Sesampainya di area Pendopo Agung, kami menuruni anak tangga satu persatu. Dyah tetap menggandengku, menuju Pendopo Agung. Para mentri dan petinggi kerajaan telah hadir di dalam pendopo, sedangkan para warga diluar dengan hiasan-hiasan hasil panen yang mereka dapatkan.
Dyah terus mengajakku masuk lebih dalam. Hayam Wuruk berdiri, tubuhnya seperti kaku menancap bumi. Pandanganya seolah Tidak mau lepas dariku yang daritadi tersipu malu. Dyah membawaku duduk di barisan depan. Tepat di depan panggung para barisan wayang kulit. Malam ini aku memang tidak bisa membuat alasan lain selain menerima sebuah tontonan hiburan rakyat, wayang kulit.
Hayam wuruk perlahan mendekatiku, sarung yang ia kenakan malam ini benar benar indah, kain tenun yang berwarna hijau tua dibalut dengan selendang berwarna kuning menjuntai indah hingga ke lantai pendopo. Wajahnya masih saja rupawan, dengan senyum teduh menyangga mahkota emas yang bersemayam di atas kepalanya.
"sarah, kamu cantik.. cantik sekali." Ucapnya kepadaku sembari tersenyum.
Dia berbisik kepada Dyah, adiknya.
"Ini pasti ulahmu, adikku sayang.. Sarah terlihat seperti seorang putri malam ini." Tanganya menyentuh halus kepala Dyah, sebagai sebuah ungkapan sayang berbalut rasa terima kasih.
Aku hanya melihatnya dan menunduk di depanya. Hayam Wuruk hanya tersenyum, lalu memalingkan badanya menuju tengah panggung. Lalu berseru kepada para rakyatnya.
"wahai rakyatku di Majapahit. hari ini para dewa dan budha sedang memberkati kita semua. Hasil panen melimpah ruah, buah dan rempah-rempah. Hama tikus berhasil dimusnahkan. Kini sesuai janjiku, aku akan mengadakan pesta rakyat besar-besaran 2 hari 2 malam. Dan tepat dibelakangku, para dalang wayang kulit akan memainkan wayang semalam suntuk. Sebagai rasa terima kasihku. Aku akan memberikan hadiah kepada salah seorang warga Mleccha yang berjasa dalam pemberantasan hama tikus, Sarah. Silahkan berdiri"
Para warga bersorak-sorak, mengelu-elukan namaku. Kini semua mata tertuju padaku yang berdiri di samping raja.
"Ini.. Hadiah untukmu. Dan juga 50 keping emas." Tanganya mengulurkan sebuah kado yang terbungkus rapi kain berwarna emas, dan juga sebungkus kantong kain kecil yang berisi uang keping emas.
Setelah memberikan penghargaan, baginda raja Hayam Wuruk menghadap para hadirin kembali,
"Baiklah rakyatku. Dengan ini aku nyatakan pesta rakyat dimulai." Hayam Wuruk memukul gong besar yang terletak di sebelahnya. Memberikan pertanda bahwa acara pesta rakyat dimulai.
Dentuman gong tembaga besar memenuhi setiap sudut ruang Pendopo Agung. Bahkan gemanya masih bisa di dengar oleh rakyat yang menonton di luar pendopo. Suara sorak bahagia masyarakat beradu dengan gema gong yang masih bergetar. Ekspresi bahagia jelas terpancar pada setiap individu yang berada di dalam maupun di luar Pendopo Agung.
Mataku mengintip dibalik celah kantong kain kecil. Aku terbelalak, apakah ini uang emas beneran. Karena silaunya menembus, menggoda mataku untuk melihatnya. Aku menundukkan kepala kepada Hayam Wuruk, lalu aku kembali ke singgasanaku bersama Dyah, aku membuka sedikit bungkusan uang logam itu, ternyata memang berisi emas. Tidak percaya, aku menanyakan kepada Dyah yang duduk disampingku.
"Dyah.. Apa ini uang emas asli?"
"Hmm.. Betul Sarah. Disini kami mata uang emas sebagai mata uang tertinggi. Sedangkan gobok itu sebagai mata uang terendah di Majapahit. Kalau di ibaratkan kamu bisa membeli 5 ekor sapi dengan 1 koin emasmu."
"Waah keren Dyah. Aku baru tahu selama aku tinggal di Majapahit. maklum, untuk makan sehari-hari aku ikut makan dengan mbok Darmi,hehehe"
Aku tersipu malu. Maklum, aku memang tidak terbiasa dengan perangkat masak di Majapahit. semuanya serba tradisional. Memakai tungku kayu bakar yang ditiup dengan bambu hingga api membara.
Enam penari melenggang cantik menuju tengah-tengah pendopo, membawa ujung selendang kuning di tangan kanan dan kirinya, alunan musik gamelan mengiringi mereka menggoyangkan kepala mereka ke kanan dan ke kiri, sebagai pertanda awal tarian penyambutan. Gerak-gerik yang lemah gemulai membuat setiap orang yang yang melihatnya terpana dengan keluwesan tarianya.
Setelah musik gamelan menghentikan mereka, para menari berbaris rapi dan menunduk ke arah para hadirin. Sambil melenggang indah meninggalkan pendopo. Sesaat setelah kepergian para penari, seorang dalang dengan kumis tebal dan memakai gelang di lengan kanan dan kirinya perlahan masuk ke dalam pendopo. Menunduk hormat di depan raja, lalu duduk di depan wayang kulit yang menanti dalang untuk dimainkan.
Denting dan alunan musik gamelan mengusik lamunanku. Dyah yang berantusias, sedari tadi melayangkan pandangan di setiap gerakan demi gerakan wayang yang melenggang indah, menceritakan asal mula kerajaan Singosari, dan riwayat Ken Arok. Semua dibalut dengan dentuman indah musik gamelan, dan kata demi kata bahasa jawa krama inggil yang susah kufahami.
Aku menghela nafas panjang,berharap ini semua akan berakhir. Tapi keinginan hanyalah sebuah buaian belaka. Yang aku lakukan hanyalah duduk terdiam di tengah kerumunan anggota kerajaan. Satu jam setelah acara wayang dimulai, aku langsung menguap. Bak sebuah dongeng yang dipaksakan untuk menutup mata. Hayam Wuruk masih tetap tenang duduk di singgasana depan sang dalang. Dan Dyah tetap Tidak mau mengalihkan pandanganya di barisan wayang.
Sayup-sayup angin malam yang memasuki pendopo perlahan menutup lembut kedua bola mataku. Rupanya mataku sudah menyerah, dan kepalaku jatuh lemas di bahu kiri Dyah. Awalnya dia kaget, lambat laun Dyah meminjamkan bahunya untuk kepalaku bersandar. Aku tertidur tepat dua jam setelah wayang dimulai.
"Apakah orang-orang sudah pulang? Dimanakah aku harus membawanya?"
"Di kamarku.."
Samar-samar suara percakapan seorang pria dan wanita berhembus ditelingaku. Aroma parfum rempah ini, sepertinya aku kenal. Aku Tidak bisa membuka kedua bola mataku. Rupanya dia menolak untuk membuatku terjaga malam ini.
Ah sama. Aku pun tak suka sejarah. :D
Comment on chapter Sejarah, pelajaran yang membosankan !