Jika matahari masih terik pada tanggal 1 Desember, maka bisa dipastikan ini adalah musim panas terakhir di akhir tahun 2016. Aku pun menyiapkan buku pelajaran Sejarah, power bank, dan perlengkapan lain yang mungkin aku butuhkan. Aku pun berpamitan pada ibu, lalu sang ibu pun berpesan
"Hati-hati nak, jangan lupa bawa ganti baju." Saran ibu yang sedang melipat baju-baju kering.
"Kenapa bawa ganti baju bu, bawaan udah banyak ini lhoo." Sangkalku kepada ibu, langkah kakiku sudah siap untuk berangkat ke sekolah karena jam sudah menunjukkan pukul 7 pagi.
"Udahlah.. bawa saja. Pulangmu ntar pasti malam." Tatapan seorang ibu bermata coklat ini mengingatkanku bahwa studi wisata tidak cukup setengah hari. Ibu memang memiliki insting yang tajam.
Aku pun dengan langkah berat kembali ke kamar membawa baju ganti. Toh,tidak ada salahnya menuruti perintah ibu. Setelah itu aku berpamitan dengan ibu dan berangkat ke sekolah.
Jalanan masih terasa hiruk pikuknya, tarian dedaunan pohon memberi oksigen bagi para pengendara yang dibawahnya. Kicauan burung masih terdengar jelas, hinggap ke ranting demi ranting di pepohonan yang ada. Ah, nikmatnya hari ini. Semesta pun mendukung kepergianku studi wisata ke Trowulan. Aku pun juga tidak bermimpi aneh lagi seperti kemarin-kemarin. Baguslah, pikirku. tidurku jadi lebih nyenyak, dan aku lebih berkonsentrasi dalam belajar.
Sesampainya di sekolah, aku pun disambut oleh banyak siswa yang menunggu di keberangkatan di lapangan depan sekolah. Gumaman mereka menutupi indahnya kicauan burung di pagi hari. Mengenakan seragam kebanggan kami, putih abu-abu. aku segera berbaur dengan gumaman mereka sampai pada saat gadis berkerudung dan memiliki kulit kuning langsat melambaikan tangan kepadaku.
"Sarah, sini... !!" teriak Astrid.
Membalas dengan senyuman, aku menghampiri teman dekatku yang menungguku ditengah – tengah lautan siswa.
"Bawa apa kamu?? Bawa banyak cemilan yaa?" tatapanya pun harap, sambil memegang dan menggoyang-goyang tasku, memastikan apakah barang bawaanku banyak.
Aku memalingkan tubuhku dari anak manusia yang bertubuh ramping ini. Tatapanya yang penasaran masih tidak bisa pandanganya terhadap tasku.
"Lumayan.. Bawa cemilan juga. Trus bawa baju aku, disuruh ibukku inilho... Duh." Menghela nafas panjang, kata-kata seorang ibu berambut panjang ini memang pantang untuk dilarang.
"Hahahaha... Sama aku juga bawa baju ganti cak, disuruh ibuk. Eh ntar duduk sama aku yo?" seru Astrid, suaranya masih terdengar jelas bersahut sahutan dengan gumaman lautan siswa.
Ngiiing,,, suara dengungan mic menyapu hiruk pikuk kicauan siswa, dalam sekejap halaman sekolah menjadi hening, semua pandangan tertuju pada sosok lelaki dewasa gendut, berkaca mata dan berkumis hitam.
"Selamat pagi anak-anakku sekalian, sebentar lagi bapak akan menghantarkan kalian untuk pergi studi wisata ke museum Trowulan di Mojokerto. Bapak harap kalian akan belajar banyak tentang sejarah disana sekaligus berwisata. Jaga nama baik sekolah kalian. Jangan mencorat-coret situs – situs kerajaan, atau berkata kotor disana. Hargai dan hormatilah mereka, seperti kalian menghargai dan menghormati diri kalian masing – masing. Sebab karena mereka adalah bukti bahwa kita pernah berjaya. Percayalah anak-anaku, kita jadi seperti ini karena sejarah, kita besar karena sejarah, kita berjaya karena menghormati para pahlawan kita. Mengerti anak-anak!!" pidato dari bapak Slamet, kepala sekolah kami siap menghantarkan ratusan siswa keluar menuju gerbang,dengan amanah memikul dan menjaga nama baik almamater.
"Iya paaak... !!" sontak seluruh siswa menjawab pidato bapak Slamet ini dengan penuh semangat. Gema suara yang membuat burung-burung hinggap diranting pohon terbang tinggi, dan sang surya yang terus memberikan sinar paginya bersembunyi di balik awan putih.
Akhirnya para siswa bersiap siap memasuki setiap pintu bis yang berjejer di luar sekolah. Bergantian satu persatu di dampingi wali kelas kami, mendata seiap siswa yang ada, memastikan kehadiran setiap siswa.
Asap mulai keluar dari cerobong knalpot bis, diikuti dengan gemuruh suara mesin bis-bis berjalan perlahan lahan meninggalkan sekolah kami. Bis perlahan melaju kencang, memecah segerombolan kendaraan –kendaraan di jalan raya, teriakan anak – anak dijalan "Om telolet om" mengiringi setiap perjalan kami.
Menempuh perjalanan 1,5 jam, tidak terasa kami tiba di Trowulan. Canda tawa dan suka cita masih tergiang di dalam bus. Aku yang sedari tadi mendengarkan lagu lewat earphone, lebih nyaman menyandarkan kepala ini di jendela daripada berbaur dengan teman-teman.
Melewati sawah, desa dan rumah penduduk akhirnya bis yang mengantarkan kami berhenti dengan sukses. Puluhan siswa berbondong bondong turun dari bis dan menikmati asrinya suasana di pedesaan Trowulan. Candi- candi dari kejauhan terlihat kokoh menantang langit.
Kami berbondong bondong turun dari bis, menuju lapangan terbuka di area museum Trowulan. Para siswa berbaris dengan rapi dibawah terik panas sang surya, menunggu sambutan dari guru sejarah kami, bu Endah.
"Tes tes.. 1-2...
Selamat pagi menjelang siang anak – anak, selamat datang di situs kerajaan Majapahit, museum Trowulan. Hari ini kalian semua akan belajar, bagaimana sejarah itu terjadi,bagaimana kehidupan masa lalu, bagaimana masa awal mula persatuan Nusantara dibentuk. Hargailah dan hormatilah mereka anak-anak, belajarlah dari masa lalu." Bu Endah sempat menatapku tajam, kata-kata itu mengingatkanku sa'at aku bersama Astrid ketahuan pergi ke kantin.
"Sarah, bu Endah nyindir kita." Bisik lembut Astrid di telingaku.
"Hehehe... Iya tuh,biarin ae lah." Jawabku sambil tersenyum tipis.
"Ngawur kamu Sar, awas kualat kamu!." Astrid menepuk bahuku, mendorongku ke depan hingga aku hampir menyentuh Ima yang dari tadi berdiri tegap mendengarkan ceramah bu Endah.
"Apaan sih, ga bakalan ga.. Tenangno dirimu cak." Sangkalku sambil mengelus-elus bahuku yang didorong oleh Astrid.
"Baiklah anak-anak... disini kalian di bagi menjadi 8 kelompok berdasarkan kelas. Tujuan pertama kita adalah Telaga segaran - Pendopo Agung - gapura wringin lawang dan berakhir di gedung museum. 1 kelompok berisi 10 orang yang difasilitasi kereta wisata. Waktu kunjungan hingga jam 12 siang. setelah itu kalian boleh istirahat dan berkumpul kembali pada pukul 14.00 !" Tambah bu Endah, sambil menyerahkan peta pada masing masing ketua kelompok.
Sambil menunggu awal perjalanan, aku menguncir rambut panjangku, karena aku yakin, pasti hari ini kami semua akan menempuh perjalanan panjang yang diiringi teriknya sang surya.
Aku termasuk pada kelompok pertama, meskipun teman-teman memanggilku Sarah, tapi sebenarnya nama lengkapku Adelia Sarah Safitri. Aku pun satu kelompok dengan Astrid, dan Erik, ketua kelas kami. Beruntung Erik anak yang rajin menulis, jadi aku Tidak perlu mencatat semua yang ada disini, cukup untuk meminjam catatannya.
"Rik, ntar aku yang bikin makalanya aja ya.. Biar kamu sama anak-anak yang nyatet." Saranku pada Erik yang dari tadi membuka tas mencari buku dan pensil, peralatan wajib sebelum memulai perjalanan.
"Iya Rik, kamu yang nyatet. Aku yang membawa petanya sambil mengarahkan perjalananya, hehe.." Sahut Ima yang tiba-tiba berdiri di belakangku sambil nyengir penuh harap, karena kali ini Ima yang terpilih menjadi ketua kelompok.
Erik menghela nafas, dan membenarkan kacamatanya yang melenceng "Huuft,,, okee okeee.."
"Sudah siap belum teman-teman??!! Kalau sudah, kita mulai berangkat sekarang, yang lain udah pada nungguin di belakang." Seru Ima, kepalanya menengok ke belakang, memastikan anggotanya siap untuk berangkat.
"Okeh Im, mulai berangkat..!!" teriak Astrid yang berdiri di belakang, tepat disampingku, teriakannya benar-benar membuat gendang telinga serasa mau pecah jika tidak ditutupi.
kami melangkahkan kaki menuju lokasi pertama kami, telaga segaran. tak jauh dari tempat parkir bus, terdapat sebuah kolam buatan yang berumur lebih dari 700 tahun
Nama Kolam Segaran berasal dari bahasa Jawa 'segara' yang berarti 'laut', mungkin masyarakat setempat mengibaratkan kolam besar ini sebagai miniatur laut. Tembok dan tanggul bata merah mengelilingi kolam yang sekaligus memberi bentuk pada kolam tersebut.Kolam ini memiliki panjang 375 meter, lebar 175 meter, tebal tepian 1,6 meter dengan kedalaman 2,88 meter. Sebagai pembatas, kolam ini menggunakan konstruksi batu bata.
Semilir Angin sepoi-sepoi menyapu permukaan air kolam hingga menembus helai-helai rambutku. Untuk apa kolam seluas ini dibuat masih menjadi pertanyaan yang mengelilingi fikiranku.
"sejuuukk... Nyaman Banget disini ya!" Astrid menarik nafas panjang sambil menghentangkan tanganya.
"hmm.." Pandanganku seolah tak ingin lepas Dari gelombang air yang mengelilingiku.
"Buat apa ini kolam segaran ya?" Erik menggantungkan bukunya.
"memancing ikan.." Jawabku santai
"Ngawur..!!!" Astrid dan Erik serentak mnyambarku.
"Udah ah.. Lanjut napa sih, biar cepet selesai." Langkahku menjauhi mereka. menyebrang jalan menuju Pendopo Agung.
kami menuju Pendopo Agung, Bagunan ini terasa sangat sejuk, karena pohon-pohon besar, melindungi bangunan ini dari kejamnya sinar matahari. Kami memasuki pendopo, dan beristirahat sejenak.
Tiang - Tiang kayu yang begitu Kokoh mengelilingi Pendopo Agung, relief-relief kerajaan di depan pendopo bercerita kepada kami bagaaimana dahulunya sejarah itu terjadi. penobatan Raden Wijaya, dan kehidupan di masa kerajaan.
"Kereen.. Ini sudah 700 tahun lebih, dan kayu-kayu masih tetap berdiri kokoh. Bahkan hingga sekarang kita masih menggunakan pendopo untuk tempat kegiatan. Jadi, sudah digunakan sejak masa kerajaan Majapahit." Erik terbelalak, hingga pensil yang ada di tanganya tak sanggup berhenti.
"Eh,rek.. ini lho wajahnya Gajah Mada." Tangannya menunjuk pada sebuah patung Gajah Mada, yang berdiri tepat di depan pendopo agung.
"Mana.. Mana?" sahut teman-teman yang lain. sambil menghampiri patung pahlawan pemersatu nusantara tersebut. Aku pun juga ikutan menghampiri mereka, penasaran yang mereka sebut dengan Gajah Mada.
"Orangnya gendut ya.. "
"Sepertinya Sar, dari wajahnya aja udah pastiorangnya gendut. Alisnya juga menjulang tinggi keatas, berpipi tembem." Imbuh Astrid, sambilmencatat apa yang dilihatnya di sekitar .
"Tanpa Gajah mada, Indonesia tidak akan seperti ini ya." Erik mengalihkan pandanganya dari tiang-tiang pendopo.
"Selanjutnya apalagi ini.." Kakiku menjauh dari patung mahapatih, berjalan perlahan mendekati relief yang terletak di belakang pendopo.
" Liat apa Sar?" tanya Astrid
"Relief..." Sahutku dari belakang mereka.
"Relief apaan?." Suara langkah kaki Astrid semakin bergema mendekati tubuhku yang mematung memandang ukiran batu yang menceritakan masa lalu majapahit.
"Ini kisah gajah mada mengucapkan sumpah palapa" Tanganya menyentuh diantara ukiran-ukiran batu.
"Tapi sumpah beliau terpenuhi sehingga Indonesia menjadi sekarang Ini Teman" Ima menyahut Astrid dari belakang.
tiba-tiba pandanganku tertuju pada pintu di belakang relief. Kakiku melangkah, menjawab rasa penasaranku. Sebuah batu yang terlihat seperti pasak terpasang condong menusuk tanah. seorang pria tua menyadari kehadiranku yang mengusik pandanganya. Aku terdiam, namun pria tua itu seolah mengerti pertanyaanku yang tak sempat terlontar dimulutku.
"Ini dulunya tempat raja mengikat tungganganya" tanganya menunjuk pasak yang condong.
"Tempat ini dikeramatkan ya pak?"
"ya.. konon katanya Mahapatih Gajah mada yang memasang Pasak tersebut. selama pasak tersebut masih menancap di tanah, Indonesia Masih bersatu."
"Mmm..." aku mengangguk.
"Jangan pernah meremehkan sejarah nak.." Senyuman Bapak paruh baya perlahan mengalihkan pandanganku, berbali pergi. pandanganku terlepas ketika teman-teman menghampiriku.
"Siapa?" Tanya Ima, tanganya menyentuh bahuku, namun pandanganya mencari-cari jejak bapak paruh baya yang menghilang.
"Pengunjung.."
"Cepet banget ngilangnya.."
"udah, biarin Ima.."
Kami melanjutkan perjalan ke petilasan raden wijaya, dimana tempat tersebut menjadi saksi bisu sumpah palapa
Dibalik pintu masuk, kami disambut oleh gapura kecil bertuliskan aksara jawa.
"Buka Google.." Senggol Erik
"Kamu aja kali.." Jawabku ketus. Nggak penting juga buka aksara jawa demi keingintahuan arti dari tulisan yang terdapat di gapura.
"Majapahit dan nusantara nyali jaya " Erik membaca arti dari aksara jawa tersebut, kata-katanya terhenti ketika kelompok lain datang menghampiri.
"Eh.. Udah waktunya kelompok kita pergi." sahut teman-teman.
"kemana lagi ini.."
"Gapura Wringin Lawang"
"yes!!" akhirnya... sebentar lagi selesai juga kunjungan kami.
kami bersemangat menuju gapura wringin lawang.
Kereta wisata perlahan mengantarkan kami ke lokasi berikutnya, Gapura Wringin Lawang. Sambil ngobrol dengan sang sopir, jarak yang kami tempuh sejauh 2 km tidak terasa. Menurut keterangan dari sopir yang berpenduduk asli Trowulan, gapura Wringin Lawang dahulunya adalah pintu masuk ibu kota Majapahit. Dan situs Trowulan saat ini juga dahulunya adalah ibukota kerajaan Majapahit.
Situs gapura yang tidak beratap ini boleh dilewati oleh pengunjung, tidak seperti situs-situs yang lain. teman-teman mulai turun dari kereta untuk beristirahat sejenak di area gapura. Sang surya berdiri tegak di atas tiang tiang bumi, berdiri tepat di atas gapura Wringin Lawang. Pemandangan itu sekilas membuat kami terperanga Takjub melihat pemandangan yang langka itu. Hanya ada kami berdua, aku dan Astrid.
"Trid, baguus banget yoo.. Suangar cak." Kataku.
"Iyo cak, uapik.. Puanass banget Sar, berteduh dulu yuk.. Lagian aku juga haus banget, mau cari minum." Sahut Astrid, sambil mengelus tenggorokanya, hari ini memang panas sekali, karena kami berada tepat dibawah sinarnya.
Astrid pun lekas pergi meninggalkanku sebatang kara, berhadapan dengan saksi bisu kerajaan tua di Indonesia. Menurut penjelasan sopir kereta wisata, gerbang Wringin Lawang dahulunya adalah pintu (lawang) terdapat sepasang pohon beringin (wringin). Maka dari itu gapura ini disebut dengan gapura Wringin Lawang.
Aku lekas mengambil handphone yang ada disaku untuk selfie, sambil menunggu astrid datang membawa minuman. Toh,aku juga belum berfoto sama sekali. Aku menaiki satu persatu anak tangga gapura dan berdiri tepat di tengah-tengah, lalu mengambil posisi terbaik untuk selfie, akan tetapi matahari sepertinya enggan memberiku kesempatan. Ia menyinariku dengan cahaya panasnya, membuat wajahku silau. aku menutup mataku dan menolak sinarnya yang panas itu.
Lalu sang surya pergi melangkah dari peredaranya, aku perlahan membuka mataku dan..... semuanya berubah dalam sekejap.
Langit tampak berawan, Tidak silau seperti tadi. Pemandanganku Tidak lagi lapangan luas seperti tadi, berubah.. Kini di depanku terdapat pasar dengan hilir mudik orang berkeliaran membawa sayur-mayur, dan menyunggi sebuah gerabah di atas kepala. Aku terperanga, Tidak sepatah kata pun terucap. Ah, mungkin aku sedang berkhayal. Aku berusaha membalikkan badanku, tampak 2 orang prajurit tegap berdiri di depan gapura, disamping mereka terdapat sepasang pohon beringin besar, mungkin ini seperti yang diceritakan sopir kereta wisata tadi. Tunggu.. mana mungkin aku kembali ke masa lalu.. ??!! aku meremas rambut kepalaku, bolak-balik membalikkan badan berharap untuk kembali sedia kala. Ternyata hasilnya tetap, pemandangan tidak berubah.
Aku perlahan turun satu persatu anak tangga gapura, berjalan menoleh ke kiri dan ke kanan. Banyak orang yang menjajakan daganganya di atas meja kayu, ada pula yang menjajakanya di bawah tanah. Para laki laki memakai sarung yang setinggi lutut. Kebanyakan dari mereka bertelanjang dada, hanya ditutup oleh selendang lusuh, ada pula yang berpakaian. Sedangkan untuk para wanita, hanya memakai kemben, dan juga selendang yang menggantung di lehernya, rambut mereka juga di gulung untuk ibu-ibu, tapi untuk para gadis sebagian di gulung dan sebagian terurai.
Aku terus dan terus berjalan melewati para pedagang, transaksi jual beli, tawar menawar sangat terasa. Pada saat itu mereka menggunakan uang logam, ada pula yang menggunakan uang perak. Entahlah, apa nama satuan mata uang mereka, aku pun tidak tahu.
Dari suara hiruk pikukpasar, aku mendengar suara kecil rintihan dibalik pohon besar. Perlahan akumendekat ke arah sumber suara. Seorang gadis yang sepertinya berusia samadenganku sedang duduk di bawah pohon sambil merintih melihat luka yang ada dilututnya. Pakaianya sama seperti yang dikenakan orang-orang, kemben. Rambutnya hitam mengkilap, yangsebagian terurai dan sebagian lagi digulung. Kulitnya cerah berwarna kuninglangsat. Aku sempat berfikir kalau gadis ini berbeda dengan gadis yang kulihat di pasar tadi, terawat.
"Mmm.. Kamu.. Kenapa??" tanyaku kepadanya, aku duduk di depanya untuk memastikan keadaanya.
Gadis berparas cantik itu menarik tanganku hingga tubuhku terjatuh di sampingnya.
"Ssst... " Dia menempelkan telunjuk jarinya ke bibirnya, sambil menoleh ke kanan, sepertinya dia sedang bersembunyi dari seseorang.
"Aku tersandung batu, lututku jadi luka,, sakiit.." Dia menatapku, wajahnya sangat cantik. Bibirnya merah muda, tanpa lipstik, tanpa make-up. Benar-benar cantik natural. Tangannya terus menyentuh luka yang ada di lututnya.
"Mm.. Tunggu.. Sepertinya aku bawa plester luka." Tanganku mulai mencari kotak berlambang palang merah, mengambil kotak P3K yang selalu tersedia di tas. Mengambil plester luka dan menempelkanya di lututnya.
"Haah, apa inii ?? nempel di lututkuu.." Seru dia terheran-heran, seperti baru pertama kali melihat plester luka.
"Plester luka.. Memang nempel begitu.. Nanti juga lukamu sembuh"
"Haah?? Apa ada mantra di dalamnya ?? ini tidak bisa lepas." Tanyanya sambil mengelus-elus dan melihat plester lukanya.
"Hahaha... Tidak ada yang namanya mantra di zamanku. Kalo luka lecet pasti dikasih plester luka. Tunggu bentar..." Aku melepas jaketku, memasangkan hoodie di kepalanya.
"Nah.. Klo gini kan ga bakalan ketahuan. Kamu lagi kabur dari seseorang kan? Hehe.."
"Iya.. Makasih. Tutup kepala Ini benar-benar membuat penyamaranku berhasil. O iya, kita belum berkenalan. Siapa nama kamu? Kamu berasal dari mana?" tanya dia, Tidak terasa kami sudah duduk bersebelahan di bawah pohon yang rindang ini. Sepertinya dia orang yang baik, dan juga karena dia, aku juga memiliki teman di dunia ini.
"Namaku Sarah, aku sebenarnya sedang melakukan sebuah kunjungan wisata di museum Trowulan Majapahit. Entah kenapa aku sekarang berada di sini. Aku juga tidak tahu tempat apa ini, aku ingin pulang."
"Museum?? Museum apa?"
"Museum adalah tempat peninggalan Zaman dahulu." jawabanku membuatnya terperanga.
"Apa kamu... dari masa depan?" Tangannya yang bersih menutup seluruh bibir merah jambunya. matanya terbelalak tidak percaya.
"Iya.. Tapi tolong rahasiakan ini ya."
"hmm.." Dia menganggukkan kepalanya.
"Jadi kamu berasal dari masa depan. Apa di masa depan tempat ini sudah jadi museum Sarah? apa sudah tidak ada lagi kerajaan?"
"Iya.. Kamu benar.. Tunggu, kamu belum mengenalkan dirimu. Dan ini aku sedang berada dimana?"
"Hehe..., namaku Dyah. Dyah Nertaja. Aku sebenarnya sedang berlari dari kejaran prajurit. Aku bosan di istana terus-menerus. Kamu sekarang berada di ibukota kerajaan Majapahit Sarah."
"Haah??. Jadi kamu orang istana. Jadi aku sedang tidak bermimpi. Aku ingin pulang." Aku menghela nafas panjang. Dyah menatapku,
"Bagaimana kamu bisa kesini, Sarah?" tanyanya, sambil memegang bahuku, tampaknya kita sudah semakin akrab, lagipula aku juga tidak punya orang yang ku kenal lagi selain Dyah.
"Aku datang dari gapura Wringin Lawang. Pada saat itu matahari tepat berada di atas gapura, aku terkena silaunya lalu tiba-tiba aku kesini."
"Aneh.. padahal cuaca disini berawan ya." kepalanya menengadah ke atas, melihat gumpalan-gumpalan awan yang menutup sinar sang surya.
"Kamu tenang aja Sarah, aku akan mengenalkanmu pada Raka, siapa tahu Raka punya tempat tinggal sementara untukmu. Lagipula kamu sekarang temanku, Sarah." Dyah melanjutkan,Kata-kata itu sangat membuatku tenang, Dyah memang sangat baik. Tidak lama setelah itu, Dyah beranjak berdiri, aku pun membopohnya.
Ah sama. Aku pun tak suka sejarah. :D
Comment on chapter Sejarah, pelajaran yang membosankan !