"Win, apa-apaan kau?! Turunkan pisau itu!" Seru Lisa.
Windy tersenyum, menikmati bayangan ketakutan di bola mata Lisa yang membelalak melihat pisau sashimi yang teracung di depannya. Ujung pisau mengilat memantulkan cahaya lampu dapur. Lisa dengan susah payah berusaha menelan gumpalan kepanikan yang melandanya.
"Win ... taruh pisau itu di tempatnya lagi, please!" Bujuknya, mencoba menenangkan. "Mungkin kau perlu meminum obatmu dulu?"
"Kau juga berpikir aku sudah gila? Apakah Tony juga mengatakan padamu bahwa istrinya gila?!" Urat-urat matanya memerah menahan amarah. Windy tidak dapat melihat dengan fokus, ia dapat merasakan bola matanya bergerak-gerak gelisah dalam ceruknya. Rasanya ia mulai kehilangan dirinya.
Windy maju selangkah, tubuhnya bergoyang tidak stabil seperti berada dalam kendaraan yang bergerak. Kemudian ia maju selangkah lagi, memaksa Lisa mundur ke sudut meja dapurnya sambil menikmati darah yang mengering dari paras cantik di depannya.
"Kau mau lari ya? Mau lari kemana dengan perut sebesar itu?" Tawa Windy berderai.
Lisa menggeram dan mengambil kesempatan melarikan diri dari Windy ketika dilihatnya wanita itu tertawa terbahak-bahak sambil menengadah. Tetapi tangan Windy mengayun cepat, menebas secara asal bagian tubuh apapun yang barusan lewat didepannya.
Bunyi irisan daging terdengar di telinganya, kemudian terkesima ia melihat muncratan darah yang melayang perlahan di depan matanya, menempel pada kabinet dapur dan menodai granito di bawahnya yang berwarna krem. Terdengar bunyi berdebum beberapa meter di depannya dan Windy kembali terkekeh geli.
Suara lirih yang menahan sakit menarik perhatiannya. Mengetahui buruannya sudah terluka, Windy berjalan perlahan ke balik dapur yang menuju ruang makan. Dilihatnya Lisa tergeletak di sana--di atas karpet berbulu tebal--wanita itu terisak sambil memengangi perutnya yang sakit sekali sekarang. Ketika wanita itu membalikkan tubuhnya, daging sepanjang dada dan lengannya terbelah membuka.
Dengan segera dilepasnya pisau itu ke lantai dan menghampiri Lisa yang sudah tidak mampu lagi bergerak. "Oh, Lisa! Tanganmu!!! Kau berdarah! Oh, Tuhan ...." Wajah Windy menggambarkan pukulan rasa panik yang melandanya tiba-tiba, seakan-akan bukan dia pelakunya.
Keringat dingin bercucuran dari wajah cantik di depannya. Dengan sisa teanganya, Lisa mencengkram baju Windy pada bagian lehernya, mendekatkannya ke wajahnya untuk berbisik, "Windy, kumohon ... demi bayiku, lepaskan aku. Aku tidak akan melapor, aku bersumpah!" Teriak Lisa, kemudian tangisnya pecah. Darah tidak lagi menetes, namun mengalir deras dan bau anyir mulai mewarnai udara dalam ruangan.
"Bayi? Oh, bayi itu," Windy memiringkan kepalanya, mengingat-ingat apa yang sudah dikatakan Tony padanya. Dan ketika ia sudah merasa ingatannya benar, Windy tersenyum lembut.
"Kau tau, Tony mengatakan untuk menanyakan apakah bayi itu bisa diadopsi? Kurasa sekarang kau tidak akan keberatan bukan?" Senyumnya berubah menjadi seringai jahat yang mengancam. Windy merangkak perlahan meninggalkan Lisa ke arah pisau itu berada.
"Tidak!!! Tidak, jangan!!! Kumohon, Win, suamiku ...." Penjelasan Lisa tidak pernah selesai terucap dari mulutnya, ketika urat lehernya putus ditebas pisau setipis kertas.
Mati kau jalang!!! ... Oh, bayiku.
Windy berkutat lagi dengan pisaunya, menorehkan ujung tajam itu ke daging perut Lisa yang menggunduk tempat dimana jabang bayi berada. Bak seorang dokter, ia mengorek keluar isi perut Lisa berikut janinnya yang belum sempurna.
Diangkatnya rahim yang membungkus janin itu dan dengan satu gerakan ringan tali pusar janin itu dipotong untuk memisahkan dari induknya. Terkejut dengan pancuran darah segar yang keluar dari saluran sebesar ibu jari, Windy dengan refleks melemparkan benda itu ke lantai. Kemudian ia terkesiap, darahnya seakan ikut tercurah keluar.
"Oh, tidak ... bayiku mati. Bayiku mati!"
Ia merangkak cepat, menghampiri onggokan daging yang bersimbah darah beberapa meter di depannya dan tidak tau bagaimana ia harus menyentuhnya. Hatinya terkoyak melihat jabang bayi yang tidak lagi memiliki rupa, tangisnya pecah dan segera berubah menjadi raungan.
Ia harus pergi dari sini. Tony akan sangat marah dan pasti akan menceraikannya, jika ia mengetahui bayi itu sudah mati. Kembali Windy menangis sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya kedepan kebelakang.
Ketika tangisnya mereda, Windy memutuskan untuk pulang ke apartmentnya.
@ellyzabeth_marshanda it's real beib <3
Comment on chapter 02.