Hari demi hari dijalani Hana. Menjadi wartawan entertainment ternyata tidak mudah. Ya, wartawan entertainment, pekerjaan sementara yang ia dapatkan selagi menunggu proses seleksi wartawan umum di sebuah stasiun TV. Namun, perbedaan kultur dan dunia entertainment Korea dan Indonesia membuat dirinya sedikit kesulitan untuk beradaptasi. Sering kali, ia harus mengikuti kegiatan harian selebriti yang bahkan ia tidak kenal. Saat kebanyakan selebriti Korea sibuk menutupi kehidupan pribadi mereka, di Indonesia justru para selebriti membuka pintu selebar-lebarnya untuk mempublikasi kehidupan mewah mereka. Sesuatu yang sangat berbeda dari apa yang biasa ia temukan di Korea.
Setelah beberapa minggu berlalu, Hana akhirnya bisa merasakan kasurnya. Meski pun merasa aneh dan tidak sesuai dengan tujuannya menjadi wartawan, perlahan ia mulai beradaptasi. Selama satu hari penuh, Hana dan senior yang membimbingnya di tempat kerja, menunggu di depan rumah seorang selebriti wanita yang tengah menjadi sensasi namun pada akhirnya tak membuahkan hasil.
Akhirnya, tibalah hari sabtu. Hana mendapatkan satu hari untuk beristirahat. Wajahnya lusuh dengan pakaian yang berantakan. Awalnya ia merasa dirinya begitu menjijikan, lengket dan bau badan. Namun setelah hampir sebulan bekerja, ia tentunya mulai terbiasa dan tak lagi peduli dengan penampilannya. Bahkan kini mobil kantor menjadi rumah keduanya. Sehingga selain kamera dan buku catatan, di dalam ranselnya juga selalu ada berbagai barang yang ia butuhkan seperti makanan, laptop, charger, dompet, selimut kecil dan lain-lain. Hingga tas ranselnya lebih mirip kantong doraemon daripada sebuah tas kerja.
Dengan masih menggunakan ranselnya, Hana menghempaskan dirinya di atas kasur. Seperti biasa, komplek kostnya begitu sepi hanya menyisakan kesunyian yang ditemani suara AC di sisi tempat tidur. Rasa penat pada tubuh Hana seolah tertiup perlahan seiring dengan hembusan angin dari AC kamarnya. Hana menikmati hembusan angin tersebut dengan mata tertuju pada langit-langit kamarnya yang putih polos. Ada jutaan hal yang dipikirkan olehnya seolah langit-langit tersebut bagaikan sebuah papan tulis besar. Bejajar berbagai pertanyaan dalam kepalanya seperti "Apa yang harus dilakukan besok", "Bagaimana keadaan ibu", "Malam ini makan apa", "Apa yang akan terjadi besok" dan lain-lain. Namun dari ratusan bahkan ribuan pertanyaan dalam kepalanya, terdapat satu yang terus berputar-putar dalam pikirannya, yaitu kapan ia mulai mencari tahu tentang ayahnya. Pertanyaan yang selalu berujung menjadi sebuah kerinduan yang sudah lama dipendam dan mungkin akan selamaanya dirindukan. Dan kini menjadi alasan dari keberadaannya di Indonesia.
Hana bangkit dari tempat tidurnya menuju meja yang tak jauh dari tempat tidur. Kemudian ia mengambil sebuah scrapbook dan duduk di kursi sambil mulai membukanya. Scrapbook tersebut sudah lama ia miliki sejak kecil. Berbagai momen-momen tersimpan dalam scrapbook tersebut dalam potongan gambar dan tulisan-tulisan yang tersusun dengan menarik.
Hana membuka halaman scrapbook dengan senyuman. Foto masa kecilnya bersama sang ayah, fotonya saat bayi, dan foto-foto lainnya tersimpan baik dalam scrapbooknya. Ia menyentuh wajah ayahnya dalam foto seolah kenangan dalam foto tersebut kembali berputar dalam kepalanya seperti sebuah film yang usang. Kembali, senyuman kecil terukir pada wajahnya saat ia membuka halaman selanjutnya dan mendapati sebuah foto bersama sang ayah saat ia memenangkan lomba tujuh belasan. Namun semakin ke belakang, lembaran-lembaran scrapbook itu berubah menjadi potongan-potongan artikel dari berbagai koran. Senyuman pada wajah Hana berangsur-angsur berubah menjadi senyuman getir dan air mata yang akhirnya tak terbendung dan menetesi lembaran artikel-artikel koran tersebut. Meskipun artikel-artikel tersebut berasal dari koran yang berbeda, namun terdapat kesamaan pada artikel tersebut. Semua artikel tersebut sama-sama menceritakan kasus menghilangnya wartawan berita yang bukan lain adalah ayahnya.
Indonesia, 2009...
Kala itu, tepatnya Desember 2009, Hana melakukan aktifitasnya seperti biasa. Ia bangun pagi, sarapan dan bersiap-siap ke sekolah. Ayahnya yang baru saja pulang setelah mengungkap sebuah kasus besar, akhirnya terbangun dengan sebuah panggilan telepon yang memintanya datang ke kantor.
"Iya baik, saya ke sana" ucap Ayah mengakhiri telponnya.
"Yeobo (sayang), kamu mau pergi lagi? Tadi aja pulangnya udah hampir subuh" tanya ibu Hana yang baru duduk di kursi ruang makan.
"Ada panggilan penting nih, aku harus ke kantor" ujar ayah Hana yang baru keluar dari kamar mandi, mencuci mukanya. Handuk kecil tergantung di bahunya dengan rambut yang sedikit basah.
"Geuraedo, meogeoyaji" (Walaupun begitu kan harus makan) jawab Mama.
"Iya, lagian aku juga kan ada lomba hari ini. Ayah udah janji loh" timpal Hana. Kala itu, Hana masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas.
"Iyaaa, ayah selesaiin secepetnya terus ke sekolah kamu, oke?" ujar Ayah sambil mengacak-acak lembut rambut Hana, anak satu-satunya.
"Huh! Jangan ga ditepatin ya! Awas loh yah!" ancam Hana sambil menyuapkan sarapannya. Ayahnya tahu persis Hana punya watak yang cukup keras kepala. Dan hal tersebut diperparah dengan profesi wartawannya yang sulit mendapatkan hari libur.
"Kamu kan tahu, ayahmu memang sedang sibuk" jelas sang ibu yang menuangkan sup untuk sarapan paginya. Hana tidak banyak merespon dan terlihat sedikit kesal karena ia tak jadi berangkat bersama ayahnya.
"Abisnya ayah kan jarang dateng kalo aku lomba"
"Arasseo! (Mengerti) Ayah janji dateng!"
***
Beberapa jam berlalu setelah lomba essay berakhir. Hana berdiri di depan pintu venue sambil memegang piagamnya dan menunggu sang ayah yang tak kunjung datang. Perasaan kesal dan kecewa berkerumun dalam hatinya saat menerima telepon ayahnya melalui ponselnya.
"Hana.."
"Ayah!! Ayah ada dimana sih?!"
"Hana, maafin ayah ya, nak. Tolong a-"
"Ayah gak bisa menepati janji!! Ayah pembohong!!" Hana menutup teleponnya dengan penuh amarah. Hana begitu kesal dan tidak butuh permintaan maaf ayahnya. Matanya memerah menahan tangis atas kekecewaannya.
Selama dua jam Hana menunggu dan tak ada tanda-tanda kehadiran sang ayah. Namun, kini ia hanya mendapatkan sebuah telepon permintaan maaf dari sang ayah yang tak hadir. Hingga akhirnya Hana memutuskan untuk pulang ke rumah sendirian sambil menahan tangis.
Hana sampai di rumah dengan perasaan kesal. Ia melempar piagamnya ke ruang keluarga dan mengunci diri di kamar sambil menangis. Mama tidak begitu paham namun akhirnya mengerti saat melihat piagam kemenangan Hana. Hana memenangkan lomba lagi, dan tanpa kehadiran ayahnya lagi.
Beberapa jam setelah Hana mengunci dirinya di kamar, hujan turun dengan deras. Setelah menghabiskan makan malam, Hana langsung kembali ke kamarnya, tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Sementara Mamanya terlihat khawatir. Khawatir dengan keadaan Hana yang masih terlihat marah dan khawatir dengan kabar suaminya yang begitu sulit untuk dihubungi.
Setelah dua, tiga, empat hari berlalu. Hana terlihat semakin membaik sementara Mama terlihat semakin khawatir. Pasalnya, ayahnya masih belum kembali dan tak bisa dihubungi sejak telepon terakhirnya dengan Hana. Mama tak bisa menutupi rasa khawatirnya sehingga Hana pun mencoba menghubungi ayahnya berkali-kali.
"Gak ada jawaban ma..." kata Hana setelah menelpon ayahnya untuk yang kesekian kalinya. "Ayah kan wartawan ma. Bukannya ayah biasa gak pulang kayak gini?" Hana berusaha menenangkan Mama.
Mama menggeleng. "Tidak selama ini tanpa kabar, Hana"
Melihat kekhawatiran di wajah Mamanya membuat Hana teringat telpon terakhir ayahnya. Kini ia merasa bersalah telah marah dan langsung menutup telpon ayahnya tanpa mendengar penjelasan ayahnya terlebih dulu.
Seminggu berlalu sejak hari perlombaan Hana, Mama akhirnya memutuskan untuk melaporkan ke kantor polisi. Mama datang bersama Hana dan melaporkan segala kronologi detik-detik hilangnya ayah. Dan akhirnya, saat itu ayahnya resmi masuk dalam daftar orang hilang. Status ayah Hana yang merupakan wartawan senior banyak menarik perhatian media. Berbagai wartawan silih berganti datang untuk melakukan wawancara dengan Hana ataupun ibunya.
Hingga suatu hari, tepat tiga minggu setelah pelaporan ke kantor polisi, tas kerja ayah Hana ditemukan di sebuah pabrik tak terpakai bersamaan dengan bercak-bercak darah. Saat itu adalah hari-hari yang tak akan pernah terlupakan dalam ingatan Hana. Hujan deras selama beberapa hari membuat udara terasa dingin. Bahkan lebih dingin dari biasanya karena Hana belum mendapatkan kabar dari ayahnya.
Seorang polisi dan detektif datang ke rumah Hana menyerahkan sebuah dokumen yang berisi hasil forensik. Saat itu Hana seolah sudah dapat menebak isi dari dokumen itu. Ia memegang tangan ibunya erat-erat, takut kalau hal buruk terjadi pada ibunya. Polisi menemukan bahwa DNA dari ceceran darah di TKP dan barang-barang milik Ayah tersebut memiliki kecocokkan dengan milik Hana. Lumuran darah tersebut telah dipastikan milik Ayah. Namun, polisi tidak dapat menemukan tubuh ayah dimana pun dan akhirnya, kepolisian memutuskan untuk menutup kasus hilangnya ayah dan menyatakan ayah kemungkinan terbesar ayah sudah meninggal.
Mama pun menangis dan tumbang dalam pelukkan Hana. Hana menangis sambil berusaha membangunkan mamanya. Ia ingin sekali berteriak dan menyalahkan dirinya sendiri. Ia merasa begitu menyesal karena mematikan telepon ayahnya saat itu. Ia yakin saat itu ayahnya menelpon karena hal lain. Ia yakin ayahnya berusaha mengatakan sesuatu yang penting. Namun kini Hana hanya bisa menangis menyesal sambil memeluk ibunya. Semua itu adalah kenangan terburuk yang pernah ada bagi Hana.
Karena itulah, kini Hana tumbuh besar menjadi seorang wartawan. Ia ingin mengungkap kebenaran akan kematian sang ayah. Meski sulit, ia ingin terus percaya bahwa masih ada keajaiban untuk ayahnya, atau setidaknya penjelasan logis atas kematian ayahnya. Hana tenggelam dalam tangisnya mengingat semua kenangan itu. Ia menutup scrapbooknya kemudian menutup wajahnya dengan kedua tangannya, berusaha menghentikan tangisannya yang takut terdengar keluar apartemen.
*Bersambung
Author: instagram.com/woozia
Mantap thor. lanjutkan ceritanya
Comment on chapter Chapter 1 - Timeline