Read More >>"> Mask of Janus (The Tree has been Cut Apart) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Mask of Janus
MENU
About Us  

Malam Vera van Ugde di gedung penyimpanan bukanlah malam yang menyenangkan. Malam itu justru malam paling tidak nyaman baginya sampai Vera sendiri hampir tidak dapat beristirahat sedikit pun. Bagaimana tidak, lampu gedung dibiarkan menyala--Vera tidak dapat tidur dengan lampu menyala--Jacob Mozniak mendengkur kencang, Clark Nolan mengigau dan menangis tentang ayahnya--demi Tuhan, menjijikan--bahkan Jessica Angelik mengawasi Vera sepanjang malam dengan sebuah pistol yang dia genggam erat di tangannya. Mereka bertiga benar-benar membuat Vera merasa paranoid sepanjang malam. Untungnya, Jennar E'Neille terbaring tidak jauh dari Vera, membuatnya merasa aman dari tatapan mata tajam Jessica meski hanya sedikit. Minno Leith, di lain pihak, tidur di sisi lain gedung sehingga tidak memberikan kesan apa pun bagi Vera.

Sebenarnya, meski mendapatkan semua ketidaknyamanan itu, Vera sempat tertidur sejenak karena badannya yang memang kelelahan. Dia tidur di atas ubin dingin yang keras, berada tepat di samping Jennar yang sudah sedari tadi tertidur. Hanya saja, terdapat sebuah hal buruk yang terjadi. Ketika Vera terbangun dari dunia mimpinya, dia tidak menemukan seorang pun yang berada di dalam gedung penyimpanan. Tidak ada siapa pun di sekitarnya. 

Vera hanya dapat merasakan angin pantai yang masih bertiup masuk dari pintu gedung penyimpanan yang terbuka, bau asin dari air laut berputar menyatu dengan bau minyak dari kotak-kotak kayu di dalam ruangan, dan udara lembap itu membuat kulit Vera embal untuk sesaat. Hanya keheningan yang dapat terdengar, tentu, selain suara ombak yang masih berdesir lembut di belakang latar, gemeresik dedaunan pohon yang ditiup angin pagi, dan suara deru napasnya sendiri yang meningkat di tiap detik sejak terbangun tadi. 

Untuk sesaat, Vera dapat merasakan ketakutan di kulitnya karena keheningan yang terasa janggal, merayap di pundaknya selagi rasa lelah masih bertengger di bawah mata. Tubuhnya sedikit pegal dan nyeri karena tidur di permukaan yang keras dan kasar, tetapi itu semua tidaklah Vera pikirkan. Dia harus mencari siapa pun di sekitar sana, siapa pun itu. Beruntung jika dia menemukan Jennar, tetapi jika Vera berhasil menemukan orang lain, itu pun tidak masalah.

Lantas, Vera bangkit dari duduknya. Meski kepalanya masih memaksa untuk tetap berbaring, tetapi Vera bangkit memaksa. Alhasil, dia sempat terhuyung di langkah pertama walau beberapa langkah setelahnya menapak lebih baik daripada sebelumnya. Namun, belum sempat Vera keluar dari ambang pintu gedung yang menganga lebar, dia sudah lebih dulu menemukan keberadaan seseorang dari ekor matanya.

Minno Leith, si pemuda yang bercitra identik dengan Nero van Ugde, adiknya, sedang menarik sebotol bir dari dalam tas yang berada di sudut ruangan--tas milik Clark, jika Vera tidak salah ingat. Pemuda itu tampak tidak menyadari keberadaan Vera dan tetap fokus dengan apa yang dia lakukan. Baru saat Minno membuka bir di genggamannya, akhirnya dia mendapatkan sosok Vera yang berjalan mendekat dengan napas panik. 

Tentu, Vera bertanya tentang keberadaan rekan-rekannya yang lain. Dia bertanya tentang ke mana perginya Clark dan Jacob, kenapa senapan Jessica sudah tidak berada di tempatnya bertengger semalam, dan ke mana Jennar pergi sampai tidak membangunkannya untuk sekadar mengajak. 

"Apakah mereka meninggalkan kita?" panik Vera yang takut jika semua pengorbanannya sia-sia. Dia tidak siap jika semua yang Jennar katakan kepadanya adalah sebuah jebakan atau apa pun yang membuat kehidupannya jauh lebih berantakan. Jadi, dia bertanya kepada Minno dengan wajah panik tanpa pikir panjang. "Apakah mereka semua sudah pergi ke Markas Pusat tanpa kita?"

Namun, alih-alih menjawab pertanyaan Vera yang datang beruntun, Minno lebih memilih untuk mengacuhkannya. Dia berjalan melewati Vera seperti gadis itu tidak berdiri di sana, kemudian berlalu tanpa kata-kata ataupun respons lainnya. Minno ... benar-benar menganggap Vera tidak ada.

"Apakah itu karena kemarin malam aku melabrakmu?" tanya Vera yang sedikit bersalah dengan apa yang dia lakukan saat pertama kali bertemu dengan Minno. Bagaimanapun, nalurinya sebagai seorang kakak yang harus melindungi adiknya tidak dapat dibohongi, dan dengan melihat keberadaan Nero di tempat konyol seperti di mana dirinya berada sanggup membuat dada Vera berubah getir. Untungnya, Minno bukanlah Nero, tetapi dia harus menelan malu karena salah menerka orang, terlebih, Vera sempat menjambaknya dengan kasar. 

"Maaf," pinta Vera dengan segenap hati. Namun, tetap, Minno hanya berlalu meski dia sempat melirik walau sejenak.

"Aku tidak tahu jika kau bukan adikku. Kalian benar-benar mirip," gerutu Vera yang mengekori Minno ke sisi gedung penyimpanan yang lain, tempat di mana Minno menghabiskan waktu dengan laptop kesayangannya. "Bisakah kau berhenti mengabaikanku? Demi Tuhan, aku sudah meminta maaf. Tidakkah kau merasa bahwa dirimu terlalu sensitif hanya karena sebuah jambakan?"

Minno mendengkus. "Seharusnya, Jennar tidak melindungimu sejak awal," lirik Minno dengan tatapan mata biru dinginnya. Mata itu memang tidak secerah dan setajam mata Jennar, tetapi sudah cukup tajam untuk membuat Vera diam. Saat itulah Vera baru sadar seberapa kental keheningan yang dia buat hanya karena tatapan sepasang mata seorang pemuda. Hanya saja, Vera tidak dikenal orang karena kepatuhannya, lantas dia berbalik menyerang dengan tatapan mata hijau yang lebih tajam.

"Jennar melakukan pekerjaannya. Kurasa itu sebuah profesionalitas."

"Justru sebaliknya," ketus Minno. "Dia melindungimu karena rasa sentimen yang seharusnya tidak dipakai untuk garis pekerjaan seperti ini. Dia cacat."

"Kaulah yang cacat!" sekarang, Vera tidak menahan amarahnya. Dia membentak Minno sebagaimana dia membentak Nero. Namun, Minno bukanlah Nero yang akan diam dengan bentakan, justru sebaliknya.

Minno bergegas duduk di atas kotak kayu di samping laptopnya, membakar rokok sebelum meminum birnya. "Dengar, Bedebah. Agency, atasan kami, memerintah kami untuk memaksamu masuk ke Organisasi semenjak sebulan yang lalu. Aku belum ikut saat Jennar, Jessica, Clark, dan si idiot Jacob ditugaskan saat itu. Namun, karena kelalaian Jennar yang terus mengulur waktu di dalam misinya, lantas Agency mengirimku agar dapat membereskan semua kebodohannya ini lebih cepat. Hal itu berarti, Jennar cacat melakukan tugasnya dan Agency memaksaku untuk menyelesaikan misi ini secepat mungkin. Namun, ternyata, Agency lelah menunggu. Tadi malam, sebelum Jennar pergi menjemputmu, Agency memerintahkan kami untuk lebih baik membunuhmu daripada mengajakmu bergabung menggunakan omongan manis yang nyatanya sangat memakan waktu. Namun, Jennar bebal. Dia langsung pergi menjemputmu tanpa komando dari siapa pun. Lagi-lagi, dia bermain perasaan yang tidak seharusnya dia mainkan. Sangat cacat."

Vera membeku di tempatnya berdiri. "Jadi ..., Jessica semalam ...." 

"Ya, dialah satu-satunya orang pintar selain diriku di sini. Sisanya adalah sampah," dengkus Minno yang menarik laptopnya dan kembali mengabaikan Vera, "termasuk dirimu."

"Hei! Kau benar-benar ofensif--"

"Katakan kepadaku, van Ugde," potong Minno yang tidak menoleransi pembicaraan kosong seperti yang mereka bicarakan sedari tadi. "Apakah kau percaya akan dunia yang lebih daripada apa yang dapat kaulihat? Demimonde--jika kau lebih menyukai istilah itu--dunia di mana kematian adalah napas kehidupan, manusia tidak lebih dari sekadar angka, dan mimpi buruk yang berubah menjadi realita. Apakah kaupercaya?"

"Distopia, maksudmu?" selidik Vera yang terbawa topik.

"Dunia di mana semua hal yang tidak dapat kaubayangkan bersatu dan berubah menjadi sesuatu yang sangat kautakuti," Minno mengangguk. "Ya, distopia. Apakah kaupercaya?"

Vera berubah skeptis. Tentu, ada pembicaraan lain yang seharusnya mereka bicarakan, misalnya di mana keberadaan rekan-rekan mereka yang lain saat ini. Namun, tidak. Minno tidak ingin membicarakan itu dan lebih memilih menatap Vera seakan dia menuntut sebuah jawaban. Tatapan tajam itu juga salut menepis topik lain yang seharusnya mereka bicarakan sejak awal. Jadi, Vera tidak memilih pilihan lain selain menjawab. 

"Tidakkah dunia itu begitu kejam? Tidakkah dunia itu penuh dengan kutukan? Tidakkah dunia itu adalah yang kita tinggali sekarang?" ketus Vera dengan pikirannya yang bulat. "Jika kau berpikir bahwa diriku percaya akan kedamaian abadi, persatuan, dan ideologi konyol lainnya, maka kau salah besar. Aku--kita--hidup di dunia realistis. Fakta berada di mana-mana. Kutukan ... berada di mana-mana."

"Tidak dengan pandangan sosial ataupun norma kepercayaan?" sanggah Minno dengan wajah intimidasi yang tidak pernah Nero berikan kepadanya. Untung saja, Vera tidak terbawa arus. Dia mengangguk dengan mantap tanpa tatapan ragu sedikit pun. 

"Bagus," kata Minno yang anehnya tersenyum. "Setidaknya, kau dapat memisahkan mana dunia asli dan mana dunia fantasi. Aku terkesan." Saat itulah, untuk sekilas, Vera dapat melihat sisi Nero di dalam diri Minno. Mereka berdua sama-sama melakukan hal yang ... tidak beralasan. Nero akan melakukan hal-hal bodoh tanpa alasan, tetapi Minno justru sebaliknya. Pemuda itu membicarakan fakta tajam meski tetaplah tidak beralasan. Contohnya, Minno tiba-tiba menyodorkan rokoknya kepada Vera--benar-benar tindakan yang tidak beralasan.

"Aku tidak merokok," tolak si gadis, tetapi Minno memaksa.

"Aku juga tidak," balasnya dengan senyum, dan entah mengapa Vera mengambil rokok itu lalu duduk tepat di samping Minno yang meminum birnya. Mungkin, Vera juga mulai melakukan hal-hal yang tidak beralasan.

"Aku benar-benar meminta maaf tentang tadi malam," Vera mengembalikan rokok Minno sambil mengembuskan asap yang keluar berburu. Tentu, itu bukan pertama kalinya dia merokok. Danis Chandler saja yang tidak tahu jika Vera merokok diam-diam.

Minno juga mengembuskan asap dari mulutnya, lalu tersenyum kecut seperti apa yang Vera katakan adalah sebuah bualan. "Kata maaf bukanlah mantra sihir yang dapat mengubah masa lalu."

"Kau benar-benar sensitif hanya karena sebuah jambakan, Minno--"

"Leith," koreksi Minno yang tidak membiarkan Vera lebih akrab dengannya. "Hanya karena aku memberikan rokokku kepadamu bukan berarti kaudapat seenaknya menganggap dirimu akrab dengaku. Pergilah," usir Minno dengan wajah datar. Di saat yang bersamaan, Jennar dan rombongannya baru saja kembali entah dari mana dan mulai membuat suara gaduh di dalam gedung. Vera tersenyum ketus.

"Kau tidak benar-benar ingin sendirian, Minno," bisik Vera saat Jennar datang mendekati mereka. "Aku tahu seperti apa seorang penyendiri, dan kau bukanlah orang seperti itu." Kemudian, Vera turun dari kotak kayu dan meninggalkan Minno. Minno sendiri melirik tajam ke arah Vera seakan meminta penjelasan, tetapi mulutnya bungkam saat Jennar menatapnya dalam diam.

"Apa yang kalian bicarakan?" tanya Jennar dengan suara hampir berbisik.

"Hanya menemaniku sebentar."

"Kau yakin?" tanya Jennar sekali lagi. Namun, Vera mengabaikannya. Bagaimanapun, pembicaraannya dengan Minno tadi bukanlah sesuatu yang penting untuk dibahas sehingga Vera berlalu tanpa kata-kata. Meskipun begitu, Vera sadar akan satu hal tentang Minno Leith, yaitu fakta bahwa pemuda itu ... kesepian.

Jennar E'Neille dan yang lain baru saja kembali dari toserba. Mereka membeli bir, beberapa roti bungkus, bir, dan camilan ..., dan lebih banyak bir. "Di mana air mineral?" tanya Vera yang tidak tahu dengan apa dia akan minum nantinya. "Kalian tidak membelinya?" tebak Vera, tetapi alih-alih mendapatkan jawaban, Jacob dan Clark justru tertawa terbahak-bahak--petanda mereka benar-benar tidak membeli air mineral satu botol pun. "Dasar orang gila," gerutu Vera yang merasa terhina.

Selagi Vera van Ugde menyantap roti bungkusnya, Jennar memberikan sebuah paspor dan kartu identitas palsu kepadanya. Vera sudah mengerti apa arti dari kedua benda itu tanpa perlu Jennar jelaskan. Itu berarti bahwa dia memiliki identitas baru untuk kehidupannya yang baru. Namun, Vera tidak menyangka jika Organisasi--atau seperti itulah Minno memanggil Para Cahaya--repot-repot menyediakan semua itu untuknya, belum lagi dengan selembar tiket pesawat, setumpuk pakaian baru, dan sebuah seluncur yang sengaja Jennar belikan untuknya. "Sebagai penguat alibi," dia bilang, dan Vera mengerti betul ketika Jennar memberikannya Visa turis. Namun ....

"Sungguh?" tanya Vera dengan nada setengah kesal. "Memberikanku sebuah seluncur sebagai alibi menjadi seorang turis di Denmark. Apakah kau gila? Tidak ada seorang pun mau berseluncur di tempat ini, Genius." Sayangnya, Jennar berkeras hati agar Vera membawa seluncur itu saat hendak pergi ke Markas Besar sebentar lagi.

Saat sedang bersiap untuk berangkat, Vera baru menyadari bahwa tidak ada seorang pun dari mereka berenam yang berangkat dengan pesawat yang sama. Mereka semua berpencar dan berangkat sendiri-sendiri. Orang yang pertama pergi adalah Jessica Angelik saat Vera baru saja mulai bersiap-siap. Wanita itu memiliki rute Denmark – Amsterdam – London, berbeda dengan Jacob Mozniak yang berangkat kedua dengan rute Denmark – Berlin – Paris – London. Yang pergi ketiga adalah Jennar E'Neille dengan rute Denmark – Belgium – London. Lalu, Vera dengan rute terpendek Denmark – London sebelum Minno Leith menyusul dengan rute Denmark – Skotlandia – London. Clark Nolan, di lain pihak, berangkat terakhir dengan rute Denmark – Manchester – London.

Sebelum Jennar pergi meninggalkan Vera, mereka sempat berbicara empat mata walau sejenak. Pembicaraan itu bukanlah hal yang begitu penting untuk dibahas, seperti begitulah yang Vera pikirkan.

"Berhati-hatilah," peringat Jennar saat mereka berdua sudah hendak berpisah di bandara. "Bagaimanapun, misiku akan gagal jika terjadi sesuatu denganmu."

Bualan. "Aku akan baik-baik saja. Ini bukan pertama kalinya aku pergi ke luar negeri. Terlebih, tujuanku hanya ke London," sanggah Vera di tengah ramainya bandara. "Aku hanya kembali ke kota itu setelah empat hari meninggalkannya. Bukan hal yang patut untuk ditakutkan."

"Namun, dengan identitas palsu," bisik Jennar, "semua patut untuk ditakuti, Nona van Ugde." 

"Tidak menakutkan sampai seperti seluncurmu," canda Vera, dan akhirnya Jennar berhenti memasang raut paranoianya. Pria itu tersenyum dan memukul pelan lengan Vera sebelum pergi.

"Tunggu aku di London," dia bilang.

Vera mengangguk. "Akan kutunggu," balasnya. Setelah itu, Jennar berpaling pergi, meninggalkan si gadis bersama Clark Nolan yang baru saja kembali dari toilet.

Segera setelah Jennar menghilang dari sudut pandangnya, Vera langsung menarik tangan Clark dan memohon. "Bawa kembali seluncur itu," pintanya yang benar-benar tidak suka dengan pemberian Jennar. "Bawalah bersamamu atau buanglah. Benda itu milikmu sekarang, terserah apa yang akan kaulakukan kepadanya."

Wajah Indian Clark hendak menolak. "Jennar tidak akan suka jika--"

"Jennar mungkin tidak suka, tetapi aku membenci semua ide itu sejak awal. Jadi, tolonglah." Vera meremas pelan lengan kukuh Clark. Ketika pria itu hendak menolaknya lagi, Vera tidak membiarkannya. "Kumohon," dia bilang bahkan sebelum Clark sempat menolak. Alhasil, pria itu mengangguk lemas tanda terpaksa.

"Aku akan kembali ke gudang penyimpanan dan menaruhnya di sana," begitulah rencana Clark, dan Vera tidak berkata-kata banyak karena sudah terlanjur senang. "Lagi pula, ada barang yang tertinggal di sana, jadi aku harus kembali."

Tidak dapat setuju lebih lagi, Vera cepat-cepat mengangguk. Gadis itu bahkan membantu Clark untuk memindahkan seluncur terkutuk pemberian Jennar ke troli milik Clark. Segera setelah seluncur itu dipindahkan, Clark hendak langsung pergi dari sana agar tidak ada waktu yang terbuang, tetapi Vera menahannya sebentar.

"Di mana Minno?"

"Di ruang tunggu, mungkin. Jadwal pesawatnya sebentar lagi akan berangkat, tidak aneh jika dia pergi lebih cepat," jawab Clark.

"Ah, ya," itu alasan rasional. Lagi pula, pemuda itu juga tidak suka untuk ditemani. "Sedangkan dirimu? Jam berapa pesawatmu berangkat?"

"Sekitar tiga jam. Sebaiknya aku bergegas."

"Benar. Namun, Clark," potongnya sekali lagi. "Apakah kau bisa merahasiakan semua itu dari Jennar? Aku tidak ingin dia tahu."

Clark tersenyum kecil. "Tentu, dengan bayaran dua botol bir."

"Sepakat." Vera mengangguk. "Satu hal lagi, jika kau berbaik hati," kali ini, entah mengapa Clark tiba-tiba mematung dengan wajah datar tetapi mata cokelatnya menunjukkan ketakutan. Vera tidak mengerti dengan tatapan aneh itu, jadi dia tidak memikirkannya. 

"Menghilanglah."

Clark tidak mengerti apa yang Vera bicarakan. "A-Apa?"

Namun, Vera menggeleng dengan senyum kikuk di bibirnya. "Bukan apa-apa. Sebaiknya, kau bergegas."

Clark dengan air muka janggal lantas berjalan menjauh dengan trolinya. Dari langkah kakinya yang lamban dan kepala yang dia geleng beberapa kali, Vera dapat tahu bahwa pria itu belaga aneh. Entah, mungkin karena omong kosong yang baru saja dia katakan tadi. Omong kosong yang seharusnya tidak Vera katakan sejak awal.

Sebelum Vera berangkat, dia sempat mencari keberadaan Minno untuk sekadar menyapanya sebentar. Sayangnya, Minno tidak berada di ruang tunggu di mana Vera berada sekarang. "Mungkin dia berada di sisi lain bandara, atau sedang ke tempat lain," gumam Vera kepada dirinya sendiri sebelum dia melangkah masuk ke dalam pesawat. Padahal, dia ingin sekali berbicara sebentar dengan pemuda itu sebelum berangkat.

Selama di perjalanan, Vera tidak menemukan kendala apa pun. Visa, paspor, dan kartu identitas palsunya diterima tanpa satu pun masalah, barang bawaannya tidak ada yang aneh, dan semua berjalan sesuai dengan rencana. Namun, sesampainya di London, Vera tidak tahu harus berbuat apa. Lebih tepatnya, dia lupa harus berbuat apa. Untungnya, Jessica Angelik tiba-tiba datang dan mengiringnya ke mobil jemputan tanpa kata-kata.

Awalnya, Vera enggan untuk mematuhi tatapan Jessica yang memaksanya memasuki mobil. Tidak ada seorang pun di dalam sana, tidak dengan Jennar, tidak dengan Jacob, bahkan tidak dengan pengemudi. Itu semua terasa salah bagi Vera. Namun, Jessica menyangga cepat.

"Aku yang akan mengantarmu ke Markas Besar."

Vera menggeleng. "Jennar bilang, aku harus menunggunya di bandara."

"Rencana berubah, Putri Denmark. Sekarang, berhentilah menjadi gadis manja dan dengar perkataanku: Masuk!"

Vera tetap berkeras hati. Dia merasa tidak aman. Namun, karena kedatangan Jacob Mozniak, akhirnya Vera ikut masuk bersama pria itu. 

"Jennar mendapatkan sedikit masalah di perjalanannya," kata Jacob saat mobil akhirnya berjalan memasuki wilayah kota yang ramai. "Ah, Minno juga sama. Alhasil, mereka harus berhenti sebentar di bandara transit untuk mengurus masalah yang ada."

"Masalah apa?" Vera penasaran. Sayangnya, tidak ada seorang pun yang repot-repot menjelaskan. Sontak, suasana di dalam mobil berubah hening, bahkan Jacob yang biasanya paling konyol dan berisik tiba-tiba bungkam tanpa kata-kata. Mereka semua diam.

Tidak lama setelah memasuki wilayah kota, mobil yang Jessica kendalikan berhenti di depan sebuah bar yang tergolong sepi. Tidak aneh, sekarang masih tengah hari di London, biasanya di detik-detik tengah malamlah bar-bar akan penuh oleh pengunjung. Ketika berada di dalam bar, Vera menemukan dua orang pria yang sedang mengobrol di meja bar, seorang bartender yang melayani para pengunjung, sekumpulan gadis pencinta minuman keras, seorang penjaga, dan seorang pria tua dengan sebotol Tequila di sudut ruangan. Vera tidak dapat berkata-kata banyak karena dia sendiri tidak mengerti mengapa Jessica dan Jacob membawanya ke tempat itu. Terlebih, tempat itu tidak terlihat seperti Markas Besar sedikit pun.

Jessica yang tidak membuang-buang waktunya langsung pergi ke meja bar, berbisik kepada sang bartender, lalu pelayan pria itu memberikan tatapan menyelidik kepada Vera sebelum dia memberikan sebuah kunci kepada Jessica. "Ikuti aku," perintahnya kepada Vera selagi Jacob justru pergi menikmati waktunya di meja bar. Alhasil, Vera harus mengikuti wanita yang kemarin hendak membunuhnya.

Nona Jessica Angelik membimbing Vera ke sudut ruang dansa, ke sebuah pintu terkunci di sebuah sisinya. Jessica membuka pintu itu dengan kunci yang bartender tadi berikan, setelah itu dia menyuruh Vera berjalan masuk lebih dulu sebelum dirinya. Tentu, Vera merasa enggan karena dia tidak memercayai Jessica sejak awal, tetapi karena tatapan penuh paksa dan keheningan janggal dalam beberapa detik, akhirnya Vera mengalah.

Di balik pintu itu, Vera menemukan sebuah lorong dengan barisan selusin pintu di masing-masing temboknya. Dinding-dinding lorong dilapisi dengan karpet merah delima yang diterpa lampu kuning dari atas. Pintu-pintu terbuat dari kayu mahoni, lantainya terbuat dari marmer, sedangkan langit-langitnya terbuat dari papan kapur berukirkan tanaman yang epik. Lorong itu beraroma cemara, Vera dapat menghirupnya tanpa perlu bernapas panjang. Lorong itu benar-benar berbeda dengan bar di sisi lain pintu masuk tadi.

Jessica berjalan lebih dulu setelah dia mengunci pintu di belakang mereka. Dia membimbing Vera untuk melewati lampu demi lampu, pintu demi pintu, dan aroma cemara yang semakin lama semakin harum. Vera menyukai aroma itu. Namun, tidak sampai Jessica tiba-tiba berhenti dan membuka sebuah pintu. 

"Masuk," katanya dengan suara datar meski wajah tetaplah menunjukkan perintah. Meski enggan, Vera tetap melangkah masuk. Saat itulah Jessica menutup pintu ruangan dan meninggalkan Vera sendirian. 

Hal pertama yang matanya tangkap dari ruangan yang dia masuki adalah meja kerja yang terbuat dari kayu alder yang kemerahan. Setelah itu, matanya beralih ke rak buku di belakang meja, kursi kerja berbahan kulit tebal, lingkaran sofa di sisi ruangan yang lain dengan meja kayu pendek di tengahnya, terdapat lampu gantung di tengah ruangan, dan setelah sekian detik, barulah Vera sadar bahwa tembok ruangan itu tidak berkarpet merah delima tetapi cokelat muda, lantainya bukan marmer putih melainkan obsidian, dan aroma di dalam sana bukanlah aroma cemara tetapi aroma kayu manis. Perubahan latar itu lagi-lagi membuat Vera merasa terpukau.

"Duduklah," kata seorang wanita tua yang tiba-tiba muncul dari belakang Vera, muncul dari pintu yang sudah lama Jessica tutup.

Vera hampir melompat kaget jika jantungnya lemah, tetapi untung saja tidak begitu. Ketika dia melirik kejut ke belakangnya, dia menemukan sumber suara yang menyahutnya tadi. Ya, seorang wanita tua. Namun, tidak seperti wanita tua yang benar-benar tua. Wanita di depannya sekarang memang memiliki keriput di wajah dan tangannya, rambut brunette-nya yang sedikit beruban, tetapi dia tidak terlihat peyot seperti wanita seumurannya. Wanita di depannya itu terlihat cantik dengan mata biru kelam, rambut brunette bergelombang yang digerai, dan wajah juga kulitnya yang terlihat sedikit pucat. Dia memakai rompi kantor berwarna hijau tua, rok sepanjang bawah lutut yang berwarna senada, dan sepatu heels hitam. Wanita tua itu lebih seperti ibunya, Veronica van Ugde--tetap cantik di usia tua.

"Aku adalah Agency, Ketua Departemen Sosial," kata si wanita dengan segurat senyum di bibirnya, senyum aneh yang penuh dengan intimidasi dan ... ancaman. "Selamat datang di Cahaya."

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (49)
  • felitas3

    @SusanSwansh pembohongan publik! Puggy lebih bagus ya, lebih laku juga. @quinheillim oh yes, pedes kritiknya.

    Comment on chapter The Tallest Tree
  • quinheillim

    @SusanSwansh sip, siap2 aja dapet komentar macem dari editor...

    Comment on chapter The Tallest Tree
  • SusanSwansh

    @quinheillim haha. Tenang aja. Aku siap dikritisi kok. Malah bagus buat progress ceritaku.

    Comment on chapter The Tallest Tree
  • quinheillim

    @SusanSwansh yah, @felitas3 mah udah tau lah gimana gue kalo komentarin karya orang lol

    Comment on chapter The Tallest Tree
  • SusanSwansh

    @felitas3 wew. punyaku lebih ancur padahal dari punyamu.

    Comment on chapter The Tallest Tree
  • SusanSwansh

    @quinheillim hhaha. Nggak papa. Emang ceritaku butuh dikritisi. Masih banyak kekurangannya. Aku tau itu.

    Comment on chapter The Tallest Tree
  • felitas3

    @quinheillim tapi dikomentarin panjang bikin puas wkwk. Pasti yang Kak Susan nanti ga banyak komen kayak yg aku HAHHAHAH /plak. Yang aku kan ancur.

    Comment on chapter The Tallest Tree
  • quinheillim

    @felitas3 hidupmu pas baca cerita ini ternyata cukup keras, Nak, loool

    Comment on chapter Epilogue
  • SusanSwansh

    @quinheillim kalau bukan cerita SMA aku mau baca.ekekek.

    Comment on chapter The Tallest Tree
  • felitas3

    @quinheillim yaiya jauh, kalo ada yg bilang MoJ romansa, mungkin matanya katarak ya? Atau salah naskah? Wkwk

    Comment on chapter Epilogue
Similar Tags
Rumah Jingga.
2020      766     4     
Horror
"KAMU tidAK seharusnya baca ceritA iNi, aku pasti meneMani di sAmpingmu saaT membaca, karena inI kisahku!" -Jingga-
Mic Drop
363      288     2     
Fan Fiction
Mic Drop (Ethereal/7 Raga 1 Asa) Ethereal adalah boy band ternama dari kahyangan (langit lapis ke-7) beranggotakan 7 pangeran tampan (MarJinny, MarYoonGa, MarJayHop, MarJooni, MarChimmy, MarTaeVi, dan MarJuki). Selain berparas tampan, mereka juga memiliki suara yang indah, sehingga dijuluki the golden voices alias suara emas. Masing-masing anggota memiliki mic dengan warna yang berbeda. Se...
Navia and Magical Planet
430      302     2     
Fantasy
Navia terbangun di tempat asing tak berpenghuni. Pikirnya sebelum dia dikejar oleh sekelompok orang bersenjata dan kemudian diselamatkan oleh pemuda kapal terbang tak terlihat bernama Wilton. Ah, jangan lupa juga burung kecil penuh warna yang mengikutinya dan amat berisik. Navia kaget ketika katanya dia adalah orang terpilih. Pasalnya Navia harus berurusan dengan raja kejam dan licik negeri ters...
Edelweiss: The One That Stays
1385      589     1     
Mystery
Seperti mimpi buruk, Aura mendadak dihadapkan dengan kepala sekolah dan seorang detektif bodoh yang menginterogasinya sebagai saksi akan misteri kematian guru baru di sekolah mereka. Apa pasalnya? Gadis itu terekam berada di tempat kejadian perkara persis ketika guru itu tewas. Penyelidikan dimulai. Sesuai pernyataan Aura yang mengatakan adanya saksi baru, Reza Aldebra, mereka mencari keberada...
A.P.I (A Perfect Imaginer)
105      88     1     
Fantasy
Seorang pelajar biasa dan pemalas, Robert, diharuskan melakukan petualangan diluar nalarnya ketika seseorang datang ke kamarnya dan mengatakan dia adalah penduduk Dunia Antarklan yang menjemput Robert untuk kembali ke dunia asli Robert. Misi penjemputan ini bersamaan dengan rencana Si Jubah Hitam, sang penguasa Klan Kegelapan, yang akan mencuri sebuah bongkahan dari Klan Api.
Hei, Mr. Cold!
266      220     0     
Romance
"Kau harus menikah denganku karena aku sudah menidurimu!" Dalam semalam dunia Karra berubah! Wanita yang terkenal di dunia bisnis karena kesuksesannya itu tak percaya dengan apa yang dilakukannya dalam semalam. Alexanderrusli Dulton, pimpinan mafia yang terkenal dengan bisnis gelap dan juga beberapa perusahaan ternama itu jelas-jelas menjebaknya! Lelaki yang semalam menerima penolakan ata...
La Nuit
10849      2048     8     
Mystery
La Nuit artinya Malam, yang diambil dari bahasa Prancis. Mengisahkan 3 remaja yang masih duduk di bangku sekolah menengah, mencari bukti yang membuat kakak tiri Ren meninggal dan juga kecelakaan orang tua Gemi. Pelaku tersebut, belum di tangkap, sampai akhirnya salah satu dari mereka menjadi korban.
The Maiden from Doomsday
9904      2134     600     
Fantasy
Hal yang seorang buruh kasar mendapati pesawat kertas yang terus mengikutinya. Setiap kali ia mengambil pesawat kertas itu isinya selalu sama. Sebuah tulisan entah dari siapa yang berisi kata-kata rindu padanya. Ia yakin itu hanya keisengan orang. Sampai ia menemukan tulisan tetangganya yang persis dengan yang ada di surat. Tetangganya, Milly, malah menyalahkan dirinya yang mengirimi surat cin...
Pertualangan Titin dan Opa
3032      1182     5     
Science Fiction
Titin, seorang gadis muda jenius yang dilarang omanya untuk mendekati hal-hal berbau sains. Larangan sang oma justru membuat rasa penasarannya memuncak. Suatu malam Titin menemukan hal tak terduga....
Hidden Path
5120      1328     7     
Mystery
Seorang reporter berdarah campuran Korea Indonesia, bernama Lee Hana menemukan sebuah keanehan di tempat tinggal barunya. Ia yang terjebak, mau tidak mau harus melakukan sebuah misi 'gila' mengubah takdirnya melalui perjalanan waktu demi menyelamatkan dirinya dan orang yang disayanginya. Dengan dibantu Arjuna, seorang detektif muda yang kompeten, ia ternyata menemukan fakta lainnya yang berkaita...