Kebahagian masih tampak di setiap sudut jalanan. Para warga hilir mudik dan bergotong royong untuk mempersiapkan pesta rakyat yang akan diadakan nanti malam. Sebagian dari para ibu-ibu menumbuk padi, sebagian pula ada yang memasak dengan menggunakan tungku berbahan bakar kayu bakar. Ada pula yang berlatih gamelan. Benar-benar pemandangan yang menyenangkan. Para warga saling bahu membahu dalam menyelenggarakan pesta rakyat.
Sesampainya di pemukiman Mleccha, rumah-rumah penduduk terlihat sepi. Yang ada hanyalah para anak-anak yang bermain engklek, ada pula yang lompat tali. Aku mendekati wulan yang hanyut dalam permainan tradisional itu.
"Wulan.. Dimana si mbok?? Mbakyu lihat banyak orang keluar rumah ya? Sepi."
"Iya mbak yu.. Simbok berkumpul di rumah kampung sebelah. Membuat wajik, sama makanan untuk pesta rakyat." Jawabnya polos, tanganya masih memengang kreweng yang siap untuk dilemparkan di tanah.
"Ouw.. Kalo gitu mbakyu mau ke rumah dulu ya. Cuci baju.."
"Iya mbak yu.." Wulan memalingkan badanya, kembali berbaur dengan teman – temanya.
Sesampainya dirumah, aku menyiapkan baju kotorku yang belum di cuci. Merendamnya di dalam bejana besar yang terbuat dari tanah liat. Mencuci baju di zaman Majapahit dilakukan sangat tradisional, yakni mengucek dengan tangan, atau menggunakan bebatuan untuk menggosok pakaian. Tidak ada detergen, atau pewangi untuk mengharumkan pakaian. Setelah dicuci, pakaian di jemur di kayu kayu kecil yang dibentuk untuk jemuran. Panas matahari yang menbuatnya kering. Setelah itu aku beristirahat sejenak dan merebahkan badanku di pendopo mini. Membiarkan tubuhku di hempas oleh angin di siang bolong. Sayup angin perlahan menutup mataku, gesekan dedaunan seperti menjadi alunan lagu penghantar tidur.
Aku hanyut dalam dunia bawah sadarku, berkelana di alam mimpi. Ah, nikmatnya hari ini. Menebus lelah dengan beristirahat sejenak. Lalu aroma kenanga perlahan seperti menghampiriku. Aku seperti teringat akan seseorang sang pemilik aroma ini, Dyah. Tubuhku seperti di sentuh oleh tangan yang halus nan lembut. Aku perlahan membuka pelan kedua bola mataku, tampak sosok gadis cantik yang rambutnya terurai panjang sebagian mengenai tubuhku.
Aku tersadar, Dyah sedari tadi menunggu tidurku hingga Tidak terasa sang bulan sudah duduk di singgasana langit.
Dia menyunggingkan senyumanya,
"Hai Sarah... Apakah tidurmu nyeyak?"
"Dyah.. Apakah kamu dari tadi menungguku tidur?
"Ya, tidak lama. Aku membawa beberapa pelayan istana kesini."
Senyumanya masih terpampang jelas di raut wajahnya yang putih bersih itu. Aku sekilas melihat dua pelayan istana yang berdiri di belakang Dyah. Sepertinya dia juga menungguku daritadi.
"Kenapa kamu mebawa pelayan istana, Dyah?"
"Hehe.. Ini adalah saat spesial untukmu Sarah. Nanti kamu akan di beri penghargaan oleh Raka, karena telah berperan penting bagi Majaphit." Senyumnya makin merekah, seolah dia senang akan penghargaan yang diberikan oleh teman terdekatnya itu.
"Iya.. Terus kenapa kamu membawa para pelayan istana datang kerumahku Dyah? Kamu juga sepertinya membawa kereta kencana diluar"
Dyah mengangguk,
"Hmm... Aku kesini untuk mengganti bajumu, Sarah. Aku membawakan kain dan selendang sutra untukmu. Malam ini, kamu akan berubah seperti putri Majapahit. Kamu harus terlihat sempurna saat pemberian penghargaan oleh Raka."
Alih-alih ingin melarikan diri dari semua ini, malah yang ada Dyah datang menghampiriku, bak seperti ibu peri yang akan merubah seorang gadis biasa-biasa saja menjadi seorang putri cantik jelita saat malam hari. Akupun Tidak dapat menolak keinginan sahabatku itu, kini aku pasrah, membiarkan tubuhku digandeng oleh seorang ibu peri yang Tidak lain adalah Dyah masuk ke dalam rumahku sendiri.
Satu persatu tubuhku dibuka oleh pelayan-pelayan istana, mengganti bajuku dengan kain-kain sutra yang melilit di tubuhku, selendang berwarna keemasaan melingkar manis di pinggangku, sebagian dibiarkan menggantung. Sedangkan para pelayan lain memasangkan gelang-gelang emas di kedua lenganku. Kalung bertahtakan batu-batu blue saphire dan emas melingkar manis di leher.
Kini giliran rambutku yang harus pasrah menghadapi jamahan sang pelayan. Rambutku digulung, dan disanggul ke atas, namun sebagian terurai menyentuh pinggangku, setelah sentuhan akhir, Dyah menyematkan mahkota kecil tepat di sanggulanku. Kini Dyah tersenyum puas. Sang ibu peri berhasil merubahku menjadi cinderella di zaman Majapahit.
"Sempurna.. Sarah, kamu cantik sekali. Aku jauh kalah cantik. Aku yakin, Raka akan terkesima saat melihatmu." Sekali lagi, Dyah tersenyum puas. Tanganya memegang kedua bahuku yang terbuka, yang hanya memakai kemben seperti Dyah. Kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan. Memastikan apakah sihirnya sudah sempurna untuk malam ini.
Lalu kami berdua menaiki kereta kencana, pak kusir memacu kudanya secara perlahan, di balik jendela kecil, aku mengintip banyak para warga berjalan di arah yang sama denganku, di area Pendopo Agung. Tidak sedikit pula warga yang membawa sesajen untuk persembahan bagi para dewa atas rasa syukur penen raya ini. aku kembali melihat Dyah, pandanganya masih tetap ke arahku.
Ah sama. Aku pun tak suka sejarah. :D
Comment on chapter Sejarah, pelajaran yang membosankan !