Chapter 8 - Team Up
Pagi hari saat matahari belum terlalu terik, Hana dan Juna sudah kembali berada di rumah Jihan. Sambil menunggu Juna yang sibuk memeriksa TKP, seperti biasa Hana mengisi jurnalnya sambil melihat kembali beberapa foto yang ia ambil di TKP sehari yang lalu.
Di antara foto-foto tersebut, perhatian Hana terhenti pada satu foto beberapa deret sepatu. Keningnya berkerut mengamati sesuatu yang berbeda. Ia lalu menoleh ke arah teras dimana sepatu-sepatu tersebut masih berada di tempat yang sama. Dengan cepat ia merapikan jurnalnya ke dalam tas dan melangkah ke arah sepatu-sepatu tersebut yang masih berderet di teras.
Dari jenis sepatunya, bisa dipastikan sepatu-sepatu itu milik Jihan. Mengingat Jihan juga tinggal sendiri di rumah kontrakannya. Namun sebetulnya bukan sepatu-sepatu itu yang menarik perhatiannya. Melain jejak sepatu berukuran besar yang nampak di antara deretan sepatu-sepatu tersebut.
Buru-buru Hana mengenakan sarung tangannya dan meraih salah satu sepatu untuk dideretkan berjajar dekat dengan jejak sepatu ukuran besar tersebut. Dan benar saja, perbedaan ukuran sepatunya terlalu jauh. Tanpa mengeluarkan kata-kata, ia pun langsung melangkah ke arah rak sepatu yang tak jauh dari pintu masuk. Ia memperhatikan setiap ukuran sepatu di sana dan mencocokkannya dengan jejak sepatu tersebut. Dan tak satu pun yang sesuai.
"Jejak sepatu siapa ini?" tanya Hana dengan suara yang hampir tidak terdengar. Jari-jarinya menyentuh jejak sepatu yang terlihat jelas itu. Ia bisa merasakan sisa-sisa tanah yang sudah mengering.
"Han" panggil Juna tepat saat Hana sibuk memikirkan pemilik jejak sepatu di teras tersebut.
Hana baru menyadari pria dengan tinggi sekitar 185cm itu sudah berdiri di depan pintu. Hana yang berjongkok mengamati jejak sepatu di teras itu mendongak tinggi melihat Juna yang terlihat bingung memperhatikan Hana.
"Kenapa?" tanya Hana beranjak dari jongkoknya.
"Sebentar lagi pak Dani datang. Udah mau sampai katanya"
"Oh, oke"
"Oke? Yakin kamu baik-baik aja? Udah siap untuk 'berinteraksi' sama ayahmu sendiri kan?" tanya Juna hati-hati.
Hana mengerti maksud ucapan Juna. Pertemuan Hana dengan pak Dani memang sekilas seperti pertemuan antar partner kerja dan informan Juna saja. Tapi, bagi Hana hal itu mungkin bukanlah pertemuan biasa. Karena ia harus menahan dirinya yang bertemu kembali dengan sosok ayah yang sudah dinyatakan meninggal. Bersikap biasa mungkin tidak akan mudah baginya.
"Ayahku.. akan mengenaliku gak ya? Apa dia akan merasa aneh saat melihatku?" Hana tertawa getir. Sebagian dirinya memang tidak siap jika 'ayah'-nya tidak mengenali dirinya. Namun ia juga tidak bisa berharap agar Pak Dani mengenalnya.
"Pokoknya, ingat alibimu. Kamu adalah informan rahasiaku. Jadi jangan berikan penjelasan detail apa pun pada Pak Dani."
Hana mengangguk. Ia sudah mempersiapkan alibi dan hal-hal lainnya bersama Juna saat berdiskusi semalam.
Tiba-tiba terdengar suara mobil yang berhenti tak jauh dari TKP. Hana dan Juna menoleh ke arah suara tersebut. Terlihat Pak Dani keluar dari pintu supir dengan kemeja berwarna baby blue dan kacamata hitam melangkah ke arah mereka.
"Action!" bisik Juna yang menepuk bahu Hana dan berlalu menghampiri Pak Dani. Ia memberikan tanda pada Hana untuk memulai aktingnya. Hana tersenyum kecil melihat tingkah Juna yang terlihat menikmati peristiwa ini.
"Wah tumben pagi banget nih pak" Juna menyapa Pak Dani dengan suara lantang yang disambut Pak Dani dengan jabatan tangan. Sambil tersenyum kecil Hana melangkah membuntuti Juna.
"Iya dong, biar saya dapat infonya yang pertama! Hehehe" gurau Pak Dani.
"Oh iya , ini kenalkan. Namanya Hana" Juna menarik tangan Hana yang sedari tadi bersembunyi di balik bahu bidangnya.
"Oh, ini yang informan Mas Juna ceritain itu?" tanya Pak Dani sambil menjulurkan tangannya pada Hana. Hana terlihat ragu-ragu menjabat tangan Pak Dani yang langsung mengenggamnya dengan bersahabat.
"Salam kenal ya. Saya Dani" ujar Pak Dani disertai senyum di wajahnya. Hana pun refleks ikut tersenyum. Segalanya terasa seperti mimpi baginya, seolah melihat ayahnya kembali dari kematian.
"Mirip anak Pak Dani kan?" celetuk Juna yang tentu membuat Hana langsung terperanjat dengan ad-lib Juna yang diluar 'skenario'.
Pak Dani menatap Hana dengan seksama. Memperhatikan Hana yang terlihat kikuk dan khawatir takut identitasnya terbongkar.
"Hmm.. kalo dipikir-pikir iya juga ya. Kebetulan banget ya? Namanya juga sama-sama Hana lagi. Mungkin Hana kalau udah gede jadi kayak Mbak Hana ya." ujar Pak Dani diakhiri dengan tawa.
Seketika Juna melirik Hana yang terlihat kaget. Mendengar ucapan Pak Dani tentu memberikan sedikit ketenangan pada detak jantung Hana yang sedari tadi bergemuruh khawatir. Namun kekhawatirannya tak berarti. Ayahnya tidak menyadari keanehan yang terjadi.
Melihat situasi yang terlihat 'aman', Juna pun mengajak Pak Dani keluar dari police line untuk memberi tahu beberapa hal tentang fakta yang sudah ditemui Juna dan Hana mengenai kematian Mira dan Jihan, sementara Hana mencoba mencari informasi tambahan dari para tetangga.
***
Tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Beberapa tim forensik dan penyidik sudah bersiap-siap merapikan peralatan mereka. Namun, Hana dan Juna nampak masih membicarakan sesuatu di ruang tidur, tempat ditemukan tubuh Jihan.
"Aku rasa, aku menemukan kejanggalan lain" ujar Juna.
Pria bermata sipit itu mengambil meteran dan mengukur beberapa benda seperti jarak antara letak kursi yang masih berdiri tegak ke titik dimana tubuh Jihan tergantung, tinggi kursi, dan tinggi tali yang terikat. Hana yang tidak mengerti hanya memperhatikan Juna. Pria itu lalu mengeluarkan buku catatan dari sakunya dan menghitung sesuatu.
"Kenapa?" tanya Hana bingung. "Kamu ngitung apa sih?"
"Menyocokkan sudut siku"
"Hah?"
"Kamu perhatiin ruangannya. Gak ada satupun tumpuan terdekat dengan talinya kecuali bangku ini. Jika kita asumsikan seandainya Jihan bunuh diri dengan bantuan bangku ini,, dia mungkin pertama akan menendang benda-benda di sekitarnya saat mengalami sekarat. Tapi kamu bisa lihat, benda-benda di sekeliling ruangan yang berantakan ini jaraknya jauh dari titik tali. Dengan tinggi tali yang gak terlalu panjang, dan tinggi badan Jihan yang sekitar 160cm, mustahil kakinya bisa sampai menendang benda-benda ini."
"Maksud kamu, ruangannya sudah berantakan sebelum dia meninggal, karena penyebab ruangan berantakan ini bukan dilakukan oleh Jihan sesaat ia sekarat"
"Benar. Sementara itu, satu-satuya benda terdekat adalah bangku ini dan masih berdiri tegak. Jadi kalau ini bunuh diri, bisa kita simpulkan, dia kemungkinan besar menggunakan bangku ini untuk berpijak" ujar Juna lagi sambil menunjuk kursi kayu yang cukup kokoh tak jauh dari tempatnya berdiri.
Hana mengangguk setuju dengan pendapat Juna.
"Tapi kalau aku ukur dari jarak kursi ke titik gantungnya itu hampir 1,8m."
"Terus kenapa?"
"Mustahil"
"Hmm?"
"Dengan tinggi badan 160cm, jarak maksimal kursi harusnya hanya sekitar tinggi badannya juga. Apalagi dengan adanya gravitasi, bahkan harusnya jarak kursi di bawah 1,6m. Lebih dari itu, sangat mustahil, kalau pun bisa mungkin korban harus berjinjit banget-banget.
"Jadi kemungkinannya apa?"
"Ada dua kemungkinan, pertama Jihan mungkin gak berpijak di kursi ini. Karena entah antara ujung kakinya Jihan yang tidak akan sampai di ujung kursi, atau lubang talinya yang tidak akan bisa dimasukkan ke leher Jihan karena talinya terlalu pendek. Kemungkinan kedua, kalaupun berhasil, Jihan harus menggunakan kursi yang lebih tinggi. Tapi karena kursi yang digunakan pendek seperti ini, dan posisi kursi yang masih berdiri tegak, seharusnya kursi ini berada di jarak dibawah 1,6m. Kalau lebih dari itu, harusnya kursi dalam keadaan jatuh karena ditendang."
"Lalu kalau jarak kursinya ternyata memang jauh seperti ini, berarti apa?"
"Satu-satunya cara agar kursinya tetap tegak dengan jarak yang cukup jauh adalah kursi harus ditarik. Tapi itu akan sulit dilakukan jika Jihan sudah bersiap menggantung dirinya kan? Berarti jawabannya adalah ada orang lain. Karena siapa yang bisa menarik kursi jika Jihan saja sudah berpijak di atas kursinya kalau bukan ada orang lain?."
"Atau bisa juga, kursi itu memang dipakai orang lain itu untuk meggantung Jihan. Waaaahhhh.. gila, hebat banget... aku yakin memang ada orang lain tapi aku gak kepikiran sampe situ, loh" ujar Hana terkagum-kagum.
"Ya karena kamu bukan detektif" jawab Juna dengan ekspresi wajah yang berlagak sombong. Mendengar jawaban tersebut, tentu Hana terkekeh.
"Jika disatukan dengan bukti-bukti semalam, setelah mencekik Jihan, orang tersebut bisa saja menggunakan kursi untuk menggantung Jihan dan setelah tergantung, ia secara tidak sadar menggeser kursinya terlalu jauh, karena memang bukan dia yang gantung diri."
"Tepat!" Juna menjentikkan jarinya. "Tapi masalahnya sekarang adalah, siapa yang masuk ke kamar ini dan membunuh Jihan? Tidak ada saksi yang melihat kejadiannya" ucap Juna. Pertanyaan itu dengan cepat membuat ruang tersebut menjadi sunyi senyap karena tak ada satu jejak pun yang ditinggalkan pelakunya di kamar tersebut. Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu kamar yang memecah kesunyian ruangan tersebut.
"Bang Jun, Mbak Han, makan siang dulu yuk" ujar Dimas muncul dari balik pintu. "Nanti kita nyusul. Duluan aja" ujar Juna. Dimas pun berlalu meninggalkan kamar. Di luar rumah, Dimas melihat Pak Dani yang baru saja selesai mewawancarai tetangga sekitar.
"Pak, makan siang dulu yuk" ajak Dimas. "Saya sendirian nih hehe"
"Wah, ditraktir ga nih mas? Mas Juna sama temennya satu lagi emang ga makan?" tanya Pak Dani sambil merapikan catatannya.
"Ayo deh, pak! Mereka nyusul katanya" Dimas merangkul Pak Dani dengan akrab lalu pergi ke warung mie ayam yang tidak jauh dari TKP kematian Jihan.
Di sana, Dimas memesan dua mangkuk mie ayam bakso untuk dirinya dan Pak Dani. Warung mie ayam kecil yang tepat berada di depan minimarket itu terlihat ramai. Sehingga Dimas dan Pak Dani pun harus menunggu giliran untuk memesan.
"Mas Dimas mau minum apa? Gantian saya yang beliin. Saya mau beli minum ke dalam nih"
"Wah.. hmm apa ya, yang teh botolan aja deh pak, makasih loh pak hehe"
"Ah saya juga makasih kan ditraktir mie ayam nih" Kedua pria tersebut saling tertawa. "Sebentar ya" tambahnya. Pak Dani menepuk punggung Dimas lalu pergi ke dalam mini market. Di dalam minimarket, tanpa berlama-lama memilih, Pak Dani mengambil satu botol air mineral dingin dan satu botol teh kemasan dingin lalu membayarnya.
Di kasir, sambil menunggu antrian, Pak Dani hanya melihat-lihat sekitarnya. Namun ada satu hal yang menarik perhatiannya. Ia mendongak ke bagian atas kasir, tepatnya pada sebuah LCD TV yang menampilkan empat tayangan CCTV secara langsung. Tentunya, bukan semata-mata CCTV yang menarik perhatiannya, melainkan gambar yang terekam pada CCTV tersebut. Kontrakan milik Jihan yang berada tidak jauh dari depan gang yang bersebrangan dengan minimarket terlihat jelas pada CCTV tersebut. Bahkan dari CCTV tersebut, ia bisa melihat Juna dan Hana yang baru keluar dari pintu pagar.
"Ini aja pak?" tanya kasir mini market yang langsung memecahkan konsentrasinya dari layar CCTV tersebut.
"Oh, iya" jawab Pak Dani kikuk. "Mbak, itu CCTV nya sudah dipasang sejak kapan ya?" tanya Pak Dani.
"Oh, CCTV sudah ada sejak awal mini market ini ada pak. Sudah 2 tahunan"
"Berarti rekaman sekitar seminggu lalu masih ada ya?"
"I...iya.. pak. Kenapa ya?" kasir wanita itu terlihat sedikit bingung dan curiga dengan pertanyaan Pak Dani.
"Boleh saya lihat? Saya wartawan, dan yang di luar itu teman saya, polisi yang lagi nanganin kasus di rumah depan situ. Boleh kami lihat CCTV-nya?" tanya Pak Dani langsung bergerak cepat.
Kasir itu awalnya terlihat ragu, lalu memanggil rekannya. Setelah meminta izin dengan pihak yang bertanggung jawab dengan mini market tersebut, Pak Dani akhirnya diperbolehkan melihat CCTV-nya. Dengan sigap, ia pun segera memanggil Dimas, yang kemudian memanggil Juna dan Hana. Mereka berempat berkumpul di mini market tersebut untuk menyaksikan CCTV itu.
"Saya mau lihat CCTV kemarin sekitar jam 7 pagi ya mas" ujar Juna pada seorang pria yang juga karyawan minimarket tersebut. Nampaknya, ia yang paham menangani pengoperasian CCTV-nya.
Tanpa menunggu lama, pria itu menampilkan empat tayangan CCTV berbeda di waktu yang sama. Juna menunjuk salah satu layar yang menampilkan tayangan CCTV di luar mini market yang mengarah ke jalan raya, yang tentunya menampilkan kontrakan Jihan.
Mereka berempat menyaksikannya bersama, Pukul 07.40 Jihan keluar dari rumah dan berbicara dengan tetangganya untuk beberapa menit, lalu kembali ke dalam rumah, menutup pintunya dan tidak keluar lagi.
"Coba dipercepat mas" ucap Hana. Pria itu pun mempercepat pergerakkan CCTV tersebut.
Pukul 9.25, terlihat seorang kurir pengiriman paket datang ke rumah Jihan mengantarkan sebuah paket. Pintu rumah itu terbuka namun tidak terlihat ada yang keluar dari pintu tersebut hingga Kurir tersebut membuka pintu pagar lalu masuk ke dalam untuk menyerahkan paket dan meminta tanda tangan Hana secara langsung. Tidak terlihat begitu jelas apa yang terjadi karena daun pintu yang terbuka menghalangi sorot kamera. Lalu beberapa saat kemudian, pintu tersebut ditutup dan kurir itu langsung bergegas pergi dengan tergesa-gesa dengan motornya.
Juna, Hana, Pak Dani dan Dimas pun saling berpandangan. Bagaikan oasis di padang pasir, mereka menemukan petunjuk tambahan untuk mencari saksi ataupun potensi tersangka.
"Kita pergi ke kantor pusat J&E sekarang" ujar Juna. Semuanya pun langsung bergegas setelah melihat potongan gambar terakhir CCTV tersebut. Terlihat jelas nama perusahaan jasa kurir tersebut pada seragamnya. J&E Express.
*To Be Continued
Mantap thor. lanjutkan ceritanya
Comment on chapter Chapter 1 - Timeline