Lorong gudang, toilet belakang sekolah, anak tangga dekat kelas XII-3, dan jalanan pembuangan sampah sekolah adalah tempat-tempat paling berbahaya di SMA Tunas Bakti. Jika ada yang berjalan di tempat-tempat itu, sudah dipastikan akan mendapat gangguan. Melintasi jalanan itu seperti menyerahkan diri pada kandang macan yang mengerikan. Namun, peringatan itu rasanya tak dipedulikan oleh siswi bernama Arin.
Arin Putri Jayadi, manusia yang dicap memiliki tebal muka bak topeng baja setelah kejadian satu bulan lalu menimpanya. Gadis berambut lurus, hitam sebahu itu sangat tak terima dengan semua tuduhan yang dilayangkan.
Pada awalnya Arin adalah murid populer SMA Tunas Bakti, tepat sebelum peristiwa itu terjadi. Peristiwa yang dia benci sampai saat ini. Bukan salahnya, Arin hanyalah korban yang dituduh sebagai pelaku.
Langkah beriringan bersama seorang teman adalah kebiasaannya setiap hari. Lemparan senyum manis selalu dia temukan di setiap penjuru kelas. Lambaian tangan menyapa hangat jelas bersahabat kepadanya. Lembutnya ucapan selalu dia dapatkan dan derajat yang tinggi sudah dia dapatkan. Namun, itu semua hanya untuk Arin yang dulu. Untuk Arin Putri Jayadi yang masih bergelar sebagai anak kelas XI paling populer karena kecerdasan dan keramahannya. Bukan untuk Arin yang dicap sebagai pelacur seperti sekarang.
"Heh! Ngapain lo ke sini?" tanya seseorang di koridor menuju toilet belakang sekolah. "Bayar!"
Arin melenggang begitu saja, melewati ketiga manusia berpenampilan urakan itu dengan acuh. Siapapun sudah pasti mendapat sapaan jika ke sana—termasuk Arin, tapi bukan sapaan menyenangkan. Jelas Arin akan selalu menganggap mereka semua tidak ada.
"Gue bilang bayar!" ucap gadis bar-bar yang kini menarik rambut Arin yang sedang terikat.
"Lepasin!" Arin berucap tegas.
"Atas hak apa? Lo semua nyuruh gue bayar cuma buat masuk ke dalem toilet!" Arin tak akan menyahut jika wanita di hadapannya tadi tidak bermain fisik.
"Hak gue!" ucap Tias tepat di depan wajah Arin dengan muak. "Mending masih gue suruh bayar, gak gue usir!"
"Ini fasilitas sekolah! Dan gue juga warga sekolah ini!" Arin berucap kesal.
"Iya emang! Seorang pelacur yang gak punya malu untuk bersekolah!" Tias tetap dengan ketusnya sembari melempar senyum yang menjatuhkan.
Arin hanya diam. Perkataan seperti itu sudah biasa ia dengar di setiap harinya. Arin bukan pelacur, Arin tidak pernah melakukan hal itu. Arin hanya korban. Gadis itu menelan ludahnya dalam-dalam, mencoba mengenyahkan semua pikirannya tentang penilaian orang lain.
"Sekarang bayar!" Tias begitu saja merogoh uang di saku baju Arin yang sedang melamun. "Udah sini bayar!" ucapnya saat Arin mencoba mengambil uangnya kembali.
Tias kembali pada kedua temannya setelah puas membuat Arin memasang wajah kesal bukan main. Permen karet masih dikunyah Tias, sembari menghitung jumlah uang yang dia dapatkan dari saku Arin. Sedangkan kedua temannya hanya menatap Arin dengan sinis.
"Kalo mau aman, ke toilet depan sana!" ucap Billy—salah satu teman Tias.
"Aman sih bagi siswa biasa. Kalo buat pelacur mah, nanti malah dipake nongkrong biar dapet duit!" timpal salah seorang lainnya sampai membuat Tias dan Billy tertawa lepas.
Arin geram mendengar ocehan yang telah menusuk telinganya. Lama kelamaan kupingnya merasa pengang jika terus dicemooh seperti ini. Arin masuk ke dalam toilet dengan cepat setengah berlari membiarkan ketiga manusia rampok itu tersenyum menang.
Byur!
Satu gayung air yang Arin bawa tepat dia siramkan ke wajah ketiga manusia berotak udang itu. Arin juga manusia yang mempunyai batas kesabaran, dia juga perlu mempertahankan harga dirinya.
"Lo bilang pelacur nongkrongnya di wc? Kayaknya itu lebih cocok buat lo!" Arin melempar gayung yang dibawanya ke sembarang arah, sampai membuat ketiga manusia itu marah besar.
Arin pergi meninggalkan. Tak ada gunanya dia di sana, itu hanya akan terus membebani pikirannya saja.
"Heh jablay! Berani ya lo sama kakak kelas!" seru Tias sangat nyaring.
Arin terus berjalan tanpa memedulikan perkataan Tias. Manusia bernama Tias Amara itu tak pernah puas mencemoohnya. Padahal dia tak lebih dari pemalak ulung yang hanya bermodal pertemanan dengan cowok badung di sekolah.
Arin terus berjalan entah akan ke mana. Bertemu dengan orang banyak sama saja seperti mimpi buruk baginya. Disaat Arin berjalan saja, para siswa tampak sudah tak sudi memandangnya. Padahal, dulu Arin adalah salah satu anggota OSIS yang mereka cinta.
Di sekolah ini, cukup banyak siswa terbuang atau dikucilkan. Tapi tidak separah Arin yang dicap sebagai pelacur. Yang lainnya hanya dianggap bad boy, bad girl, perokok dan sebangsanya. Bukan seperti Arin yang langsung mendapat cap hina dari seluruh warga sekolah, tak terkecuali teman dan para siswa lainnya.
Arin jelas gatal ingin menyumpal mulut tak berpendidikan itu. Mereka telah menghilangkan banyak hal indah dari hidup Arin. Teman, julukan, gelar, popularitas dan juga perasaannya.
• Unsuitable •
Gimana sama prolognya?
Jangan cuma nilai dari prolognya ya!
Ayok, siapa yang penasaran
sama kasus Arin?
Jangan lupa add library ya biar tahu kelanjutannya.
Salam Cinta
paizalanwar
terus kapan cowoknya mau nyelemtin Arin? kasian di bully itu. Huuuu
Comment on chapter Prologoh ya, kamu juga boleh mampir di ceritaku, kasih kritik dan saranmu buat aku. judulnya When He Gone, trims