Aku merebahkan badanku di atas papan kayu, lalu menyandarkan kepalaku di atas tasku yang terasa keras. tangan kananku kuangkat ke atas sembari membolak balik cincin pemberian hayam wuruk. aku tersenyum, entah kenapa bagiku ini bukan terlihat seperti kenang-kenangan, akan tetapi terlihat seperti seorang kekasih yang memberi cincin kepada pasanganya.
"cantik.."
aku bergumam, lalu tersenyum. terdiam, lalu tersenyum kembali. betul apa yang dikatakan banyak orang, jatuh cinta membuat seseorang seperti gila. ini benar-benar terjadi kepadaku. senyumanya yang mengalahkan teduhnya purnama pertamaku di majapahit, tatapanya yang teduh namun terlihat tegas, tingkah lakunya yang jaim namun lucu. ah, bisa gila aku memikirkanya semalaman suntuk.
cincin yang berbentuk naga melingkar manis di tangan kananku, di tengah-tengahnya terdapat batu opal berwarna merah darah yang berkilau ketika sinar rembulan sedikit membusnya di balik celah dinding bambu.
"aku akan terus memakainya, aku janji"
begitu janji yang aku ucapkan, aku tidak akan melupakan semua perjalanan waktuku di majapahit, setiam jam, setiap menit bahkan setiap detik. semuanya, kebaikan masyarakatnya, dyah, dan hayam wuruk. terutama cita-cita mahapatih gajah mada yang ingin menyatukan nusantara di bawah naungan majapahit
********
bahkan sebelum matahari terbangun, aku sudah bersiap-siap untuk pergi kesawah bersama ki waluyo. memulai aktifitasku menyapu halaman depan rumah, menyapa mbok darmi dan ki waluyo sebelu, berangkat ke sawah setelah seminggu kami libur kaena hama tikus yang merajalela.
"semoga usulanmu berhasil nak sarah" ki waluyo tersenyum dengan penuh pengharapan.
"iya ki.."
lalu kami menaiki kereta kuda menuju sawah, tak seperti biasanya. lalu lalang penduduk sedikit lebih ramai dari biasanya kami bekerja. membuatku tak sabar ingin segera pergi ke sawah. kerereta kuda berhenti tepat di depan kerumunan penduduk, lalu aku dan ki waluyo sesegera mungkin turun dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
"saraaaah..!" suara yang tak asing bagiku memanggilku dari kejauha,
"mbak sunar-.." belum sempat berbicara, mbak sunarsih sudah memelukku.
"trimakasih.. trimakasih" bisiknya di telingaku
"kenapa mbak?" tanyaku penasaran.
"lihat.. lihatlah.. hama tidus banyak sekali berkurang! ini semua berkamu sarah,"
aku tersenyum, tak sedikit pula penduduk yang melihatku dan mengucapkan terima kasih. ah, berguna juga pelajaran di sekolah untuk majapahit. panen besar-besaran pun terjadi, produksi padi meningkat dibandingkan sebelum - sebelumnya.
Tampak dari kejauhan, iring-iringan raja beserta para petinggi desa juga datang di area persawahan,termasuk Dyah. para penduduk langsung memberi jalan untuk baginda raja yang tampak dari kejauhan berjalan menuju sawah.
sedangkan dyah, berlari ke arahku dan seketika itu pula dia memelukku
"Saraah.. Terimakasih !! kamu benar-benar pintar."
"Mmm.. Sama-sama Dyah. Terima kasih juga telah mendukung ideku."
Tidak lama kemudian sang raja, hayam wuruk datang ke arahku dengan memakai pakaian kerajaan yang bergelimang emas di tubuhnya, perlahan mendekatiku. sekilas melihat cincin di jari manisku dan sesaat tersenyum. aku sedikit menunduk untuk memberi penghormatan.
"Terima kasih Sarah.. Sesuai janji yang aku katakan padamu, aku akan memberikanmu hadiah."
"hadiah? Hadiah apa baginda raja?"
"Tunggu di saat pesta rakyat nanti.." Jawabnya tersenyum, kemudian dia kembali mendekati para warga dan berdiri di tempat yang lebih tinggi.
"Wahai rakyat-rakyatku.. Hari ini para warga Majapahit sedang bersuka cita. Ratusan tikus telas berhasil dimusnahkan tanpa kita perlu bekerja keras. Hasil panen yang melimpah ruah, ini semua berkat salah satu warga kita dari pemukiman Mleccha, Sarah. Sesuai janji yang aku katakan di Pendopo Agung. Aku akan merayakan pesta rakyat 3 hari 3 malam, dan pagelaran wayang semalam suntuk."
Rakyat yang mendengarnya pun sontak bersorak ria, membubarkan barisan burung hantu yang tertidur tenang di rumahnya. Kini hanya aku yang terdiam. Kenapa harus pagelaran wayang, menurutku. Apalagi semalam suntuk. Tampaknya aku harus cari suatu alasan agar terhindar dari pagelaran seni yang membosankan itu.
Aku menggandeng tangan Dyah dan mengajak keluar dari kerumunan rakyat, mencoba mencari alasan agar aku tidak mengikuti acara pesta rakyat.
"Dyah.. Sepertinya aku tidak hadir dalam pesta rakyat nanti malam. "
"Eeh.. Kenapa Sarah. ada pagelaran wayang juga. Apalagi semalam suntuk."
Duh, Dyah sepertinya sangat menyukai pagelaran wayang. Sangat berbeda denganku. Mungkin karena di Majapahit belum ada hiburan lain selain gamelan dan wayang. Seandainya Dyah tinggal di zamanku. Mungkin dia sangat menyukai drama korea atau musik sepertiku.
"Mm.. Aku belum cuci baju ini.. Aku harus pulang ke rumah." Mencoba mencari alasan seadanya.
"Cuci baju? Aku punya banyak baju di istana yang bisa kamu pakai. Lagipula kamu selalu pakai baju milikmu. Kamu belum pernah pakai baju Majapahit kan?" Dyah tersenyum lebar, mencoba merayuku untuk mengganti pakaianku ini.
"Ah.. Nggak.. Aku lebih nyaman pakai baju ini Dyah." Aku berkilah, menolak halus ajakan Sarah itu.
"Hmm.. Baiklah kalau begitu. Kamu boleh pulang sekarang. Boleh aku mengantarmu?" Dyah cemberut, bibirnya yang lembut itu berubah bentuk menjadi kerucut, tapi itu justru lebih membuat mukanya justru menjadi lucu.
"Ah tidak.. Aku akan menaiki delman ke rumah."
"Baiklah.."
Aku perlahan meninggalkan Dyah, yang raut wajahnya masih dipenuhi rasa kecewa. Aku menaiki delman dan kembali menuju rumahku. Untunglah, aku punya alasan yang tepat untuk menghindari pertunjukan wayang itu.
Ah sama. Aku pun tak suka sejarah. :D
Comment on chapter Sejarah, pelajaran yang membosankan !