“Gimana bro? Sukses?”
Noval mengacungkan jempolnya dengan bangga. Kedatangannya di kantin disambut dengan cengiran lebar dari sekitar sepuluh cowok yang mengelilingi satu meja.
Raka, sang ketua dari kerumunan nggak waras ini duduk di pusat perhatian. Mengipasi dirinya sendiri dengan dompet hitam yang kini sudah sedikit menipis.
“Langsung percaya gila, si Nina.”
Noval duduk di bangku kosong tepat di depan Raka. Seraya menatap dengan penuh kebanggaan, Raka menyodorkan semangkuk bakso, semangkuk mie ayam, segelas es teh, dan sebotol air mineral.
“Ini hadiah buat kamu, bro, meski goblok, aku nggak pernah berhenti bersyukur punya sohib kaya kamu.”
Mata Noval berbinar melihat makanan-makanan favoritnya berjajar di hadapannya. Ini semua gratis lagi, udah lengkap sama es teh juga. Tapi…
“Nggak, aku nggak mau makan uang haram.” gerutu Noval, mati-matian mengalihkan pandang dari bakso dan mie ayam.
“Lah? Kok isoo i lho? Yang penting kan nggak ikut nyuri?” seru Dito, ketua kelas 11 IPA1 yang juga baru ditraktir mie ayam oleh Raka.
“Bener! Kan Raka yang nyuri, jadi dosanya ditanggung Raka sendiri, ya to?” Alfan menanggapi, sambil melahap potongan bakso terakhirnya. Ucapan ini disetujui langsung oleh cowok-cowok lain yang juga ditraktir Raka hari itu.
“Udah makan aja, ribet amat sih? Emangnya tahu aku beneran nyuri atau nggak? Aku iseng tok kok, bro! Nggak seriusan!”
Noval melirik Raka dengan pandangan selidik, “Trus yang tadi pagi kamu omongin itu, bercanda?”
“Iyo!”
“Seriusan?”
“Yo wes, kalo nggak mau kita semua siap makan jatahmu, kok. Ya kan, ya kan?”
“Oke, oke, percoyo!”
Noval, yang sedari tadi menahan air liur yang makin banyak di mulutnya, mulai melahap traktiran double dari sahabatnya.
Nggak sia-sia ia dilahirkan dengan tubuh besar. Dalam waktu 10 menit saja, Noval bisa menghabiskan bakso dan mie ayam itu.
“Alhamdulillah, seneng tenan aku punya sohib kaya kamu, Ka.”
“Sama-sama, tapi bentar aku bayar jatahmu dulu, Val.”
Raka membuka lagi dompetnya, terang-terangan di depan teman-temannya. Di saat itu, Noval melihat sebuah KTP terselip di tempat kartu. Bagian depannya yang transparan membuatnya bisa membaca siapa pemilik KTP tersebut.
“Lah? Kalo emang itu dompetmu, kok bukan KTP-mu seng ono ndek kunu?”
Waduh.
***
Sampai pulang sekolah, Nina nggak bisa berhenti memikirkan lowongan pekerjaan yang baru didapatnya dari Noval. Dia nggak nyangka, kacung Raka yang selama ini nggak pernah in touch sama dia, ternyata peduli sama krisis yang dialaminya.
Tiba-tiba ponsel butut Nina berdering.
“Nin, kamu pulang o duluan ya! Ini ada yang pingsan di depan sekolah.” seru Olivia dari telpon. Dari suaranya ia terdengar kelelahan.
“Lah? Seriusan?!”
“Iyo! Dia nggak napas, mau dibawa ke rumah sakit ini! Wes kamu pulang o dulu ya!”
“Siapa yang-”
Belum selesai pertanyaan itu, Oliv udah memutuskan sambungan telpon mereka. Meski penasaran, Nina harus menunggu sampai besok untuk mendengar cerita dari Oliv soal kejadian hari ini.
Sejak kelas satu, Oliv sudah tergabung dalam PMR sekolah. Lebih dari itu, beberapa bulan lalu, ia bahkan sudah dilantik sebagai anggota resmi PMI daerah. Oleh sekolah, ia dikirim bersama empat orang lain yang notabene adalah senior mereka.
Nina sebenarnya senang melihat Oliv bisa semaju itu dibanding teman-teman PMR-nya. Tapi semakin hari, ia sepertinya makin sibuk mengikuti banyak kegiatan. Sementara dia, nggak sempat mengikuti ekskul apa-apa sejak kelas satu karena harus bekerja.
“Assalamu’alaikum.”
Nina membuka pintu rumahnya yang nggak dikunci. Dari ruang tengah, ia mendengar suara seorang wanita membalas salamnya.
“Udah pulang, Nduk? Cepet ganti baju terus makan.”
Sesosok wanita berkerudung duduk di dipan ruang tengah. Ia sedang menghitung beberapa lembar uang dari dompetnya, termasuk juga uang-uang receh.
“Lah Ibu kok tumben di rumah jam segini?” tanya Nina, setelah menyalami sang Ibu.
“Emangnya Nina nggak seneng Ibu pulang ke rumah? Ya udah abis ini Ibu berangkat lagi kok.”
Ibu Nina tersenyum menggoda. Senyum itu membuat raut sabarnya semakin nampak.
“Nggak gitu.” ucap Nina, manja.
“Nina seneng Ibu di rumah, malah kalau bisa Ibu nggak usah kerja dua kali. Jualan pecel aja pagi-pagi.”
“Lha terus biaya hidup kita? Ini aja Ibu malu banget nggak bisa bantu bayar SPP-mu, Nduk. Sampe kamu harus kerja malem-malem.” Ibu menggigit bibirnya, kerutan di dahinya makin nampak.
Memikirkan pekerjaan sang anak, pikiran Ibu Nina tiba-tiba keruh.
“Tahu, Nduk? Sebenarnya Ibu pengen kamu ke luar aja dari pekerjaanmu sekarang. Nggak papa, urusan biaya sekolah kasih ke Ibu aja. Nanti Ibu usahain pinjam atau apa.”
“Ibu nggak tega kamu pulang malam tiap hari, bukan omongan tetangga yang Ibu pikirin. Tapi keselamatan kamu itu lho, takut dibegal orang, diapa-apain.”
Mendengar kekhawatiran ibunya, Nina tersenyum kecut. Untung dia nggak cerita soal Raka yang menguntitnya beberapa waktu lalu. Kalau cerita…wah gawat.
“Ibu nggak usah khawatir, ya Bu. Ini Nina juga lagi usaha cari kerja baru. Tolong doain dapet kerja yang enak ya.” ucap Nina, menyandarkan kepala ke bahu sang Ibu, seraya memeluk lengannya.
“Pokoknya Nina nggak mau berhenti kerja, kasihan Ibu.”
***
“Ini bener kan CV bentuknya begini?” bisik Nina.
“Ya, cepet kirim sebelum bel masuk.”
Selama setengah jam terakhir, Nina dan Oliv menghabiskan waktu di perpustakaan. Saling berbisik, bertukar pikiran tentang cara mengirim lamaran yang baik dan benar.
Masalahnya, keduanya sama-sama nggak pengalaman. Meski sudah kerja, sebelum ini Nina diterima pakai “kekuatan orang dalam”, tanpa CV apalagi berkas-berkas lamaran lain.
“Ya deh, gitu aja. Udah cepat kirim.” Oliv mengangguk untuk kesekian ratus kali. Yakin bahwa format CV untuk kerja pasti nggak jauh-jauh amat dari format formulir untuk daftar ekskul.
Akhirnya setelah perdebatan yang panjang dan melelahkan, Nina dan Oliv berhasil mengirim lamaran ke Starlit, perusahaan punya saudaranya Noval.
“You’re the best emang, Liv. Aku heran, kenapa kamu masih nggak punya pacar juga, ya? Padahal kamu pinter, imut, kuat, baik hati lagi.”
Wajah Oliv langsung memerah, “Apa’an sih, Nin. Nggak jelas. Hiperbolis banget deh.”
Meski Oliv tampak nggak menyadari kualitasnya, Nina tetap saja kagum padanya. Apalagi setelah dengar soal kejadian kemarin sore.
Menurut cerita orang-orang yang menyaksikan, apa yang dilakukan Oliv benar-benar heroik.
Waktu itu di dekat tempat parkir sekolah, Oliv baru aja selesai menyerahkan laporan keuangan PMR sekolah dan berniat pulang. Tapi dari sela-sela pagar depan sekolah, ia melihat seorang laki-laki ambruk pingsan. Tanpa berpikir dua kali, Oliv langsung meninggalkan sepedanya dan berlari menuju laki-laki itu.
Oliv menyeruak kerumunan, dengan sigap memeriksa detak jantung dan nafas orang itu. Begitu tahu orang itu berhenti bernafas, Oliv langsung memerintah siswa-siswa yang berkerumun untuk bubar.
Sampai sini, pemahaman Nina agak blur.
“Oh ya, Liv. Soal kejadian kemarin, tadi kamu cuma cerita kalau kamu nolongin dan nganter orang itu sampai RS. Tapi yang aku denger dari temen-temen, kamu sempat nekan-nekan orang itu, buat apa?” tanya Nina, seraya melog-out email-nya dari komputer sekolah.
“Nekan-nekan? Oh itu, itu tuh pertolongan pertama. Kalo kita ketemu orang yang nggak napas, kita harus cepet-cepet bantu jantungnya berdetak sebelum berhenti.”
“Caranya ya gitu, kudu nekan-nekan dadanya sampai pertolongan datang. Tapi nggak semua orang bisa gitu sih, kudu yang terlatih. Soalnya tenaga yang dibutuhkan banyak.”
Nina tersenyum mendengar penjelasan panjang lebar dari Oliv. Melihat senyuman itu, bukannya senang Oliv malah jijik.
“Apa’an sih, Nin? Orang lagi cerita hal kritis malah senyum-senyum gitu, IH.”
“Kenapa sih kamu nggak masuk IPA aja? Sayang banget tahu.” gumam Nina.
Nggak disangka, gumaman yang sebenarnya sederhana itu malah dibalas tempelengan oleh Oliv.
“Salah siapa aku nggak masuk IPA, hah? Gara-gara ngikutin siapa coba, HAH?”
“Ya, ya…maaf.”
@elham udah dong om udah updet. Makasih ya udah nungguin. Lagi sakit gigi haha