Abiyasa Syamsah Fajaro. Nama yang memiliki arti seorang anak yang sempurna pendidikan dan akhlaknya seperti matahari di waktu fajar. Abiyasa diambil dari bahasa Jawa sedangkan Syamsah dan Fajaro diambil dari nama surat di dalam Alquran. Al-Syamsiyah yang artinya seperti matahari dan Al-Fajr di waktu fajar.
Nama itu dicetus sendiri oleh Diah Lauradita, sang ibu kandung dari Abi yang rela membawanya melihat indah dunia seperti sekarang. Baginya Abi adalah sebuah kekuatan dirinya sebagai seorang wanita untuk memperjuangkan cinta yang bisa dikatakan sepihak?
Pernah berfikir kesempatan manusia jatuh cinta hanya satu kali? Berusaha berpindah ke lain hati setelah ditinggal pergi?
Diah hanya mampu menangis saat hatinya menjerit penuh luka. Mengikuti langkah kakinya menjauhi dari orang-orang berharga. Ia takut... Sangat takut jika hanya menjadi beban dan menanggung banyak kesedihan.
Karena itulah dia pergi menunggu hari untuk kembali.
Pagi ini matahari bersinar agak telat, menyembul dengan membawa intensitas cahayanya hingga menerobos masuk ke cela-cela jendela kelas. Sang surya menjadi teman bagi seorang gadis yang kini tengah menghitung uang sakunya untuk dibagi ke beberapa keperluan di atas mejanya. Keperluan untuk menabung, membayar uang kas dan sisanya untuk jajan di kantin. Tapi saat netranya melihat seorang cowok berjalan melewatinya, gadis itu segera memungut kembali semua uangnya dan dimasukkan asal-asalan ke dalam tas.
"Pagi... Abi udah sarapan?" tanya gadis itu ramah.
Alih-alih menjawab, cowok itu malah mengeluarkan kertas dan menulis sesuatu di sana, setelah selesai ia tunjukkan kepada gadis itu. Sontak saja kerutan muncul di dahinya.
Jangan ngomong sama gue. Hari ini gue lagi mogok ngomong.
"Mogok ngomong? Abi marahan lagi sama si Bunda? tapi salah Kasih apa? Kan Abi marahannya sama Bunda, kok Kasih jadi kena imbasnya sih?"
Mata Abi menajam seketika. Telinganya tiba-tiba seperti ada sesuatu yang akan keluar dari sana. Mendengar celotehan Kasih yang super berisik itu membuatnya bisa saja membatalkan puasanya hari ini. Iya, puasa berbicara.
Kasih menangkup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Pipinya yang chubby jadi semakin terlihat saat gadis itu tersenyum.
"Ya sudah Abi nggak usah ngomong apa-apa. Cukup dengerin Kasih aja."
"Jadi nih ya Abi, kemarin Kasih tuh udah berusaha buat ngerjain PR matematika sendiri tapi malah digangguin sama dedeknya Kasih, jadi belum sempat bikin. Abi mau kan kalau—"
Belum sempat keinginannya tersampaikan, Abi dengan segera mengetahui gelagat Kasih yang mengarah pada tujuan gadis itu untuk mencontek tugasnya.
Abi melempar buku ke hadapan Kasih yang sudah tersenyum lebar itu. Tanpa merasa bersalah Kasih langsung menarik buku Abi.
"Makasih Abi. Nanti Kasih bakalan contekin PR Bahasa Inggris Kasih besok."
Abi mengangguk dan membiarkan Kasih melakukan sesuka hatinya. Yang penting Abi besok tidak usah pusing memikirkan pelajaran Bahasa Inggris yang membuatnya pusing.
***
Abi benar-benar membuktikan ucapannya pagi itu. Hingga sore hari pun ia belum mengucapkan satu kata pun pada orang-orang yang mengajaknya bicara. Entah itu si Kasih yang cerewet ataupun Bi Ida yang tidak salah apapun.
Alasan Abi melakukan mogok itu adalah untuk membuat Marisha mau kembali berbaikan dengan Kashaf. Abi tahu, jelas ia sangat tahu kalau Bundanya sangat mencintai kekasihnya. Meskipun sampai umur tiga belas tahun Abi tidak pernah mengenal siapa suami Marisha, Bundanya. Yang jelas Abi tidak ingin jika Marisha bersedih lama-lama.
"Abi kamu kok gitu? Sampai kapan masih mau mogok ngomong sama Bunda?" teriak Marisha dari arah tangga dan memperhatikan Abi yang lebih asik menonton serial kartun di televisi.
"Wong karo Bi Ida yo nggak ngomong, Nyonya," (orang sama Bi Ida juga nggak ngomong, nyonya) sahut Bi Ida yang sedang membereskan meja dapur.
Abi hanya berpura-pura saja tidak mendengar apapun. Tidak akan ia bicara barang satu hurufpun jika Marisha masih bertengkar dengan Kashaf.
"Kamu mau tahu kenapa Bunda putus dari Om Kashaf?"
Abi melirik sekilas ke arah Marisha, kemudian memperhatikan kembali benda kotak di hadapannya. Acara kartun anak-anak menjadi pilihan Abi menghabiskan waktunya di sore hari sepulang sekolah.
Marisha duduk di sebelah Abi dan meletakkan kantung plastik berwarna putih di pangkuan Abi. Dari aromanya bisa Abi tebak bahwa isinya adalah martabak spesial kesukaannya. Jika dalam keadaan normal maka Abi sudah pasti teriak kegirangan, tapi ia masih cukup ingat dengan misinya.
"Bunda sama om Kashaf udah ngerasa nggak cocok. Kita udah beda prinsip. Abi kan tahu, ini masalah orang dewasa. Abi masih kecil, baru juga tiga belas tahun. Jadi, Bunda mau Abi mengerti keinginan Bunda."
Bukannya Abi tidak mengerti apa yang dirasakan Marisha. Abi justru peduli padanya. Selama ini Marisha sudah menjadi seorang single parents—menurut yang Abi ketahui—mengurus dirinya seorang diri. Tentu Abi kasihan pada Marisha. Bundanya itu pasti membutuhkan seseorang untuk bersandar.
"Abi ngomong sama Bunda. Abi ayo..." Marisha menggoyang-goyangkan tubuh Abi.
Drrt...drrt...
Gerakan Marisha terhenti karena sebuah panggilan masuk di ponselnya. Tertera nama Kashaf di sana, mau tidak mau ia pun menjauh dari Abi untuk bicara berdua dengan Kashaf.
"Ada apa lagi? Kita sudah berhenti sampai di sini ya, Kashaf."
Abi menyembulkan kepalanya dari sofa, memperhatikan percakapan Marisha yang sangat kentara tidak ingin didengar orang lain.
"Tapi urusan kita sudah selesai.... Minta maaf saja tidak bisa membuat aku kembali padamu... Ya, iya Kashaf... Jujur, aku masih mencintaimu."
Bibir Abi melengkung, ia memang tidak paham arti kata mencintai menurut pemahaman dan pemikiran otaknya yang baru menginjak tiga belas tahun. Tapi ia bahagia karena melihat binar cahaya di mata dan senyum Marisha.
"Baiklah... Kamu tidak perlu menjemputku, aku akan datang ke sana nanti.... Iya, Bye.."
Melihat Marisha yang akan berbalik, Abi buru-buru kembali ke posisi awalnya. Bersender di sofa dengan bungkus martabak di pangkuannya dan tangannya yang memegang remote control.
"Bunda sudah baikan sama om Kashaf. Masih nggak mau ngomong? Ya sudah..." Marisha menyerah dan sudah akan pergi, tapi ia melihat sebuah lengan melingkar di perutnya saat ini. Perempuan itu berbalik dan balas memeluk Abi dari depan.
Setelah pelukan mereka usai, Abi mengeluarkan ponselnya dan mengetikkan sesuatu, kemudian diperlihatkan ke arah Bundanya.
Buka puasa itu di mana-mana pasti kalau udah dengar adzan maghrib, Bunda.
Marisha mengerutkan keningnya melihat kepolosan Abi. Anak itu kembali mengetik sesuatu di ponselnya lalu diperlihatkan pada Marisha.
Abi sayang Bunda :)
"Bunda juga sayang Abi."
***
"Bunda, Abi keluar dulu ya mau beli buku gambar!" Abi menuruni anak tangga sambil tergesa-gesa. Ia segera menuju sepedanya yang berdiri di depan halaman rumah.
Ia harus segera mencari benda itu untuk pelajaran seni budaya besok. Gara-gara aksi mogoknya itu Abi jadi melupakan buku gambar. Sudah pukul delapan malam, ia berharap toko di seberang jalan depan gang rumahnya masih buka.
Abi bernapas lega kala melihat sinar lampu dari toko yang ia maksud. Ia segera memasang standar di sepedanya kemudian menghampiri toko tersebut.
"Pak Yasin, buku gambar A3 satu ya," ujar Abi sedikit mengagetkan Pak Yasin, penjual di toko tersebut. Umurnya sudah menginjak lima puluh tahun, dia termasuk orang-orang yang ramah pada siapa saja termasuk Abi yang memang sering membeli sesuatu padanya.
Pak Yasin menyerahkan sebuah buku gambar berukuran A3 yang diminta Abi, kemudian mengambil uang yang disodorkan Abi padanya.
"Nggak sekalian mampir Abi, ada Kasih lagi main sama Fina di dalam," tawar Pak Yasin. Fina adalah anak dari Pak Yasin yang kebetulan sahabat dekat Kasih. Mereka memang saling kenal, tapi karena tidak sekelas dengan Fiona, Abi tidak sering terlibat percakapan. Kecuali dengan Kasih, gadis cerewet itu.
"Jangan bilang Kasih kalau Abi ke sini, Pak Yasin. Nanti cewek kunti itu kesurupan."
"Ada-ada saja kamu, ngatain orang kunti."
"Hehe... Biarin Pak. Duluan ya Pak." Abi menaiki sepedanya dan melempar senyum ke arah Pak Yasin.
Tapi baru saja ia akan mengayuh sepedanya, tiba-tiba ada seseorang yang berdiri di depan sepedanya.
"Abi, anterin Kasih pulang ya? Kasih takut pulang sendiri, nanti ketemu setan. Sumpah tadi Kasih sama Fina baru aja selesai nonton film horor. Ya Abi, ya..?" Kasih menyatukan kedua telapak tangannya memohon pada Abi agar menerimanya.
"Cewek kunti. Lagian tuh jangan main malam-malam, bego. Udah bego, jelek, penakut lagi!"
Kasih memdengus kesal seraya menendang ban depan sepeda Abi pelan. Kasih harus bisa menahan emosi jika berbicara dengan Abi yang suka sekali mengejeknya itu.
"Untuk malam ini hinaan Abi nggak mempan. Kasih rela dibego-begoin seribu kalipun asal Abi mau anterin Kasih pulang. Ya Abi, ya?"
Abi menengok ke arah gang yang menghubungkan jalanan menuju rumah Kasih. Hanya beberapa meter saja sih jauhnya, tapi suasananya memang sepi meskipun penerangan di sana cukup.
Karena tidak tegaan, Abi pun menangangguk. Dengan masih tidak percaya Kasih mengambil posisi duduk di depan Abi, tepatnya di bagian besi yang menghubungkan jok sepeda yang Abi duduki dengan pegangan atau setirnya.
Aroma shampo dari rambut Kasih yang dikepang satu merasuki indra penciuman Abi. Ia dapat menebak wangi itu berasal dari buah-buahan.
"Abi udah nggak mogok ngomong lagi? Abi udah baikan sama Bunda dong?"
"Diem, ganggu konsentrasi."
Bibir Kasih mengerucut, Kesal.
"Abi jalannya jangan cepet-cepet ya. Santai aja."
"Emang kenapa?"
Kasih terkikik sekilas sebelum menjawab pertanyaan Abi. "Biar kita lama berduaannya."
Kalau saja tidak ingat ini malam hari, Abi sudah berniat menurunkan Kasih di tengah jalan.
"Abi udah ngerjain PR Bahasa Inggris buat besok?"
"Belumlah. Kan lo janji mau nyontekin besok."
"Ya udah berarti buku Kasih dibawa aja sama Abi ya malam ini, biar Abi tenang nyalinnya."
"Iya." Ternyata mengantar Kasih pulang tidak seburuk yang Abi pikirkan. Untunglah ia jadi bisa menyalin tugas Kasih secepatnya tanpa harus terburu-buru.
Sepanjang perjalanan, Kasih terus saja berceloteh ini-itu tidak jelas. Kadang Abi menanggapi, kadang juga tidak. Tergantung isi kalimat yang Kasih keluarkan layak dijawab atau tidak olehnya.
Begitu sampai di depan rumah, Kasih segera berlari masuk ke dalam dan mengambil buku tugas Bahasa Inggrisnya. Kemudian gadis itu kembali keluar dan menyerahkannya pada Abi.
"Makasih ya Abi udah nganterin."
"Iya, sama-sama."
"Abi semangat nulis PR-nya ya."
"Iya, bawel lo."
"Abi..."
"Apalagi? Lo ngomong terus kapan gue pulangnya, Kunti?"
Kasih terkekeh dan mengerlingkan matanya. Gadis itu sangat tidak rela jika harus secepat itu berpisah dengan Abi. Meskipun besok di kelas mereka pasti akan bertemu. Iya, Kasih memang se-lebay itu untuk urusan Abi.
"Abi tahu bedanya Abi sama Dilan?"
"Yang pasti gantengan gue. Gue kayak Arjuna gini," kata Abi membanggakan dirinya. Cowok itu sudah bersiap memegang setir tapi memilih memandangi Kasih, lebih tepatnya ia penasaran dengan apa yang akan gadis itu ucapkan.
"Iya sih itu salah satunya. Menurut Kasih bedanya Abi sama Dilan itu, kalau Dilan boncengin Milea pakau motor, tapi kalau Abi boncengin Kasih pake sepeda. Cie.. Cie... Abi baper cie.."
Abi yakin Kasih memang keturunan makhluk gaib. Ia tidak salah jika mengatai gadis itu cewek kunti.
***
Lima menit lagi bel masuk akan berbunyi, tapi Kasih masih belum juga terlihat. Abi yang saat itu sedang menimang buku tugas Kasih sambil berdiri di ambang pintu kelas tiba-tiba dikagetkan dengan kedatangan seseorang di hadapannya.
"Abiyasa Syamsah Fajaro," kata wanita di depannya yang Abi yakini masih berumur sekitar empat puluh tahunan.
"Iya. Ibu... guru di sekolah ini juga?" tanya Abi sopan. Jujur ia masih belum hapal dengan semua guru-guru di sekolahnya.
Wanita itu menggeleng ragu tapi kemudian mengangguk. Abi jadi bingung, mata perempuan itu juga nampak sudah berkaca-kaca.
Kebingungan Abi makin bertambah saat dirasakan telapak tangan wanita itu menyentuh permukaan pipinya. Rasanya sangat hangat dan menenangkan.
"Ibu... Kenapa?"
Wanita itu merogoh sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah foto yang memperlihatkan wajah seorang lelaki tampan. Wanita itu mengulurkan foto itu kepada Abi yang tidak mengerti maksudnya.
"Simpan itu," pintahnya.
"Untuk apa, Bu? Ibu siapa ya? jujur saya masih belum mengenal semua guru di sini karena masih kelas tujuh."
Wanita itu tersenyum tipis kemudian menyeka ujung matanya. Aneh, Abi seperti pernah melihat wanita itu sebelumnya. Tapi di mana? Ah, jelas saja Abi pernah merasa melihatnya. Orang dia guru di sekolahnya.
"Kalau Abi mau tahu, cari jawabannya sama Marisha."
"Bunda?"
Wanita itu menegang di tempat mendengar Abi menyebut Marisha bunda, membuat sedikit sisi hatinya tergores.
"Abiiiiiii..... Abiyasa....."
Mendengar ada anak lain memanggil Abi, wanita itu lantas meninggalkan tempatnya begitu saja. Abi yang saat itu tengah menoleh ke arah teriakan Kasih dibuat terkejut karena wanita yang mengaku sebagai guru itu sudah hilang dari pandangannya.
"Abiyasa Syamsah Fajaro. Good pagi selamat morning, calon jodoh."
"Kaleng kerupuk!"
Kasih mencuri pandang ke sebuah foto yang berada di tangan Abi saat ini. Tanpa meminta izin lagi, gadis itu berani merebutnya dari Abi dan begitu serius memandangi foto itu.
"Ini siapa? Ini siapa? Abiiiii ini siapa?"
Kasih itu tipikal cewek yang berisik dan penuh energi. Abi heran bagaimana bisa pita suaranya tidak putus jika digunakan untuk terus berteriak.
"Balikin!" Abi merebut paksa foto itu dari tangan Kasih yang sekarang merengut kesal.
"Nih, buku tugas lo." Abi menyerahkan buku tugas Bahasa Inggris Kasih tepat di tangan gadis itu.
"Ih... Itu jangan-jangan foto ayah mertua."
Perkataan Kasih yang biasanya hanya masuk telinga kanan kemudian keluar lewat pori-pori kulitnya, hari ini berhasil merembes hingga ke relung hati Abi.
Abi akan bertanya pada Bunda siapa lelaki di foto itu.
Juga siapa wanita tadi yang mengaku sebagai guru.