Chapter 9 - The Suspect
Hana, Juna, Pak Dani dan Dimas tiba di kantor pusat jasa pengiriman paket J&E Express. Juna langsung bergegas masuk ke dalam dan disusul yang lainnya mengikuti dari belakang.Tentu saja, kedatangan mereka beramai-ramai membuat pelanggan J&E Express yang berada digedung tersebut bertanya-tanya siapa empat orang yang tiba-tiba langsug masuk menerobos pintu.
Juna mengelurkan lencananya, "Saya dari kepolisian. Bisa minta waktunya sebentar? Saya butuh bertemu dengan manager di sini" ujarnya. Seorang resepsionis yang berada tepat di hadapan meja pun langsung bergegas menghubungi managernya untuk segera menemui Juna. Dari raut wajahnya, wanita tersebut terlihat tegang dan takut. Mungkin ia khawatir jika terjadi keributan di kantornya.
"Selamat siang" seorang pria dengan name tag bertuliskan 'Manager' itu menyapa Juna. Ia menjabat tangan Juna dan menanyakan apa yang Juna kebutuhan.
Setelah berkelit panjang, manager tersebut yang awalnya tidak mau memberikan data karyawannya akhirnya mau kooperatif membantu proses penyelidikan. Ia mengantar Juna dan Hana ke bagian dalam kantor. Sementara Dimas dan Pak Dani menunggu di lobby. Di dalam kantor J&E, manager tersebut membuka sebuah berkas dan memberikannya pada Juna.
"Ini nomor pengirimannya. Dan ini data kurirnya" ujar manager tersebut. "Namanya Kian, 21 tahun. Berdasarkan data, dia yang kirim paket ke rumah Jihan Amanda pada tanggal 2 Januari. Kalau dari jadwal shift nya, hari ini lagi ga kerja" lanjutnya.
"Terima kasih. Boleh saya minta copy-nya?" tanya Juna.
"Tentu" Manager tersebut mengambil kertas yang dimaksud oleh Juna lalu pergi ke mesin fotocopy di lorong perkantoran tersebut. Sambil menunggu, Juna hanya memperhatikan sekelilingnya sementara Hana membaca data pengiriman lainnya yang tercantum. Dengan ponselnya, ia memfoto beberapa informasi yang sekiranya penting tanpa sepengetahuan manager tersebut.
"Ini berkasnya" Manager tersebut kembali dengan beberapa kertas yang diserahkan kepada Juna. Setelah mendapatkan datanya, Juna dan Hana pun bergegas menuju alamat yang tercantum pada berkas tersebut.
***
Sesampainya di lokasi, Juna meminta Dimas untuk mengecek situasi rumah Kian. Dimas keluar dari mobil dan menghampiri beberapa ibu-ibu yang tengah sibuk mengobrol dipinggir jalan, tepat di sebrang rumah Kian.
"Permisi bu, mau numpang tanya, di sekitar sini apa ada laki-laki yang namanya Kian, ya?"
"Mas Kian? Lah, itu rumahnya depan muka mu, mas" tunjuk seorang ibu-ibu bertubuh gemuk menunjuk rumah bercat biru muda yang berada tepat di sebrangnya. Rumah itu terlihat sepi dan hanya terlihat motor Yamaha dengan plat B yang terparkir di teras. Motor yang sama yang Dimas saksikan di CCTV.
"Orangnya ada gak ya bu?" tanya Dimas.
"Jam-jam segini sih dia biasanya kerja. Tapi kalo lagi ga kerja, biasanya mah dia di warnet depan" sahut ibu-ibu yang lain menunjuk depan gang.
"Oh gitu, makasih ya bu. Permisi" Dimas langsung bergegas kembali masuk ke dalam mobil menjelaskan informasi yang ia dapat. Tanpa banyak mengulur waktu, Juna dan Dimas langsung bergegas ke warnet yang tak jauh dari tempat parkir mereka. Sementara Pak Dani dan Hana mengikuti dari belakang.
Tepat di depan pintu warnet, Juna memastikan wajah beberapa orang di dalam warnet dengan foto Kian yang ia dapatkan dari kantornya. Dengan keahliannya, ia tak membutuhkan waktu yang lama untuk menemukan Kian.
"Pojok yang pake headphone" bisik Juna pada Dimas. "Gue dari sebelah sana ya, lo jaga dari sisi satunya. Pak Dani dan Hana tolong jaga di sini" lanjut Juna mengarahkan. Semua pun langsung mengambil posisi mereka masing-masing, sementara dengan langkah tenang Juna berjalan menghampiri Kian yang sibuk dengan game onlinenya, tak menyadari sedikit pun kalau dirinya sedang menjadi intaian. Karena entah dia akan menjadi saksi atau tersangka, yang jelas Juna harus mendapatkan pria tersebut.
"Kian?" panggil Arjuna. Pria yang dipanggil Kian tersebut awalnya tetap bergeming, namun segera menoleh saat Arjuna mengetuk meja.
"Siapa ya?" tanya Kian sembari melepaskan headphonenya.
"Saya dari kepolisian, ada beberapa hal yang harus ditanyakan. Bisa ikut kami sebentar?" tanya Juna. Namun Kian terlihat kaget dan perlahan beranjak dari kursinya seolah ingin meninggalkan warnet tersebut.
Namun dengan sigap, Dimas yang bersiap menyergap dari arah berlawaranan, langsung meraih tangan Kian dan memasangkan borgol pada tangan Kian.
"Eh apa-apaan nih!" Kian yang mulai panik mencoba untuk melepaskan diri. Namun Dimas yang bertubuh gempal tentu lebih kuat sehingga pergolakkannya tidak berpengaruh sama sekali.
"Ayo ikut ke kantor kami" Akhirnya Juna dan Dimas langsung menggiring Kian ke dalam mobil tanpa perlawanan, diikuti Pak Dani yang sibuk mengambil gambar Kian yang tertunduk. Hana pun mengekor paling belakang menyaksikan segalanya. Warnet yang semula tenang berubah gaduh dengan beberapa pasang mata yang tertuju pada Kian. Gang depan warnet yang semula sepi juga berangsur-angsur mulai dipadati orang-orang yang penasaran. Terdengar pula sayup-sayup suara orang-orang yang berbisik menyebut-nyebut nama Kian.
***
Sesampainya di kantor polisi, Juna langsung menggiring Kian ke dalam ruang introgasi. Ia mencecar pria kurus itu dengan berbagai pertanyaan. Suaranya terdengar bergema di antara dinding-dinding ruang introgasi yang gelap dengan pencahayaan minim yang bersumber dari satu lampu pada langit-langit ruang introgasi.
"2 Februari 2009, kamu kirim paket ke rumah Jihan kan?" tanya Juna. Sedari tadi Juna terlihat begitu serius melontarkan berbagai pertanyaan pada Kian yang terus tertunduk di mejanya.
"Ng..nggak pak. Saya gak ke sana" Kian kembali melontarkan jawaban yang sama, yang tentu membuat Juna semakin merasa gusar. Apalagi proses introgasi yang panjang memakan waktu hampi empat jam.
"Jangan ngelak kamu! Dari tadi jawabnya aja muter-muter. Ini buktinya di berkas kantor ada nama kamu sebagai pengirimnya!" Juna melemparkan papan kertas yang sedari tadi ia pegang. Bunyi papan yang dibanting kencang itu sontak membuat Kian kaget. Ekspresi wajahnya pun semakin tegang dan tertekan.
"Demi Tuhan pak, saya gak ke sana. Karena sebetulnya..."
"Sebetulnya apa? Ngomong tuh yang jelas!"
"Tapi bapak jangan laporin ke kantor saya ya"
"Tergantung" Jawab Juna ketus. Kian terlihat semakin mengkerut mendengar ucapan Juna. Namun begitu, ia tidak punya pilihan lain. Karena mendekam di penjara bukanlah tawaran yang menyenangkan.
"Tanggal 2 januari itu, saya tuker shift pak. Tapi tanpa sepengetahuan kantor" ujar Kian yang akhirnya memberanikan diri. Jelas saja, ucapan itu membuat Juna dan semua orang yang menyaksikan proses introgasi dari balik kaca itu kaget.
"Maksudmu, tanggal 2 januari itu bukan kamu yang ke rumah Jihan tapi orang lain?"
Kian mengangguk. "Saya udah janjian sama teman-teman game saya buat main bareng pak, Tapi, tiba-tiba shift saya diganti. Kebetulan ada yang mau ngisi, jadi saya kasih ke orang lain aja" jelas Kian yang perlahan mulai memberanikan diri untuk menatap Juna.
Mendengar pernjelasan seperti itu, lantas Juna langsung mengeluarkan gambar cctv yang sudah ia dapat.
"Lalu ini siapa? Ini kan motor kamu"
"Iya, memang motor saya, kan dia juga minta pinjem motor. Dia mau isi shift saya tapi pake motor saya katanya. Ga mau pake bensin dia. Please pak, jangan kasih tau kantor saya ya pak"
"Terus dia siapa? Siapa yang ganti shift dengan kamu?"
"Noah pak. Temen kantor sekaligus temen game online saya"
"Dia ga ikut main bareng? Nggak pak, dia lagi butuh uang katanya, jadi memang lagi cari tambahan-tambahan."
"Kamu kecanduan game online ya, sampai ngorbanin pekerjaan kamu sendiri. Kamu tau gak kayak gitu tuh ga bagus!"
"Tau pak" Kian kembali tertunduk.
Ruang introgasi pun kembali hening. Juna menatap kaca hitam yang memantulkan wajahnya seolah menatap orang-orang yang menyaksikan proses introgasi tersebut dari balik kaca hitam pekat tersebut.
"Terus kamu punya kontaknya?"
"Cuma ada nomor telepon aja sih pak. Saya gak deket"
"Ck..... yaudah sini serahin nomornya!" Juna pun menyuruh Kian untuk menuliskan nomor telepon Noah. Dalam hatinya, ia sudah berpuluh-puluh kali mengumpatkan kata-kata kasar dan berharap pria bernama Noah itu belum kabur. Juna ingin segera mendapatkan pria bernama Noah tersebut secepatnya.
Setelah mendapatkan nomornya, Kian pun dimasukan ke dalam sel tahanan sementara. Dan selagi waktu penahanannya masih bisa dimanfaatkan, Juna, Hana dan yang lainnya pun berdiskusi untuk menentukan rencana selanjutnya.
Di ruang kerja Juna, Dimas mencoba menghubungi nomor yang diberikan Kian. Semua yang berada di ruang kerja Juna nampak menunggu, membuat ruangan tersebut terasa sunyi senyap. Tapi sial yang didapat karena nomor itu tak dapat dihubungi. Dengan perasaan yang semakin gusar, Juna pun harus kembali ke sel Kian untuk memastikan nomor tersebut. Namun memang kenyataannya, nomor tersebut sudah tidak aktif. Sehingga mau tidak mau, mereka harus kembali ke kantor J&E untuk meminta data diri karyawannya lagi, dan kali ini adalah data diri milik Noah.
***
Matahari mulai tergelincir ke barat saat Juna dan tim tiba di kantor J&E. Sehingga mereka pun tak ingin berlama-lama dan segera menemukan Noah. Setelah menemui manager kantor tersebut, dan mendapatkan data-datanya, Juna, Hana, Pak Dani dan Dimas bergegas kembali ke mobil.
"Kita udah dapet data profilnya Noah, kayaknya kita lebih baik langsung ke alamat ini" ujar Juna tepat sebelum ia menyalakan mesin mobilnya.
"Jun.." panggil Hana dari luar mobil. Wanita itu masih terpaku seolah tengah memikirkan sesuatu.
"Kenapa? Kamu ikut di mobil Pak Dani"
"Kayaknya kita perlu dibagi jadi dua tim" pinta Hana. Juna terlihat bingung dengan apa yang Hana maksud. Ia pun kembali mematikan mesin mobil. "Kenapa? Kamu nemuin apa lagi?"
"Bisa bicara sebentar?" tanya Hana. Juna pun segera keluar dari mobil dan menyuruh Dimas untuk tetap di dalam. Hana membawa Juna agak jauh dari mobil untuk membicarakan sesuatu.
Dengan cekatan, wanita itu membuka tas dan mengeluarkan tablet-nya dan menunjukkan foto yang ia temukan tadi pagi. Juna terlihat kagum melihat benda 'canggih' yang dikeluarkan oleh Hana itu.
"Juna, aku rasa kalau kita hanya sibuk mengejar Noah, yang ada kita gak akan mengubah variabelnya."
"Kenapa? Kita kan sedang mencari pembunuhnya"
Ini foto yang aku ambil kemarin. Liat jejak sepatu ini deh" Hana menunjuk jejak sepatu berukuran besar. "Ini bukan milik Jihan, udah ku pastikan" tambahnya. Juna memperhatikan jejak sepatu itu, tak mengerti.
"Dari tadi pagi, aku sudah curiga, beberapa lama sebelum kematian Jihan, sepertinya ada seseorang yang masuk ke rumahnya. Dan sepertinya ini adalah jejak sepatu Noah." jelas Hana.
"Ya kalau gitu kita harus cepat tangkap dia"
"Bukan gitu" Hana menyanggah. "Menurutku, kita hanya mengulang variabel yang sudah terjadi. Kalau seperti ini terus kita akan terus tertinggal selangkah di belakang pelakunya."
"Darimana kamu tau kita cuma mengulang variabelnya?"
"Ini..." Hana membuka catatan ayahnya. "Aku takut kejadian seperti Jihan terulang, jadi ku baca habis buku catatan ayahku. Dan masih ada korban ketiga."
"Apa?"
"Namanya Irene. Ditemukan dalam sebuah karung di tempat pembuangan akhir. Di duga sudah berada di dalam karung selama dua minggu."
"Astaga! Kapan itu?"
"Ayahku tidak menuliskan keterangan detail. Tapi, jika tanggal ditemukannya adalah 22 Februari, berarti kita masih punya cukup waktu mencari informasinya. Karena itu, kita harus terbagi jadi dua tim."
"Tapi kamu ga bisa menyelidiki sendiri tanpa aku, kamu bukan polisi"
"Dan juga gak bisa melakukannya dengan orang lain selain kamu. Karena hanya kamu yang tahu identitas ku. Hanya kamu yang tau siapa aku sebenarnya"
"Kalau gitu gimana kalau Noah aku serahkan ke Dimas dan Pak Dani aja? Toh, Pak Dani bergerak sesuai variabel, aku yakin dia bisa membantu Dimas menemukan Noah. Jadi kita bisa fokus cari tahu tentang Irene"
"Apa Dimas bisa dipercaya?"
"Sejauh ini, dia sering melakukan penyelidikan yang sifatnya rahasia denganku, dan tidak ada masalah. Tenang aja, ada alasannya kenapa aku pilih dia menjadi partnerku, meskipun kadang geraknya lambat" Juna terkekeh sendiri.
"Ya sudah, kalau menurutmu dia orang yang bisa dipercaya. Biarkan mereka mencari Noah, kita selidiki soal Irene"
Hana dan Juna kembali ke mobil dan menjelaskan pada Dimas kalau mereka akan terbagi menjadi dua tim.
"Report ke gue setiap apa yang lo temuin soal Noah ya"
"Sip bang!"
"Tolong jaga Pak Dani juga ya" pinta Hana. Ia khawatir karena apa yang akan mereka lakukan mungkin akan benar-benar merubah variabel.
Setelah menjelaskan pada Dimas, ia segera berpindah mobil ke mobil milik Pak Dani. Pak Dani yang sedari tadi sudah berada di mobilnya terlihat bingung di kursi supirnya.
"Kenapa?" tanya Pak Dani.
"Bang Juna, mau bagi jadi dua tim. Saya diminta sama Pak Dani lanjutin kejar Noah." jelas Dimas.
"Lalu mereka?"
"Ada yang mau diselidiki lagi katanya. Besok mungkin akan dijelasin, karena sekarang kita gak punya banyak waktu, pak"
"Oke, yaudah langsung berangkat aja" Pak Dani langsung menyalakan mesin mobilnya dan pergi ke alamat yang tercantum pada data diri Noah yang sudah mereka dapatkan. Sementara Juna dan Hana akan kembali ke rumah Jihan untuk mencari tahu soal Irene.
***
Matahari semakin turun ke barat meninggalkan langit yang semakin gelap. Hari ini adalah hari yang panjang bagi Juna dan Hana. Tak banyak kata yang keluar dari mulut keduanya selama kembali ke rumah Jihan.
"Han.. baik-baik aja kan?" tanya Juna sambil mengendarai mobilnya, mencoba memecah kesunyian. Ia memperhatikan wajah Hana yang terlihat sendu sepanjang perjalanan.
"Oh.. eh.. Gapapa"
"Kayak galau gitu"
"Aku kecewa Jun. Kecewa dengan diriku sendiri sebenarnya"
"Kenapa?" Juna sesekali menoleh ke samping kirinya sambil terus mengendarai mobilnya.
"Aku merasa bersalah pada kematian Jihan. Seharusnya kita bisa menyelamatkannya" ucap Hana dengan ekspresi yang terlihat semakin sendu.
"Yasudahlah.. Yang penting kan sekarang kita berusaha untuk menghentikan segalanya. Dan menyelamatkan yang bisa kita selamatkan"
"Kamu tau, kenapa aku jadi sekeras kepala ini hanya demi menyelamatkan ayahku?"
"Ya, karena kamu mencintainya kan. Kamu menyayangi ayahmu"
"Semua anak pasti menyayangi ayahnya, Jun" Hana tersenyum lirih. "Selama tujuh tahun setelah menghilangnya ayahku, aku hanya menyalahkan diriku. Apa yang terjadi padanya terjadi karena aku mengabaikan teleponnya" Hana mulai bercerita.
"Bagaimana jika saat itu aku tidak menutup teleponnya? Kira-kira apa yang ingin ayahku katakan saat itu? Minta tolong? Minta maaf? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu selalu muncul dalam kepalaku. Setiap hari, setiap jam, setiap menit, setiap detik aku bisa merasakan rasa penyesalan itu terasa semakin membunuhku. Setiap malam aku hanya bisa tidur dengan obat tidur. Saat aku tidur, tak jarang aku mendapatkan mimpi-mimpi buruk yang membuatku terbangun dan tidak berani tidur lagi. Apalagi saat melihat kondisi ibuku yang saat itu semakin buruk. Hidupku terasa hancur"
"Lalu apa yang membuatmu memutusukan untuk kembali? Padahal kamu tau, kembali ke sini hanya akan melukai dirimu?"
"Setelah beberapa tahun, aku tidak sengaja menemukan barang-barang milik ayah yang ditemukan oleh polisi di gudang rumah, dan aku menemukan buku catatan di dalam tasnya. Saat itu aku baru menyadari kalau ada yang aneh. Aku yakin ayahku dibunuh. Jadi kupikir jika aku menjadi salah satu faktor terbunuhnya ayaku, setidaknya aku harus menangkap pembunuhnya untuk menebus dosaku padanya, menebus rasa penyesalan ini"
Juna terdiam. Sedikit banyak, kini ia paham kenapa gadis di sampingnya begitu keras kepala ingin bekerja sama dengannya saat bertemu dengannya di jembatan dulu.
"Karena itu, kamu menyesal atas kematian Jihan? Karena kamu juga pernah menyesali kematian ayahmu yang menurutmu adalah karena dirimu?" tanya Juna. Hana hanya mengangguk tidak mengeluarkan sepatah kata.
Hana tidak ingin kebodohannya kembali memakan nyawa. Kematian Jihan membuatnya merasa bersalah. Seharusnya ia bisa menyelematkan gadis itu. Jika saja penyesalan dan keputus-asaannya dulu tidak menggerogoti kehidupannya, ia akan mengetahui fakta dan kebenarannya lebih cepat, dan bisa menyelamatkan Jihan.
"Hana, aku harap kamu tidak terus menerus menyalahkan dirimu. Kematian itu kan sudah digariskan oleh Tuhan. Jadi jangan terlalu menyalahkan dirimu. Kamu itu wanita yang hebat, cerdas dan pemberani. Kamu bisa menjadi apa pun yang kamu inginkan asal kamu tidak terus menerus tenggelam dalam penyesalanmu"
Hana tersenyum menatap Juna yang terlihat begitu tulus mengatakan hal tersebut. Belum ada satu orang pun selama tujuh tahun dalam kelamnya kehidupan Hana yang mencoba mengatakan hal itu kepadanya. Hari-hari yang dilalui Hana terlalu kelam untuk bisa merasakan perhatian seperti itu.
***
Juna dan Hana hampir tiba di TKP kematian Jihan. Juna memarkirkan mobilnya di depan gang, tepat disebrang minimarket.
"Tapi Juna..." ucap Hana tiba-tiba. Juna yang tengah bersiap keluar dari mobil menoleh pada Hana yang belum melanjutkan kata-katanya. Hana menatap Juna lekat-lekat dengan sorot matanya yang sendu.
"Bagaimana jika kematian ayahku, adalah kematian yang sudah digariskan Tuhan seperti katamu? Bagaimana jika kematiannya.... seperti kematian Jihan yang tidak bisa kita cegah" lanjut Hana yang langsung membuat Juna terdiam tak mampu menjawabnya.
*To be continued
=============================================
Ah, maaf telat update banget karena sempet lupa password akun tinlit ㅠㅠ
Mantap thor. lanjutkan ceritanya
Comment on chapter Chapter 1 - Timeline