"Hal yang paling menyedihkan adalah ketika kita sudah mati-matian menjelaskan sejuta kebenaran, namun mereka lebih percaya pada satu kebohongan."
— Paizal Anwar
***
Sepertinya hal yang mengganggu Arin tidak sampai di Tias saja. Gadis itu memasuki kelas dan seperti satu bulan terakhir, dia diacuhkan. Padahal dulu banyak sekali orang yang ingin dekat dengan Arin walau hanya sekadar satu bangku dengannya.
"Len, pinjem pulpen dong. Punya gue abis," ucap Arin pada salah seorang gadis yang duduk di sebelahnya—karena kursi Arin berada di tengah-tengah kelas.
Leni tak menjawab. Dia hanya menatap Arin beberapa saat lalu mendelik sebal. Sepertinya Leni tak mau Arin meminjam barangnya. Dia sudah terlalu jijik kepada Arin—semenjak kasus sebulan yang lalu menjeratnya—mungkin.
Yasmin yang menyaksikan respons Leni dari belakang menatap kasihan. "Ini Rin, pake punya gue aja."
Arin menoleh. "Thanks, Yas." Bersamaan dengan senyuman.
Benar, Yasmin mungkin bisa dibilang satu-satunya teman sekelas yang mau membantunya. Yasmin terkenal dengan sikapnya yang tak suka bergaul dengan yang lainnya. Bagi Yasmin, berteman dengan buku saja cukup, ia tak peduli orang lain menyebutnya cupu karena masih menyukai buku.
Arin tersenyum seketika. Ternyata masih ada orang yang mau menolongnya. Dunia tak sekejam yang dulu pernah Arin bayangkan. Dia harus bangun dari mimpi buruk yang mengikat dirinya. Dia harus kembali menjadi Arin Putri Jayadi yang dulu. Arin yang disegani seluruh warga sekolah. Bukan dilecehkan.
"Kasihan ya, sendirian gak punya temen," sungut Amanda yang kebetulan posisi duduknya tepat di samping kursi Arin.
Arin diam. Dia sudah kebal dengan perkataan menusuk yang Amanda layangkan. Pasalnya, sejak Arin memasuki kelas ini Amanda memang tidak menyukainya. Tapi bukan hanya gadis itu saja yang tidak suka kepada Arin semenjak gadis itu bersekolah di Tunas Bakti, ada satu wanita lagi. Agatha—kakak kelasnya.
"Kalo gue sih malu ya," cibir Amanda dengan bersilang tangan. "Eh, tapi kan lo gak punya malu. Muka lo kan tebel kayak pan—"
"Berisik!" ucap Yasmin mengangkat tubuhnya dengan tegas menatap Amanda yang berdiri tepat disamping Arin.
"Woow. Berani lo?!" Amanda berucap ketus dengan alis meremehkan. "Gue gak ganggu hidup lo ya!"
"Tapi lo udah ganggu Arin!"
"Dia sekarang temen lo?" tanya Amanda dengan menahan tawa.
Yasmin terdiam. Lalu berucap tegas. "Iya!"
"What?" Amanda menutup mulutnya dramatis. "Anak cupu sekarang gabung sama sampah sekolah?"
Arin yang mendengar langsung merasakan dua hal yang berbeda. Satu sisi Arin senang karena Yasmin mengakuinya sebagai teman, tapi di sisi lain juga Arin sedih karenanya Yasmin menjadi bahan ocehan Amanda—karena membelanya.
"Sesuci apa lo sampai bilang Arin sampah?!" Yasmin membagi pandangannya antara Arin yang kini berdiri dan Amanda.
"Hey! Itu gak usah diomongin lagi, satu sekolah udah tahu dia siapa." Amanda menatap Arin penuh benci. "Pelacur!"
Buk!!
Arin langsung mendorong Amanda sampai mengenai meja. Sekarang dia tidak peduli akan dirinya yang dikenal sopan di masa lalu. Sudah terlalu banyak penghinaan yang dilayangkan. Arin tetaplah manusia, yang bisa marah bila diperlakukan tidak mengenakan.
"Jangan ngomong apa yang gak pernah gue lakuin! Bisa aja kasus ini gue laporin!" ucap Arin, kesal.
"Laporin?" Amanda bangkit dari posisinya dengan tertawa renyah. "Emang punya bukti apa?! Mau bawa satu sekolah biar kita ngomong lo pelacur?"
Arin terdiam. Amarahnya membara, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Jelas salah jika dia melaporkan suatu kasus tanpa bukti sebelumnya. Arin sudah terlalu kesal dengan keadaan, sampai hampir membuatnya putus asa.
"Udah, Rin. Gak ada gunanya ngomong sama orang buta." Yasmin membawa Arin untuk duduk kembali di kursinya.
"Gue gak buta, ya!" seru Amanda tak terima.
"Kalo enggak, kenapa gak bisa bedain mana yang bener mana yang salah?!"
"Lo pikir dia bener? Lo kali yang buta," ucap Amanda dengan duduk di bangkunya.
Yasmin diam saja, tidak peduli apa yang diucapkan gadis di sampingnya. Dia kemudian mengambil tas dan bukunya lalu duduk berdua bersama Arin. Yasmin mempunyai pikiran bahwa Arin adalah korbannya, bukan seperti apa yang satu sekolah omongkan.
Arin hanya terdiam. Rasanya, kata 'pelacur' sudah melekat pada dirinya sekarang. Sebulan mendengar kalimat itu sudah sangat tak asing baginya, seolah itu adalah panggilan akrab yang satu sekolah berikan untuknya.
"Lo kenapa duduk di sini?" tanya Arin ragu.
"Gak boleh?"
"Bukan. Gue cuma heran aja, semua orang benci gue dan berlomba-lomba ngejauh dari gue." Arin menunduk. "Tapi kenapa lo milih duduk dan deket sama gue?"
"Rin, lo cuma korban yang dituduh pelaku, kan? Dan gue yakin soal kasus sebulan lalu, lo gak pernah niat ngelakuinnya." Yasmin meyakinkan Arin sebisa mungkin.
Arin tertunduk, mensyuruki karunia yang tuhan berikan atas kepercayaan Yasmin. "Makasih, Yas."
Yasmin mengangguk. "Emang kejadian sebenarnya kayak gimana sih, Rin? Apa bener sama kayak artikel di mading depan?"
"Artikel?" tanya Arin sangat terkejut.
"Iya, ada di mading depan."
"Gawat!" Arin langsung pergi dengan berlari keluar kelas.
Pandangan sinis sepanjang koridor adalah hal pertama yang menampar kepercayaan dirinya. Tapi Arin sudah bulat dengan keputusannya, untuk tidak memedulikan sekitar lagi, tidak mendengarkan perkataan orang lain lagi.
Arin berjalan dengan cepat menuju mading. Lemparan kalimat merendahkan dia dapatkan dari beberapa anak di sana. Tapi Arin berusaha tidak memasukan ucapan itu ke dalam hati. Tujuannya kini hanya mading, selebihnya aggap tidak ada.
"Rin! Semalem harganya berapa?"
"Dua jam berapa harganya, Mbak?"
"Kalo gue booking, siap ya?"
Celotehan-celotehan itu bergema sepanjang Arin berjalan. Malu? Tidak usah ditanya lagi. Jelas Arin malu lebih dari apapun. Tak ada ilustrasi yang dapat menggambarkan perasannya kini. 'Si wajah tebal' mungkin adalah julukan yang baik baginya sekarang. Perkataan para siswa sudah melukainya. Bahkan kini, Arin tak yakin masih memiliki kebahagiaan.
Arin Putri Jayadi, seorang bendahara OSIS yang ketahuan jalan bersama guru pelajaran dan om-om di sebuah kafe. Di duga gadis itu putus asa karena tidak diikut sertakan dalam olimpiade lomba cerdas cermat tingkat sekolah ......
Berikut adalah fotonya yang di duga tengah berpelukan.
Arin membaca isi artikel yang sempat Yasmin bilang. Beberapa kali gadis itu menelan ludah, tak terima dengan tulisan di depannya. Arin menjambak artikel itu. Tak lupa, foto-foto dirinya yang terlampir ikut dia ambil beserta lembar artikelnya.
Baru satu bulan yang lalu foto-foto itu memenuhi mading dan dinding kelas. Sekarang, foto itu sudah dilengkapi artikel yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan olimpiade satu setengah bulan yang lalu. Hadirnya artikel itu semakin memperkeruh suasana. Pada awalnya para siswa masih bertanya-tanya mengenai foto itu, tapi setelah artikel itu muncul, para siswa semakin terang-terangan untuk membully Arin. Sebenarnya siapa dalang dari ini semua?
Arin tidak tahu sama sekali soal artikel itu, jelas Arin tidak tahu. Dia saja jarang berjalan memasuki lorong yang ramai seperti mading depan. Arin sekarang lebih sering bersembunyi, walau hanya untuk sekadar memakan bekal yang ia bawa.
Arin melangkah gesit menuju ruang yang dianggapnya sebagai penyebab dari semua berita yang ada di dalam artikel. Gadis itu berjalan dengan kesal bersamaan dengan meremas artikel dan foto yang tadi diambilnya.
Kini, tujuannya telah sampai.
"Ruang jurnalistik." Arin membaca dua kata di atas pintu yang kini sedang tertutup rapat.
Bruk!
Arin tanpa ragu masuk ke dalam sampai pintu ruangan menampar tembok sangat keras. Tepat saat Arin memasuki ruangan, seluruh mata tertuju padanya. Kelima manusia itu terdiam heran menatap gadis dengan segurat senyum kecewa yang tak lama terpasang.
"Semua artikel di mading asalnya dari mana?!" tanya Arin geram.
"Arin," lirih salah seorang pria yang menjabat sebagai ketua dari tim jurnalistik—Daniel.
"Semua artikel yang ada di depan mading asalnya dari sini. Emangnya kenapa?" ucap Daniel sambil berdiri berusaha meredam amarah.
"Nih!" Arin melempar artikel yang telah dijambaknya bersamaan dengan foto yang telah dia balut rapat di dalamnya.
Daniel langsung menerima kertas yang Arin lemparkan. Dia perlahan membukanya sembari bergumam, membaca pelan apa yang ada pada artikel yang diterimanya.
"Lo semua yakin itu yang disebut artikel?" Arin semakin kesal dengan tatapan muak. "Kok hoaks bisa masuk mading?"
"Tunggu, Rin. Ini bukan artikel terbitan anak jurnalistik," ucap Daniel terkejut dengan apa yang dibacanya.
"Lo bilang, semua artikel yang ada di mading dari sini! Kok itu bisa bukan?"
"Beneran, Rin. Yang ini bukan!" jawab Daniel penuh kebingungan.
"Terus? Siapa yang tanggung jawab atas semua beritanya?"
Daniel membuang nafas pelan. "Gue," ucapnya lirih.
Hening.
"Gue gak mau ya ada berita hoaks tentang gue lagi!" Arin berjalan mendekati Daniel kemudian mengambil kembali artikel yang dilemparnya. "Artikel ini gue ambil. Mau gue laporin ke Kepala Sekolah!"
Keempat rekan kerja Daniel memejamkan mata penyesalan. Sudah jelas jika berita negatif di mading sampai terdengar oleh kepala sekolah, mereka pasti akan mendapat masalah.
"Lain kali kalo kerja yang bener!" Arin menatap mereka dengan nanar.
Arin keluar dari ruangan, berniat melaporkan berita hoaks yang menimpanya. Sekalian, Arin juga penasaran perihal kelanjutan dari penyelesaian kasus yang menimpanya sebulan lalu. Arin sudah berusaha menjelaskan ke kepala sekolah, tapi tak pernah ada tanggapan serius. Dan kali ini, Arin akan meminta kejelasan.
• Unsuitable •
Siapa sih yang bikin artikel hoaks?
Guru yang mana sih yang udah
lecehin Arin?
Kafe mana sih sebenernya?
Agatha itu yang mana sih?
Kalo kalian nanya itu semua,
buruan komen "next"
biar Pai semangat update-nya!!!
Jangan lupa ajak temanmu baca cerita ini. Soalnya, kita pecahin kasus Arin bareng-bareng.
Salam Cinta
paizalanwar
terus kapan cowoknya mau nyelemtin Arin? kasian di bully itu. Huuuu
Comment on chapter Prologoh ya, kamu juga boleh mampir di ceritaku, kasih kritik dan saranmu buat aku. judulnya When He Gone, trims