Tony sudah pergi dua hari, dua hari pula ia merasa pikirannya kacau. Secara intens Windy meminum obat penenangnya dengan dosis dua kali dari biasanya untuk mendapatkan kedamaian, atau dia bisa gila, pikirnya.
Tony mengirimkan beberapa pesan singkat setiap malam seperti biasanya, tidak ada yang berubah pada lelaki itu. Bagaimana mungkin dia bermain gila di tempat lain?
Denting lift membuyarkan pikirannya dan terheran mendapati dirinya sedang berada di lobby apartment. Windy tidak tahan untuk tidak melirik ke samping dimana seorang wanita muda cantik yang sedang mengandung berdiri dengan beberapa kantong belanjaan, hatinya merasa iri.
"Aku sering melihatmu. Kamu yang di lantai tigapuluh ya?" Wanita itu menyapanya ketika pandangan mereka bertubrukan.
Windy tertawa canggung, tidak mungkin dirinya setenar itu, namun ia tetap menjawab sopan. "Iya, tau dari mana?"
"Aku di lantai 15, kita sering satu lift. Kau dan suamimu, kalian serasi sekali. Aku iri."
Lantai 15? Apakah dia pelacur yang digosipkan? Ah, wanita ini pasti iri karena suamiku ganteng. Pantas saja ... dasar genit!
"Aku yang iri padamu, sudah berapa bulan?"
"Jalan enam bulan, Tan, kalau anakmu sudah berapa tahun?"
"Panggil aja aku Windy, sepertinya umur kita tidak terpaut jauh. Kami belum mau punya anak dan masih menikmati bulan madu." Bohongnya sambil melayangkan senyum manis.
"Wah ... aku tambah iri. Aku Lisa." Wanita itu melayangkan tangannya ke depan tanpa tau nama itu telah menghantam keras kesadaran Windy. Luisa? Bola mata Windy bergerak-gerak bingung.
"Win, kamu baik-baik aja?" Tangan wanita itu membelai perutnya secara protektif ketika Windy menatapnya tak berkedip.
Anak itu apakah anak Tony? Tidak heran Tony menginginkannya tanpa peduli siapa ibunya. Oh, salah! Tony tau benar siapa Ibunya, dia yang tidak tau!!! Tony membohonginya!!!
"Ya, tentu saja." Denting lift menunjukkan angka 15. Windy menahan wanita itu keluar, "Hmm ... aku merasa pusing, apakah aku boleh mampir ke apartmentmu sebentar, aku perlu minum obat. Maaf merepotkan."
"Ah, jangan sungkan. Mari, ikut aku." Lisa menyeringai, deretan mutiara putih yang tersusun rapih membuat seringainya indah dipandang.
Cantik. Wanita ini cantik sekali, pantas Tony tergoda.
Mereka menyusuri lorong apartment berlantai karpet dalam cahaya lampu yang temaram kemudian berbelok ke kiri melewati pintu darurat. Posisi apartment wanita itu tegak lurus dengan posisi apartmentnya. Betapa suatu kebetulan, pikir Windy getir.
"Masuklah, Win." Windy melangkah masuk mendahului wanita itu dan terkesima dengan pemandangan di dalam ruangan itu.
Hampir semua posisi furniture di dalamnya sama. Dapur berbentuk L berada di samping pintu, di depannya meja makan persegi dari kaca untuk empat orang, ke depan lagi, di sebelah jendela terdapat sofa tamu dimana menghadap TV yang terpatri pada dinding. Perbedaannya adalah apartmentnya di dominasi warna putih, sementara apartment ini menggunakan warna maple.
Apakah Tony sengaja membuat apartment ini sama dengan apartmentnya? Matanya meremang sedih, dadanya berdenyut menahan sakit.
"Si Om kemana, Win? Tumben hari ini tidak melihat kalian bareng?" Tanya Lisa dari balik dapur sambil menuangkan segelas air untuknya.
Om? Windy menoleh cepat mendengar panggilan Lisa pada suaminya. Ingatan akan pesan singkat yang dibacanya diam-diam, berputar-putar di otaknya. Dadanya naik turun menahan berbagai emosi yang menyerbunya tiba-tiba. Windy tidak bergeming, kakinya memakunya tepat di balik pintu masuk.
"Kau mengenal suamiku?"
"Ya, kami bicara beberapa kali. Om Tony orang yang baik hati. Kemarilah, jangan berdiri terus di pintu." Wanita itu berkata-kata sambil tangannya membereskan belanjaannya, memasukkan satu persatu bahan makanan di tempatnya.
"Dia kadang mampir membawakan oleh-oleh untuk kita dari luar kota dan menitipkan pesan untuk menjagamu ketika dia pergi."
"Cukup!!!" Bentak Windy, ia tidak lagi bisa menerima kenyataan pahit ini. Ia tidak bisa kehilangan Tony pada wanita ini. Tangannya mengambil benda berkilat itu dari tempatnya di atas meja dan maju mendekati Lisa.
@ellyzabeth_marshanda it's real beib <3
Comment on chapter 02.