. Tapi semakin hari, ia sepertinya makin sibuk mengikuti banyak kegiatan. Sementara dia, nggak sempat mengikuti ekskul apa-apa sejak kelas satu karena harus bekerja.

“Assalamu’alaikum.”

Nina membuka pintu rumahnya yang nggak dikunci. Dari ruang tengah, ia mendengar suara seorang wanita membalas salamnya.

“Udah pulang, Nduk? Cepet ganti baju terus makan.”

Sesosok wanita berkerudung duduk di dipan ruang tengah. Ia sedang menghitung beberapa lembar uang dari dompetnya, termasuk juga uang-uang receh.

“Lah Ibu kok tumben di rumah jam segini?” tanya Nina, setelah menyalami sang Ibu.

“Emangnya Nina nggak seneng Ibu pulang ke rumah? Ya udah abis ini Ibu berangkat lagi kok.”

Ibu Nina tersenyum menggoda. Senyum itu membuat raut sabarnya semakin nampak.

“Nggak gitu.” ucap Nina, manja.

“Nina seneng Ibu di rumah, malah kalau bisa Ibu nggak usah kerja dua kali. Jualan pecel aja pagi-pagi.”

“Lha terus biaya hidup kita? Ini aja Ibu malu banget nggak bisa bantu bayar SPP-mu, Nduk. Sampe kamu harus kerja malem-malem.” Ibu menggigit bibirnya, kerutan di dahinya makin nampak.

Memikirkan pekerjaan sang anak, pikiran Ibu Nina tiba-tiba keruh.

“Tahu, Nduk? Sebenarnya Ibu pengen kamu ke luar aja dari pekerjaanmu sekarang. Nggak papa, urusan biaya sekolah kasih ke Ibu aja. Nanti Ibu usahain pinjam atau apa.”

“Ibu nggak tega kamu pulang malam tiap hari, bukan omongan tetangga yang Ibu pikirin. Tapi keselamatan kamu itu lho, takut dibegal orang, diapa-apain.”

Mendengar kekhawatiran ibunya, Nina tersenyum kecut. Untung dia nggak cerita soal Raka yang menguntitnya beberapa waktu lalu. Kalau cerita…wah gawat.

“Ibu nggak usah khawatir, ya Bu. Ini Nina juga lagi usaha cari kerja baru. Tolong doain dapet kerja yang enak ya.” ucap Nina, menyandarkan kepala ke bahu sang Ibu, seraya memeluk lengannya.

“Pokoknya Nina nggak mau berhenti kerja, kasihan Ibu.”

***

“Ini bener kan CV bentuknya begini?” bisik Nina.

“Ya, cepet kirim sebelum bel masuk.”

Selama setengah jam terakhir, Nina dan Oliv menghabiskan waktu di perpustakaan. Saling berbisik, bertukar pikiran tentang cara mengirim lamaran yang baik dan benar.

Masalahnya, keduanya sama-sama nggak pengalaman. Meski sudah kerja, sebelum ini Nina diterima pakai “kekuatan orang dalam”, tanpa CV apalagi berkas-berkas lamaran lain.

“Ya deh, gitu aja. Udah cepat kirim.” Oliv mengangguk untuk kesekian ratus kali. Yakin bahwa format CV untuk kerja pasti nggak jauh-jauh amat dari format formulir untuk daftar ekskul.

Akhirnya setelah perdebatan yang panjang dan melelahkan, Nina dan Oliv berhasil mengirim lamaran ke Starlit, perusahaan punya saudaranya Noval.

“You’re the best emang, Liv. Aku heran, kenapa kamu masih nggak punya pacar juga, ya? Padahal kamu pinter, imut, kuat, baik hati lagi.”

Wajah Oliv langsung memerah, “Apa’an sih, Nin. Nggak jelas. Hiperbolis banget deh.”

Meski Oliv tampak nggak menyadari kualitasnya, Nina tetap saja kagum padanya. Apalagi setelah dengar soal kejadian kemarin sore.

Menurut cerita orang-orang yang menyaksikan, apa yang dilakukan Oliv benar-benar heroik.

Waktu itu di dekat tempat parkir sekolah, Oliv baru aja selesai menyerahkan laporan keuangan PMR sekolah dan berniat pulang. Tapi dari sela-sela pagar depan sekolah, ia melihat seorang laki-laki ambruk pingsan. Tanpa berpikir dua kali, Oliv langsung meninggalkan sepedanya dan berlari menuju laki-laki itu.

Oliv menyeruak kerumunan, dengan sigap memeriksa detak jantung dan nafas orang itu. Begitu tahu orang itu berhenti bernafas, Oliv langsung memerintah siswa-siswa yang berkerumun untuk bubar.

Sampai sini, pemahaman Nina agak blur.

“Oh ya, Liv. Soal kejadian kemarin, tadi kamu cuma cerita kalau kamu nolongin dan nganter orang itu sampai RS. Tapi yang aku denger dari temen-temen, kamu sempat nekan-nekan orang itu, buat apa?” tanya Nina, seraya melog-out email-nya dari komputer sekolah.

“Nekan-nekan? Oh itu, itu tuh pertolongan pertama. Kalo kita ketemu orang yang nggak napas, kita harus cepet-cepet bantu jantungnya berdetak sebelum berhenti.”

“Caranya ya gitu, kudu nekan-nekan dadanya sampai pertolongan datang. Tapi nggak semua orang bisa gitu sih, kudu yang terlatih. Soalnya tenaga yang dibutuhkan banyak.”

Nina tersenyum mendengar penjelasan panjang lebar dari Oliv. Melihat senyuman itu, bukannya senang Oliv malah jijik.

“Apa’an sih, Nin? Orang lagi cerita hal kritis malah senyum-senyum gitu, IH.”

“Kenapa sih kamu nggak masuk IPA aja? Sayang banget tahu.” gumam Nina.

Nggak disangka, gumaman yang sebenarnya sederhana itu malah dibalas tempelengan oleh Oliv.

“Salah siapa aku nggak masuk IPA, hah? Gara-gara ngikutin siapa coba, HAH?”

“Ya, ya…maaf.”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 1 0
Submit A Comment
Comments (5)
  • renicaryadi

    @elham udah dong om udah updet. Makasih ya udah nungguin. Lagi sakit gigi haha

  • elham

    Miriiip ..... :( skarang aq percaya apa yg q alami ini layaknya cermin...

    kereeen banget kak..
    D tinggu sllu klanjutanya.
    Smoga sllu d beri kesehatan trus..biar bisa nulis karya slanjut e

    Smangat

  • elham

    Sampek Sini masih sama...jdi k ingat ama almrhum..

  • aiana

    udah selesai sampai bag 3, di tunggu updatennya,
    boleh juga mampir di storyku kak...

  • yurriansan

    Awal baca pesanmu udah lucu :D.
    Isi.crtanya juga menarik. Aku finish bca smpe.chapter 3.

    Mmpir juga ya k storyku ku,.tlong krisannya juga :D

Similar Tags
Dialog kala Hujan
488      359     3     
Short Story
Teman sekelas yang berbincang ketika hujan sedang turun deras.
Special
1216      668     1     
Romance
Setiap orang pasti punya orang-orang yang dispesialkan. Mungkin itu sahabat, keluarga, atau bahkan kekasih. Namun, bagaimana jika orang yang dispesialkan tidak mampu kita miliki? Bertahan atau menyerah adalah pilihan. Tentang hati yang masih saja bertahan pada cinta pertama walaupun kenyataan pahit selalu menerpa. Hingga lupa bahwa ada yang lebih pantas dispesialkan.
Last October
1647      619     2     
Romance
Kalau ada satu yang bisa mengobati rasa sakit hatiku, aku ingin kamu jadi satu-satunya. Aku akan menunggumu. Meski harus 1000 tahun sekali pun. -Akhira Meisa, 2010. :: Terbit setiap Senin ::
ORIGAMI MIMPI
27615      3120     55     
Romance
Barangkali, mimpi adalah dasar adanya nyata. Barangkali, dewa mimpi memang benar-benar ada yang kemudian menyulap mimpi itu benar-benar nyata. Begitulah yang diyakini Arga, remaja berusia tujuh belas tahun yang menjalani kehidupannya dengan banyak mimpi. HIngga mimpi itu pula mengantarkannya pada yang namanya jatuh cinta dan patah hati. Mimpi itu pula yang kemudian menjadikan luka serta obatnya d...
Baniis
605      366     1     
Short Story
Baniis memiliki misi sebelum kepergian nya... salah satunya yaitu menggangu ayah nya yang sudah 8 meninggalkan nya di rumah nenek nya. (Maaf jika ada kesamaan nama atau pun tempat)
Cinta Venus
518      282     3     
Short Story
Bagaimana jika kenyataan hidup membawamu menuju sesuatu yang sulit untuk diterima?
Kenzo Arashi
1656      579     6     
Inspirational
Sesuai kesepakatannya dengan kedua orang tua, Tania Bowie diizinkan melakukan apa saja untuk menguji keseriusan dan ketulusan lelaki yang hendak dijodohkan dengannya. Mengikuti saran salah satu temannya, Tania memilih bersandiwara dengan berpura-pura lumpuh. Namun alih-alih dapat membatalkan perjodohannya dan menyingkirkan Kenzo Arashi yang dianggapnya sebagai penghalang hubungannya dengan Ma...
Dunia Tiga Musim
2763      1132     1     
Inspirational
Sebuah acara talkshow mempertemukan tiga manusia yang dulunya pernah bertetangga dan menjalin pertemanan tanpa rencana. Nda, seorang perempun seabstrak namanya, gadis ambivert yang berusaha mencari arti pencapaian hidup setelah mimpinya menjadi diplomat kandas. Bram, lelaki ekstrovert yang bersikeras bahwa pencapaian hidup bisa ia dapatkan dengan cara-cara mainstream: mengejar titel dan pre...
Baret,Karena Ialah Kita Bersatu
675      395     0     
Short Story
Ini adalah sebuah kisah yang menceritakan perjuangan Kartika dan Damar untuk menjadi abdi negara yang memberi mereka kesempatan untuk mengenakan baret kebanggaan dan idaman banyak orang.Setelah memutuskan untuk menjalani kehidupan masing - masing,mereka kembali di pertemukan oleh takdir melalui kesatuan yang kemudian juga menyatukan mereka kembali.Karena baret itulah,mereka bersatu.
A Perfect Clues
4985      1403     6     
Mystery
Dalam petualangan mencari ibu kandung mereka, si kembar Chester-Cheryl menemukan sebuah rumah tua beserta sosok unik penghuninya. Dialah Christevan, yang menceritakan utuh kisah ini dari sudut pandangnya sendiri, kecuali part Prelude. Siapa sangka, berbagai kejutan tak terduga menyambut si kembar Cherlone, dan menunggu untuk diungkap Christevan. Termasuk keberadaan dan aksi pasangan kembar yang ...