Abi yakin meski berusaha lepas dari Marisha dan berdua saja dengan ayahnya ia akan bahagia. Seperti ketika ia akan tersenyum melihat ayahnya bahkan tidak bisa mengepel lantai dengan benar, tidak biasa mencuci pakaian dan terpaksa Abi membantunya. Raden selalu menolak jika putranya berusaha membantu pekerjaan rumah padahal Abi tahu ayahnya pasti sangatlah lelah bekerja seharian bahkan ditambah mengurus rumah.
Tapi Abi percaya jika ayahnya selalu berhasil menenangkannya. Menjadi rumahnya untuk setiap Abi merasa lelah. Setiap Abi bermimpi buruk akan ada sosok tangguh ayahnya yang rela ikut terbangun menemaninya. Mungkin Abi egois, dia rela menukar Marisha yang notabenenya menjadi teman sejak ia kecil. Tapi kehadiran Marisha langsung tergantikan oleh ayahnya.
Sejujurnya Abi merindukan Marisha, tapi apa daya ia masih tidak sanggup menampakkan diri di depan wanita itu. Marisha selalu berdebat dengan suaminya hanya karena membela Abi. Dia tahu selama ini dirinyalah yang menjadi penghalang, terbukti dari bagaimana pertengkaran terakhir kali saat Abi mengetahui jati dirinya.
Maka dari itu Abi akan berusaha mengenyahkan rasa rindunya. Toh, sekarang ia sudah tidak sendirian lagi. Ada ayahnya yang akan menemani. Semoga saja Abi tidak lagi ditinggalkan.
***
"Tumben Pak hari ini barang yang harus saya antar sedikit?"
Raden meraih benda persegi dengan lapisan kertas berwarna coklat muda dengan alamat tersedia di atasnya.
Lelaki tua yang menjadi ketua di tempat kerjanya tersenyum simpul setelah menghisap batang rokoknya. Kadang Raden merasa jijik melihat orang-orang yang sudah tua seperti yang ada di depannya ini masih merokok. Tapi, itu kembali lagi kepada pribadi masing-masing. Raden tidak akan merecoki pilihan orang lain.
"Sepanjang saya bekerja di sini sampai naik pangkat begini baru kamu lho yang protes kalau diberi pekerjaan sedikit. Kenapa? Maunya selalu ngirim banyak dan pulang larut? Kasihan toh putramu, Den."
"Saya hanya merasa belum terbiasa saja, Pak. Baru dua minggu bekerja, jadi masih amatir."
Raden kemudian mengenakan helm di kepalanya dan menghidupkan mesin motor. "Duluan, Pak Kus. Assalammualaikum," pamitnya melambaikan tangan kepada Pak tua itu.
"Iya waalaikumsalam, hati-hati jangan ngebut Den!"
Berpergian dari satu tempat ke tempat lain meski cuaca panas tidak pernah Raden lewati. Pernah beberapa hari yang lalu saat ia diberi banyak barang untuk diantarkan tiba-tiba cuaca yang semula panas langsung berubah mendung. Raden menembus hujan dengan mengandalkan jas hujan untuk tetap profesional terhadap pekerjaannya. Alhasil ia sampai flu dan demam seharian.
Sesampainya di depan sebuah rumah besar bercat putih tulang Raden terdiam sejenak di depan gerbangnya. Bodoh, kenapa ia tidak melihat dulu nama penerima paket itu?
"Pak, ini ada paket untuk Dokter Kayla Azahra Frasemi," kata Raden kepada seorang satpam dari balik gerbang rumah itu.
"Baik terima kasih, nanti saya sampaikan kepada nyonya."
"Permisi Pak."
Raden menghela napas lega. Kayla tidak melihat dirinya, kalau sampai gadis itu tahu apa pekerjaan Raden sekarang sudah pasti ibunya juga akan mengetahuinya. Raden tidak akan sanggup meninggalkan Abi sendirian.
Baru saja Raden akan menjalankan motornya, seseorang dengan jas putih sudah berdiri di depannya. Buru-buru Raden menurunkan kaca helmnya sembari menunduk resah.
"Apa ada paketan untuk Dokter Kayla?" tanyanya pada Raden.
Pria itu menganggukan kepalanya sebagai jawaban iya atas pertanyaan Kayla. Ia takutnya kalau membuka suara gadis itu akan mengenalinya.
Setelah Kayla berbalik badan Raden langsung melajukan motornya dengan cepat meninggalkan rumah gadis itu.
***
Hari ini tidak ada yang spesial, hanya berisi beberapa mata pelajaran yang harus Abi lewati, ocehan Haikal dan mengunjungi perpustakaan untuk mengembalikan buku yang pernah ia pinjam. Tapi, ada satu yang aneh. Abi tidak melihat Kasih seharian.
Bukannya Abi merasa kesepian, tapi sangat bukan Kasih sekali kalau tidak memberi kabar jika tidak masuk sekolah. Biasanya ada kabar entah itu sakit atau ijin urusan keluarga.
"Abi... Lo tahu nggak? Katanya si Kasih pindah sekolah."
Spontan apa yang Haikal katakan membuat jantung Abi berdetak aneh. Ia jadi teringat kalimatnya sore itu. Apa Kasih tersinggung sampai memilih pindah sekolah?
"Abi, ini semua maksudnya apa? Kok Abi tidak tahu sih Bunda udah nikah? Bunda lagi bulan madu juga nggak tahu, rumah dijual Abi nggak tau. Memangnya Abi tinggal di mana? Dan, sejak kapan pisah sama Bunda?"
"Diam Kasih!"
"Abi, maaf kalau Kasih ikut campur tapi boleh nggak Kasih ikut ke rumah Abi?"
"Cukup ya. Lo itu ganggu, Kasih!"
Sore itu setelah kalimatnya usai, Abi tidak mendengar apapun dari gadis itu. Biasanya dalam keadaan normal Kasih akan meracau jika Abi membentaknya, tapi sore itu berbeda. Abi bahkan tidak mendengar Kasih melangkah hingga ia benar-benar menjauh darinya.
Tiba-tiba entah kenapa Abi ingin sekali menemui gadis itu dan meminta maaf. Ia berlari meninggalkan Haikal yang meneriaki namanya.
Ke mana saja Abi hingga tidak tahu informasi apapun soal Kasih? Ia mengacak rambutnya frustasi begitu sampai di depan gerbang sekolah.
"Mau apa? Mau bolos?" suara Pak Tejo—satpam penjaga sekolah—menyadarkan Abi hingga ia berbalik dan melangkah kembali ke dalam sekolah.
Saat melewati Haikal ia berhenti sejenak dan menemukan sahabatnya itu tengah mengangkat alisnya meminta kejelasan Abi.
"Lo beneran suka sama Kasih?"
Abi tidak suka pertanyaan itu. Boro-boro suka, orang setiap Kasih berbicara saja Abi malas menanggapinya. Saat ini Abi itu hanya sedang merasa bersalah. Jika memang Kasih tidak tersinggung kenapa juga sampai harus pindah sekolah?
Haikal meletakkan telapak tangan kanannya di atas pundak Abi tapi ketika menunduk sembari meyakinkan dirinya bahwa Kasih tidak marah sebuah nama melintasi otaknya. Fina.
Abi menepis lengan Haikal dan berlari menuju kelas Fina meninggalkan Haikal yang lagi-lagi hanya bisa menunggu Abi. Sahabatnya itu mungkin sudah memiliki hobi baru, berlari ke sana-kemari tidak jelas.
"Fina, Fin... lo tahu gak kenapa Kasih pindah sekolah?" Akibat berlarian napas Abi naik-turun tidak beraturan.
"Si Kasih ikut ayahnya yang ditugaskan ke Lombok."
Jauh sekali. Sekarang Bagaimana Abi bisa menghubungi Kasih langsung kalau gadis itu pindah sangat jauh darinya?
Bahu Abi merosot lemah. Kakinya melangkah gontai meninggalkan kelas Fina yang ramai oleh beberapa siswi yang berlarian memperebutkan sesuatu entah apa itu.
Sepanjang pelajaran Bahasa Inggris Abi terus saja menatap kosong ke depan. Ngomong-ngomong soal pelajaran Bahasa Inggris Abi jadi makin teringat Kasih. Gadis itu pasti akan mulai berbicara ini-itu menggunakan bahasa Inggris membanggakan keahliannya. Tidak seperti Abi yang sudah merasa pusing duluan saat guru Bahasa Inggris mereka datang.
Dan karena Abi tidak fokus sama sekali pelajaran terakhir itu terasa sangat cepat berlalu. Haikal langsung berdiri setelah selesai memasukkan semua buku dan alat tulisnya ke dalam tas.
"Bi, gue duluan ya. Gilang udah nungguin. Bye..." pamitnya melambaikan tangan.
Abi menganggukkan kepala kemudian berjalan menghampiri lokernya di bagian belakang kelas. Ia tidak mau membawa buku-buku tebal ke rumah. Abi lebih suka menyimpannya di loker dengan namanya di sana.
Setelah menyusun bukunya tangan Abi yang akan menutup pintu loker tiba-tiba berhenti saat matanya menemukan sebuah kertas origami yang sudah dibentuk menjadi bentuk hati.
Abi mengangkatnya dan menemukan tulisan dengan pulpen berwarna merah menodai origami berwarna kuning tersebut.
***
"Ayah mau ajak Abi ke mana?"
"Pasar malam."
"Memangnya ada pasar malam?"
"Ada di deket rumah Pak Kus. Ini motornya boleh Ayah pinjam. Khusus buat kita jalan-jalan malam ini."
Abi mengangguk lalu duduk di belakang Raden yang sudah siap memakai helmnya.
"Ayah tahu Abi maunya ke Taman Mini, kan? Nanti Ayah janji bakalan bawa Abi ke sana, malam ini kita ke pasar malam aja nggak papa ya?"
Abi melingkarkan lengannya di pinggang Raden dengan menempelkan kepalanya di punggung ayahnya.
"Siap ayah!" Padahal mau ke mana pun Abi pasti suka. Ia akan senang jika ayahnya yang mengajaknya.
Pasar malam yang dimaksud Raden ternyata cukup ramai. Banyak juga masyarakat yang menaiki beberapa wahana yang tersedia di sana. Bukan hanya dari kalangan anak-anak saja, orang dewasa pun ikut mencoba.
Abi langsung menunjuk bianglala saat matanya menangkap wahana tinggi dan berputar itu. Raden mengerutkan keningnya ragu, selama ini Raden akui ia belum pernah sekalipun menaiki bianglala di pasar malam. Menginjakkan kaki pun baru pertama kali ini.
"Ayah takut?" Abi menggerakkan lengan Raden hingga lamunan ayahnya buyar seketika.
Raden tidak mau kalah oleh anaknya sendiri. Jadi pria itu segera mengangguk sebelum Abi benar-benar menyeretnya ke depan pembelian loket karcis wahana bianglala itu.
Abi dan Raden masuk ke dalam bianglala berwarna hijau. Awalnya Raden merasa baik-baik saja. Tapi begitu sudah ada di tengah-tengah, perasaannya menjadi tidak karuan. Rasa pusing menatap ke bawah, mual dan segala keanehan dalam dirinya bercampur menjadi satu.
Begitu turun dari sana Raden memuntahkan isi perutnya karena tidak tahan. Sementara Abi sudah tidak bisa lagi menahan tawanya.
"Ayah belum pernah pergi ke pasar malam sebelumnya?" Abi mengaduk es campur sambil sesekali memasukkannya ke dalam mulut lalu menatap ayahnya menunggu jawaban.
"Belum."
"Kalau begitu ke mana saja masa anak-anak Ayah?"
"Hanya pergi ke sekolah, tempat les, rumah dan mall. Kalau bosan Ayah pasti diajaknya ke mall. Kalau liburan juga ayah biasanya ke luar negeri, Korea, Jepang, Singapura, bahkan Italia."
Abi mengerjapkan matanya lucu. Ah, ia lupa bagaimana latar belakang keluarga ayahnya ini. Sudah pasti orang kaya seperti Raden malas harus berdesakan di area terbuka seperti pasar malam. Dan, apa-apaan jawaban terakhir itu, membuat Abi merasa semakin ciut saja.
"Ayah harus mencoba ini." Belum habis es campur dalam mangkuk mereka, Abi sudah menarik lengan ayahnya menghampiri sebuah permainan yang mana mereka dituntut untuk memasukkan gelang besi ke dalam botol.
Spontan dahi Raden berkerut. Apa Abi memintanya untuk memainkan permainan itu?
"Ayah harus mencobanya."
"Kamu meragukan Ayah?"
Abi menaikkan bahunya acuh. Setelah memberikan uang dengan nominal yang ditulis di sebuah papan, pemilik permainan itu menyerahkan sepuluh gelang besinya kepada Raden.
"Abi tidak mau mencobanya?"
"Ayah saja. Abi ingin melihat kemampuan anak orang kaya seperti Ayah yang liburannya ke Italia, hehe."
"Abi..." ujar Raden mendengar Abi terbahak.
"Haha... ayo! Ayah pasti bisa!"
Bukan perkara gampang atau susahnya permainan itu, tapi ada sebuah keberuntungan juga di dalamnya. Mencoba beberapa kali pun jika kita memang tidak beruntung, maka jangan harap bisa memenangkannya.
Raden menghela napas pasrah saat gelang besi di tangannya tinggal tersisa empat biji. Mau dilanjutkan pun seandainya berhasil yang didapat dari empat poin hanya sebuah kacamata hitam.
"Ayah... Benar-benar tidak memiliki bakat apapun selain liburan ke Italia," ledek Abi mengembuskan napas pasrah.
Karena melihat raut kecewa putranya, Raden hanya asal melempar saja. Tapi siapa menduga tiga gelang terakhir masuk sempurna ke dalam botol. Raden dan Abi langsung bersorak gembira dengan menempelkan kedua telapak tangan mereka sambil berjungkit.
Sudah pukul sepuluh malam dan pasar malam semakin ramai. Ditambah adanya pertunjukan kembang api yang indah membuat suasana malam yang gelap sedikit menjadi terang.
"Harusnya kita main lagi supaya bisa dapat selimut, bukannya hanya minuman seperti ini."
Raden terkekeh melihat ekspresi kurang puas dari Abi. Anak ini kenapa banyak sekali maunya, Raden jadi khawatir pada Abi, khawatir hanya bisa mengecewakannya.
"Abi maaf ya, karena Ayah tidak bisa menjadi Ayah yang baik untuk Abi."
Abi yang masih setia menyedot minuman hasil kemenangan ayahnya langsung menoleh. Meskipun suara Raden kecil dan tersamarkan oleh suara-suara kembang api, tapi telinganya masih jelas menangkap kalimat ayahnya.
"Kenapa Ayah minta maaf? Abi justru bahagia, Ayah. Abi cuma mau minta satu hal dari Ayah."
"Apa?"
"Abi tidak butuh Ayah yang bisa dalam segala hal. Abi hanya ingin minta supaya Ayah tidak pernah meninggalkan Abi. Abi takut sendirian, Ayah."
Lengan Raden dikalungkan ke bahu putranya dan merapatkan tubuh mereka. Saling menghangatkan dan menyalurkan kekuatan lewat kasih sayang.
"Abi ayo pulang, besok kamu harus sekolah."
***
Pagi-pagi sekali setelah bersiap dengan seragamnya, Abi langsung berlari mencari ayahnya. Ia baru ingat telah meninggalkan origami yang diberikan Kasih masih tertinggal di saku jaketnya.
Raden yang sedang menjemur pakaian tersentak begitu menemukan Abi tengah memelotot padanya.
"Kenapa Abi?"
"Ayah mencuci jaket Abi?"
"Iya, memangnya kenapa? Jaket Abi sudah bau lho."
Jangan-jangan origami kuning berbentuk hati pemberian Kasih yang belum sempat Abi buka rusak terkena air? Tangannya langsung merogoh saku jaketnya yang basah. Benar saja, origami itu basah kuyup, tapi bentuknya masih seperti semula. Hanya saja Abi takut jika ia membukanya pasti kertas itu akan rusak.
"Ayah kenapa tidak memeriksa sakunya dulu? Abi itu suka melupakan sesuatu jadi sering meninggalkan apapun di dalam saku. Ayah ini tidak bisa seperti Bi Ida!"
"Abi A-ayah..."
Abi masuk ke dalam rumah sebelum ucapan Raden selesai. Beberapa detik selanjutnya Abi keluar lagi dan langsung pergi dari rumah.
Hari ini Abi lupa berpamitan pada ayahnya.
Raden menunduk dalam. Maafkan Ayah, Abi...