Seorang pemuda berdiam diri di luar gerbang pembatas ibukota yang tertutup. Pemberlakuan jam malam telah dilakukan. Dia terkurung di luar tanpa tahu harus pergi mana. Keluarga dan rumahnya berada di dalam ibukota.
Gerbang tidak akan terbuka sampai esok hari. Pemuda itu bersimpuh di depan gerbang seolah memohon pada penjaga di atas sana untuk membiarkannya masuk.
"Pergilah, nak! Gerbang sudah ditutup!" Teriakan seorang penjaga di atas gerbang bergema.
"Beraninya kau mengusirku! Kau tidak tahu siapa aku? Aku ini putra mahkota!!" Pemuda itu berdiri sambil menunjuk-nunjuk penjaga itu.
"Kalau kau benar-benar putra mahkota, tunjukkan tanda pengenalmu!"
"Aku punya! Tunggu sebentar!" Pemuda itu merogoh sesuatu yang terikat di pinggangnya, tetapi tidak ada. Sebuah benda berbentuk persegi panjang yang bertuliskan Putra Mahkota Choi Jinu dengan hiasan benang sutra tidak berada di tempatnya. Dia menjadi panik dan hampir menelanjangi dirinya.
"Tidak ada kan? Memang benar kau itu hanya penipu. Pergi sana!"
"Hoo ... Berani sekali bicara kasar padaku!"
"Dengar ,nak, kami sudah sering menghadapi penipu yang berpura-pura menjadi putra mahkota sepertimu. Kalau kau memang tidak bisa menunjukkan tanda pengenalmu, pergilah!!"
"Argghh ... Beraninya mereka berpura-pura menjadi aku!" Pemuda itu melampiaskan amarahnya dengan menendang gerbang. Kemudian dia terkapar sambil mengelus kakinya yang terasa sakit.
Akhirnya, pemuda itu berjalan menjauhi ibukota di bawah hujan yang mulai turun. Sebuah cahaya remang-remang menarik minatnya. Dia mendekat dan menjumpai sebuah penginapan. Senyumnya merekah. Ada tempat yang bisa digunakan untuk berteduh dan menghabiskan malam.
Sambutan ramah didapat oleh pemuda itu. Beraneka makanan dan minuman dia peroleh secara gratis. Walaupun penginapan itu terlihat tua tetapi terasa hangat. Apalagi pemilik penginapan yang merupakan sepasang suami-istri itu terlihat sangat menghormati tamunya.
Namun, ternyata ada maksud tersembunyi di balik keramahan itu. Pemilik penginapan menaruh obat tidur di dalam makanan Jinu. Ketika pemuda itu jatuh terkapar, mereka langsung mengobrak-abrik barang miliknya.
Mata pemuda itu perlahan terbuka. Dia melihat sekeliling dan menyadari bahwa tubuh dan kakinya terikat di sebuah tiang. Bau apak memenuhi indera penciumannya. Napasnya memburu. Ingatan terakhirnya adalah ketika memakan makanan yang disediakan oleh pemilik penginapan.
Merasa menyadari sesuatu, amarah naik di setiap nadinya. Tekad kuat untuk melepaskan diri menjadi satu-satunya pendorong. Tiba-tiba sebuah kekuatan yang luar biasa muncul. Tali pengikat tubuhnya putus begitu saja seperti sebuah mie yang diulur. Kemudian tangannya bergerak melepas tali yang mengikat kakinya. Namun, gerakannya terhenti. Tangannya dipenuhi bulu-bulu halus berwarna cokelat gelap. Dia meraba wajahnya. Bersih. Tidak ada bulu yang menghiasi wajahnya.
Itu bukan dirinya. Pemuda itu berlari sekuat tenaga. Dia melarikan diri dari dirinya sendiri. Ketakutan dan kebingungan. Jinu terus berlari. Hingga bertemu dengan pengawal pribadinya yang sedang mencarinya. Pada akhirnya dia tahu kalau itu adalah salah satu kemampuannya yang lain selain mengendalikan elemen. Sebuah kemampuan khusus yang hanya dimiliki oleh keluarga kerajaan sepertinya.
Pemuda itu kembali ke istana bersama pengawalnya dan mendapat murka dari sang Raja. Dia lalu mengadu pada ayahnya perihal pemilik penginapan yang menyanderanya. Sang penguasa negeri begitu marah dan meminta pemilik penginapan itu diseret ke istana.
Saat itu, Jinu menyaksikan sendiri bagaimana seorang Raja tanpa mengatakan apa pun menarik pedang pengawalnya dan menebas leher pemilik penginapan itu. Matanya terbelalak seiring dengan percikan darah yang mengenai pakaian pemuda itu. Dia tidak habis pikir, bolehkah seorang penguasa negeri menghukum rakyatnya secara sepihak seperti itu?
Sekelebat ingatan itu merupakan awal mula ketika ayahnya tanpa pandang bulu langsung menebas musuh dan membuatnya menghilang untuk selamanya dari hadapannya. Sampai sekarang pun, betapa pria penguasa negeri itu sama sekali tidak berubah.
"Putra mahkota, letakkan rusanya di sini." Pemuda itu masih bergeming. Pandangan matanya terlihat kosong. "Putra mahkota!" Sentakan pengawalnya membuatnya kembali ke kenyataan.
"Hah? Apa?" Dia bergerak linglung menatap dayang istana yang terheran-heran dengan sikapnya. Pengawalnya memberi isyarat padanya untuk menurunkan hewan mati dari bahunya.
"Ah, benar. Hewan ini. Aku berhasil menangkapnya setelah berhasil mencapai tingkat kedua." Pemuda itu malah kembali menyombongkan diri. Pengawalnya hanya dapat menyeringai tak percaya dengan tingkah putra mahkota itu.
-----
Dua orang dayang masuk ke kamar Jinu membawakan makan malam. Mereka dengan cekatan menata makan malam itu di atas meja kecil di tengah ruangan. Pengawal pribadinya juga berada di sana. Duduk bersimpuh di hadapan pemuda itu dengan topi dan pedang yang digeletakkan di lantai.
Senyum Jinu terus tersungging menatap jamuan malam itu. Sesekali matanya juga melirik ke salah satu dayang berparas cantik. Walaupun kulitnya terlihat kusam, tetapi dayang itu masih terlihat cantik. Pengawal pribadi pemuda itu mengetahui segala gerak-geriknya. Pria itu tidak habis pikir, di dalam istana pun pemuda itu masih berani bertingkah.
Kedua dayang menunduk penuh hormat, lalu keluar dari kamar pemuda itu setelah menyelesaikan pekerjaannya. Sementara senyum aneh itu masih melekat di bibir Jinu dan matanya mengikuti gerakan si dayang sampai benar-benar keluar dari kamarnya.
"Putra mahkota, hentikan itu." Si pengawal merasa kesal. Tuannya itu benar-benar tidak bisa dinasehati.
"Kenapa? Aku tidak melakukan apa pun." Jinu berkilah seakan dia memang tidak bersalah.
"Senyum anda mengatakan segalanya. Berhentilah mengamati wanita di sekeliling anda. Anda itu putra mahkota."
"Apa salahnya mengagumi keindahan dunia? Lagipula wanita yang tadi lumayan cantik. Kau tahu siapa namanya?"
"Putra mahkota ...." Si pengawal mendesah pasrah. Kelakuan tuannya itu sudah seperti penyakit yang sulit disembuhkan. Sementara itu Jinu malah cekikikan sembari melahap sepotong daging rusa yang menjadi hasil tangkapannya tadi.
"Wah, lihat ini, pengawal Gong. Daging lezat ini ada berkat diriku. Kau harus berterima kasih padaku. Rasanya juga lebih enak dari biasanya. Mungkin karena aku yang menangkapnya." Jinu tertawa puas sementara pengawalnya hanya mengunyah makanan tanpa selera. Ternyata selain penyakit mata keranjang, tuannya itu juga mengalami penyakit kepercayaan diri yang berlebihan tingkat tak tertolong.
Selesai menyantap makan malamnya, Jinu berdiri. Rasa puas memenuhi dadanya. Pengawalnya sudah tidak tertarik lagi dengan apa yang akan disombongkan tuannya itu. Namun, ternyata pemuda itu melangkah mendekati pintu.
"Anda mau ke mana?" Pengawal Gong mencegatnya.
"Aku ingin memberi laporan pada ayah karena telah menguasai pengendalian air tingkat dua."
"Bukankah anda dilarang memasuki kediaman Raja di malam hari?"
Pemuda itu menyeringai. "Karena itu, aku akan menyelinap. Memangnya Raja menyembunyikan sesuatu dariku?"
"Putra mahkota ... Berhentilah membuat masalah!"
Pada akhirnya pengawal Gong mengikuti tuannya menyelinap di dalam kegelapan untuk pergi ke kediaman Raja. Mereka bersembunyi di balik pilar di samping kediaman Raja. Ada dua orang penjaga berwajah serius dengan senjata lengkap berdiri di pintu masuk. Butuh sesuatu untuk mengalihkan para penjaga itu. Kemudian Jinu menatap pengawalnya yang maish saja meratap menyuruhnya kembali.
Seringaian muncul seiring dengan sebuah rencana yang terlintas di benaknya. Butuh sesuatu yang menghebohkan untuk membuat para penjaga meninggalkan posnya. Dan sepertinya, pengawal Gong lebih dari menghebohkan. Jinu mendorong pengawalnya keluar dari persembunyian membuatnya mengomel marah. Dia berniat mengumpankan pengawalnya untuk menyelinap masuk.
Dua penjaga itu memakan umpan itu. Mereka melihat keributan yang dibuat pengawal Gong lalu berteriak sambil mengejarnya. Jinu yang menyembunyikan dirinya di balik pilar menahan senyum. Setelah para penjaga dan pengawalnya tidak terlihat, dia mengendap masuk ke kediaman Raja seperti pencuri.
Dia berlari di koridor menuju kamar Raja. Sepertinya aksi keributan kecilnya sudah terbongkar. Sebuah suara heboh bergerak tergesa di belakangnya. Pemuda itu menjadi panik dan bergegas memasuki kamar lain di samping kamar Raja. Segerombolan orang melewatinya. Jinu menahan napasnya sembari ketakutan kalau aksinya akan ketahuan.
Dia melangkahkan kakinya ke belakang dengan pelan. Pemuda itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling untuk melihat tempat persembunyiannya. Sebuah kamar luas yang di tengahnya terdapat peti yang terbuat dari es dengan empat buah lentera di setiap sisi sebagai penerangan.
Merasa penasaran, Jinu melangkahkan kakinya mendekati peti itu. Namun, kakinya gemetaran dan dia terjatuh di lantai. Ada seseorang di dalam peti itu.
Orang itu adalah ... Ibunya yang sudah meninggal tujuh belas tahun yang lalu.
.
.
.
Ceritanya keren. ku udah like and komen. tolong mampir ke ceritaku juga ya judulnya 'KATAMU' ://tinlit.com/story_info/3644 jangan lupa like. makasih :)
Comment on chapter Bab 1 - Penginapan Gyesi