Rintik hujan berhasil mengenai pipi pria itu. Sejenak ia teringat kala hujan pada hari itu. Di mana ia dan putranya kembali mengenang masa indah mereka. Kini sudah lebih dari tiga kali gerimis menyentuh wajahnya. Seakan memberi tanda bahwa inilah akhir dari kisahnya.
"Karena melakukan percobaan pembunuhan pada salah satu petugas kepolisian yang tengah melakukan pengawasan terhadap dirinya, sudah pasti bahwa tersangka Raden Kalingga adalah seorang pengedar narkoba yang sudah banyak memakan korban. Maka dari itu, saya mengajukan agar yang mulia memberikan hukuman mati padanya."
Kala itu riuh para saksi di persidangan menyerukan nama Raden dengan embel-embel seorang pendosa. Sedangkan di sisinya, tidak ada siapa-siapa yang sekedar hadir untuk memberi kekuatan. Tidak Kashaf yang hanya menatapnya datar, entah sebuah bentuk belas kasih atau sikap acuh. Ia juga tidak menemukan Marisha di sana, wanita itu mungkin sudah berlari mengejar Abi.
Kekuatan Raden hilang. Ia tidak mampu membela dirinya. Hanya berharap Tuhanlah yang nanti akan membantu. Tapi keputusan hakim siang itu tidak memberikan jawaban apa-apa. Raden tetap pasrah dan melangkah mengikuti orang-orang yang matanya tertutup kesalahpahaman.
"Ada yang ingin anda ucapkan tersangka Raden Kalingga?"
"Bisakah kalian menanyakan terlebih dahulu kesaksian dari polisi kemarin?"
"Saya rasa tidak perlu yang mulia, karena sekarang polisi itu bahkan tidak tahu kapan diprediksi akan sadar. Dokter bilang pisau yang tertancap di perutnya berhasil melukai berbagai organ dalamnya. Itu semua menjadi bukti bahwa tersangka Raden Kalingga melakukannya secara terencana."
Embusan napas Raden melemah, ia bahkan merasa sedari tadi tidak sedang menarik oksigen. Tiba-tiba dunia di sekitarnya menghitam. Kalimat yang dilontarkan selanjutnya menjadi gerbang dari akhir cerita ini. Raden sadar bahwa ia mungkin menyesal, tapi tidak pernah terlintas dalam otaknya semua ini sangat drama sekali.
"Dengan ini tersangka Raden Kalingga dalam kasus pengedaran narkoba dan pembunuhan terencana dijatuhi hukuman mati sesuai dengan bukti dan pengajuan dari jaksa penuntut. Maka bersamaan dengan itu sidang hari ini, Jumat 19 April 2019 resmi berakhir."
Air mata Raden kembali menetes deras. Masih terngiang di kepalanya bunyi ketukan dari palu sang hakim. Seberat itukah dosanya Tuhan? Hingga tidak ada seorangpun yang percaya padanya.
Dari balik jeruji besi Raden menekuk lututnya dan membiarkan air matanya lolos tanpa orang lain melihat.
"Dunia memang begitu kejam," celetuk seorang pria tua yang berhasil membuat Raden mendongakkan kepalanya.
Pria yang rambutnya sudah berwarna putih itu menyunggingkan senyum kepada Raden yang duduk di depannya.
"Kita sama, Nak. Bedanya waktumu sudah ditentukan. Saya hanya harus menunggu hingga malaikat datang menjemput."
"Anda melakukan apa, Pak?"
Pria tua itu terkekeh sebelum menjawab pertanyaan Raden. "Tidak melakukan apa-apa tapi mendapatkan hukuman seumur hidup."
Dunia memang begitu kejam. Hukum dijatuhkan untuk orang-orang yang tidak bisa melawan seperti dia dan pria tua ini. Definisi tidak melakukan apa-apa seperti kata pria tua itu membuat Raden kembali menunduk dalam diam dan tangisnya.
"Ayah... Dengarkanlah aku ingin berjumpa walau hanya dalam mimpi." Raden kembali mendongak untuk kedua kalinya pria tua itu entah kenapa seolah tahu isi hatinya. Dengan menyenandungkan sebuah lagu yang membuat Raden teringat pada Abi.
"Apa kau punya anak, Nak?"
Raden mengangguk dengan tangisnya yang pecah bersamaan. "Saya berjanji... Tidak akan meninggalkan dia. Tapi..."
Bisakah semua ini diulang kembali? Raden tidak mau ada di sini, dia tidak mau dihukum mati. Raden ingin pulang dan melihat wajah Abi. Tuhan... Dengarkan permintaannya sekali ini saja.
"Dia pasti menunggu saya. Abi... Maafkan Ayah, Nak."
"Kapan eksekusimu, Nak?"
Raden menggeleng kuat. Ia menangis sangat dalam dan menjawab disela-sela isakannya.
"Be.. Besok."
***
"Bunda, kenapa bawa Abi ke rumah ini? Katanya mau ajak Abi ketemu Ayah, mana Bunda?"
"Kita akan menemuinya besok."
"Kenapa nggak sekarang aja sih? Memangnya Ayah di mana?"
Mulut Marisha sudah terbuka tapi ia tidak bisa mengeluarkan semuanya. Semua ini terlalu mengejutkan untuk Abi. Meskipun lambat laun pasti Abi akan mencurigainya, namun Marisha tetap tak bisa bersuara.
Tapi ini demi kebaikan anak itu. Marisha membawa Abi tinggal bersamanya menunggu sesuatu yang ia sendiri tidak yakin. Menurut Marisha Abi harus mengetahui soal ayahnya segera. Akan tetapi, Raden malah ingin membuat anak itu membenci ayahnya.
"Abi akan tinggal di sini. Sama Om Kashaf, Oma Kirana, dan Bunda. Karena ayah Abi sudah kembali pada keluarganya. Dia tidak bisa hidup susah terus-menerus bersama Abi."
"Bunda bohong!" teriak Abi tidak terima. Tidak, perasaannya mengatakan kalau yang keluar dari mulut Marisha adalah sebuah kebohongan. Raden tidak mungkin mengingkari janji.
"Bunda bohong. Abi tahu Ayah nggak akan pernah meninggalkan Abi. Ayah udah janji, Bunda. Jangan bohong Bunda, katakan di mana Ayah? Di mana, Bunda?"
"Abi..." Marisha tidak sanggup lagi. Wanita itu luruh ke bawah dan tenggelam dalam tangisannya. Belum apa-apa saja melihat Abi seperti itu hati Marisha sakit. Bagaimana nanti jika anak itu tahu soal ayahnya. Apa yang harus Marisha lakukan?
Abi mengernyitkan keningnya bingung. Kenapa sekarang jadi bundanya yang menangis, apa dia sudah keterlaluan dengan membentak seperti itu. Tapi Abi tidak bermaksud, ia hanya sedang mencari jawaban kalau kalimat Marisha itu bohong.
"Bunda, kenapa Abi merasa aneh Bunda?"
Abi mendekatkan dirinya dan berlutut di depan Marisha. Dengan sisa tangisannya Marisha membawa anak itu dalam dekapannya. Menaruh kepalanya di bahu Abi dengan menepuk-nepuk punggung anak itu.
"Besok kita ketemu Ayah, Abi mau kan bersabar, Nak?"
Mata anak itu mengerjap. Di depannya kini berdiri Kashaf yang tengah menatapnya di ambang pintu juga sedang meneteskan air mata. Abi tidak mengerti dengan semua orang, kenapa menangis hanya karena Abi menanyakan soal ayahnya?
"Bunda jangan bohong, Abi lebih suka Ayah kembali pada keluarganya. Bunda jangan bohong."
"Tidak Abi, tidak."
Malam itu keduanya saling mengeratkan pelukan dengan tangis yang menemani di antara keduanya. Abi memang tidak tahu apa yang sedang disembunyikan Marisha, tetapi entah mengapa dia merasakan kesedihan yang mendalam.
***
Pagi sekali Marisha terbangun karena teringat kejadian kemarin bersama Abi. Ia turun dari ranjang begitu tidak menemukan suaminya di sana. Kakinya melangkah menengok kamar Abi. Ia tersentak karena anak itu tidak ada di kamarnya.
Buru-buru Marisha mencari di lantai satu dan langkahnya makin cepat begitu telinganya mendengar suara dari televisi. Mungkinkah Abi...
"Hari ini sabtu 20 April 2019 seorang narapidana berinisial RK akan segera dikirim ke Nusakambangan untuk menjalani eksekusi. Untuk empat jam ke depan saya akan serahkan perkembangan lebih lanjutnya pada rekan saya di—"
Marisha berlari menuju gerbang rumah, benar saja gerbangnya terbuka. Padahal biasanya sepagi ini rumah suaminya masih setia menutup.
Wanita itu segera masuk kembali ke kamarnya dan meraih kunci mobil. Saat di depan tangga ia melihat mertuanya menangis sambil menutup mulutnya.
"Yasa sudah tahu, Mar. Dia pergi bersama Kashaf ke kantor polisi. Mama... Mama tidak sanggup."
Marisha langsung menuntun ibu mertuanya duduk di sofa dan memeluknya memberikan kekuatan.
"Marisha akan menyusul Yasa. Mama di sini saja, jangan memikirkan yang tidak-tidak ya."
Setelah Kirana setuju, Marisha segera keluar rumah dan melaju dengan mobilnya menyusul Abi. Sepanjang perjalanan wanita itu terus merapalkan doa. Bayangan Abi menangis dan menahan Raden terus berkeliaran di kepalanya.
Sesampainya di sana Marisha langsung menghampiri Kashaf yang terlihat menyeka air mata beberapa kali. Kashaf dan Marisha berdiri beberapa meter dari Raden dan Abi yang dikelilingi banyak polisi. Raden yang sudah bersiap dengan pakaian putihnya itu tengah memeluk Abi untuk yang terakhir kalinya.
"Ayah kenapa bohong sama Abi? Kenapa Ayah?"
"Ayah Abi bukan orang jahat. DIA BUKAN ORANG JAHAT!" teriakan Abi menambah luka di hati Raden. Demi Tuhan, ia tidak sanggup menghadapi tangisan dan jeritan anak ini.
"Abi dengarkan Ayah, Abi tidak akan sendirian. Ada Bunda Marisha, Om Kashaf dan siapa lagi, oh... ada Oma juga, kan?"
"Tapi Abi maunya sama Ayah. Abi mohon jangan pergi Ayah..."
Dada Raden sesak, kenapa rasanya lebih menakutkan sejak Abi menahan dirinya. Sedangkan ia tidak bisa melakukan apapun.
"Ayah... "
"Abi, Ayah mohon jangan menangis, Nak. Abi adalah seorang anak yang kuat. Jadi, tolong Abi jangan menangis ya."
"Ayah jangan tinggalin Abi. Ayah!"
Raden mengusap kedua pipi putranya yang basah karena air mata. Perlahan ia menuntun tangan Abi untuk menyentuh letak hatinya.
"Ayah tidak pergi ke mana-mana karena Ayah akan selalu bersama Abi. Ayah ada di dalam diri Abi, di sini."
"Kalau Ayah pergi, siapa yang akan menjadi orangtua Abi? Kalau Ayah pergi, siapa yang akan menenangkan Abi kalau Abi mimpi buruk? Kalau Ayah perg—"
"Sst..." Raden kembali merengkuh tubuh mungil Abi. Anak itu tidak bisa diyakinkan dengan cara apapun. Abi sudah cukup besar untuk mengerti tentang apa yang terjadi padanya.
"Kita bahkan hanya tinggal selama dua bulan, Ayah..."
Terhitung dua bulan mereka hidup bersama dan takdir akan kembali memisahkan mereka. Hubungan ayah dan anak macam apa yang sedang Abi jalani ini?
"Dua bulan bersama Ayah membuat Abi senang?" tanya Raden meminta kejujuran anak itu. Karena ia sendiri sangat merasa bahagia. Bersama Abi, ia bisa belajar cara menjadi seorang ayah yang baik.
"Abi senang. Ayah jangan pergi, Abi janji tidak akan marah kalau Ayah merusak benda di dalam kantung pakaian Abi karena tidak sengaja ke cuci. Abi janji akan meminta uang saku sedikit supaya bisa untuk ditabung. Ayah jangan pergi, kita sudah berjanji akan jalan-jalan ke Taman Mini, kan? Ayah..."
Raden mengusap air matanya yang sudah berhasil menampakan isi hatinya yang terluka. Ia juga sempat melirik Marisha dan Kashaf kemudian memejamkan mata seolah sudah ikhlas menyerahkan Abi.
"Sudah waktunya!" pekik seorang komandan yang sejak tadi hanya berdiri menatap nanar Abi dan Raden. Dia adalah Rangga si polisi sinis yang Raden temui. Ternyata hatinya tersentuh melihat adegan itu, tapi tugas tetaplah tugas. Dengan berat hati ia meminta anak buahnya membawa Raden dan memisahkannya dengan Abi. Kashaf sendiri yang menarik anak itu menjauh untuk memberikan jalan pada Raden.
"Ayah... JANGAN BAWA AYAH!"
Raden tersenyum dengan air mata yang terus mengalir. Kenapa pria itu tersenyum di saat mereka akan berpisah.
Kenapa?
Abi terus mencoba melepaskan rengkuhan Kashaf yang kuat. Sambil terus menjerit ketakutan anak itu tidak rela melihat ayahnya akan berakhir seperti itu.
"Ayah tidak bersalah... Bebaskan ayah Abi... Arrghh!"
"Om Kashaf, lepasin. Abi mau ngejar Ayah... Lepasin... "
Marisha mendekati Abi dan membantu anak itu untuk tenang. Tapi beberapa detik setelah mobil polisi yang membawa Raden pergi Abi berhasil membebaskan dirinya dari Kashaf. Ia berlari mengejar ayahnya sambil terus menangis. Bahkan tidak peduli meskipun banyak para wartawan menyaksikan adegan itu.
"Ayah... Jangan pergi ayah... Abi mohon jangan tinggalkan Abi..."
Abi jatuh terduduk di atas aspal jalanan. Dengan pandangan yang mengabur dia merasa tubuhnya seperti melemah. Satu-satunya yang membuat tubuhnya mati bukan karena kesulitan bernapas, tapi mengetahui kenyataan bahwa mulai saat ini tidak akan ada lagi sosok ayah di sampingnya.
"Ayah... A-ayah... A-ayah..." dengan menggigiti bibir bawahnya Abi terus menepuk-nepuk dadanya yang sesak. Entah kenapa oksigen jadi tidak bisa masuk ke dalam paru-parunya.
Ini sulit Ayah.
Abi sadar setelah ini hanya hidup sendirian tanpa sang petuah.
Ini sulit Ayah.
Abi akan jadi yang paling menderita karena hidup tanpa arah.
Ini sulit Ayah.
Sesulit saat Ayah harus tersenyum dengan menampilkan air mata gundah.
Hari-hari terlewati dengan kesedihan yang masih membekas dalam ingatan. Seorang anak tiga belas tahun akan tumbuh menjadi dewasa dengan dukungan kedukaan. Akan jadi seperti apa dia?
Setelah mata pedang sudah polos tanpa pelindung maka dipastikan akan siap menancap ke manapun sesuka hati tanpa ada penghalang. Dia Abiyasa Syamsah Fajaro, lelaki dengan kekuatan seperti cahaya matahari akan mulai terbiasa dengan luka dan air mata.
Untuk ayahnya yang dihukum tanpa kesalahan. Dan untuk semua air mata yang berhasil mengoyak hatinya, ia akan menjadi yang lebih kuat.