12. TANGAN SANG AHLI
"Timmo, tadi apa yang kau katakan? "Pernikahan?"” aku kembali teringat dengan ucapan Timmo yang terdengar olehku namun samar-samar kusadari.
“Pernikahan. Sepertinya aku juga mendengar hal itu. Dulu kau juga membahasnya tapi tidak sesering ini” Gio pun baru menyadari akan hal itu.
“Kau akan menikah dengan siapa? Sejak kapan kau memiliki kekasih? Kau tidak pernah memberitahu kami? Menikah dimana?" Tanya Rosella sepanjang aku menunggu jodoh.
“Dengan wanita. Sejak kemarin dan akupun baru tahu” ucap Timmo singkat
“Hah…” jawab kami kompak bingung.
“Aku dijodohkan oleh ibuku dan aku diberitahu kemarin lusa. Aku pikir ibuku hanya bergurau ternyata ia serius. Memangnya kenapa apa ada yang aneh dengan pernikahanku?” Tanya Timmo.
"Memangnya kau tidak merasa aneh?" tanya Rosella.
"Aneh pasti. Kau tidak mengetahui siapa wanita yang akan kau nikahi" Sambungku
“Selama ini aku menentang perjodohan orang tuaku. Karena aku sudah berjanji untuk mencari kriteria wanitaku sendiri dan kini kau justru melakukannya” ungkap Gio yang memang sempat dijodohkan oleh kedua orangtuanya ketika ia berumur 22 tahun.
“Aku akan ditingggal temanku yang memang sebelumnya sering meninggalkan kami dan jarang berkumpul" ujar Rosella menyindir Timmo yang jarang sekali ikut berkumpul karena sibuk bekerja.
Aku yang mendengar ucapannya semakin lemas saja. Bukannya aku tidak mendukungnya tapi aku merasa tersindir karena ucapannya dulu. Aku yang tua semakin tua saja. Benar saja Ucapan Timmo selalu saja mempengaruhiku. Sebenarya siapa dirinya ucapannya seperti jarum yang selalu memberikan bekas luka padaku. Aku akan meleleh dalam waktu beberapa menit lagi. mereka semua sibuk dengan urusannya masing-masing, belum menikah saja aku menjadi seperti ini apalagi jika mereka sudah menikah. Aku menggelengkan kepala dan membenturkan lagi ke meja.
Aku lelah menghadapi semua ini entah sampai akan ini akan berakhir menimpaku. Ucapan mereka sungguh santai sekali seperti tidak ada beban tapi mengapa itu membuatku menambah beban dipundak dan dipikiranku. rasanya kepalaku yang sudah berat semakin berat saja. Padahal beban itu tidak terlihat sama sekali namun memberikan efek untukku seperti mengangkat batu berton-ton, tidak sepertinya bukan batu tapi baja. Karena itu susah sekali untuk dihancurkan.
Ya Tuhan... mereka beruntung sekali. Iya, mereka, beruntung, beruntung dan beruntung. Andaikan aku seperti mereka sepertinya itu bisa melegakanku. Tuhan bisakah kau kabulkan keinginanku untuk menjadi mereka. Huh… tapi itu tidak mungkin. Tidak mungkin karena mereka pasti tidak ingin bertukar denganku. Aku benar-benar manusia yang paling menyedihkan. Disaat seperti ini aku membutuhkan jinny, tinker bell, doraemon, om jin dan tongkat sihir. Aku ingin pergi kedunia antah berantah. Beruntung nobita memiliki doraemon, ia bisa meminjam pintu kemana saja, peterpan memiliki tinker bell, ia bisa meminta bubuk peri agar bisa terbang, bagus memiliki jinny, ia bisa mengabulkan semua keingginan. Hah… lalu siapa diantara mereka yang akan memenuhi keinginanku.
“Hey… Qirani ada apa denganmu?” Tanya Rosella yang heran dengan tingkah dan komat kamitku. “Kau cemburu pada Timmo?”
“Apa… tunggu. Kau cemburu padaku karena aku akan menikah atau karena kau menyukaiku?” ungkap Timmo canda meski senyumnya seperti iblis yang sengaja mengejekku.
Aku tidak menjawabnya dan hanya memalingkan wajahku dari mereka yang sedang asyik mengobrol yang tidak ingin kudengar. Kalaupun aku pergi mereka pasti akan mengikutiku. Lebih baik aku di disini saja sampai telingaku memerah atau tubuhku yang meleleh.
“Apa yang kalian lakukan padanya tanpa kehadiranku?” Tanya Rosella berdiri dari tempat duduknya dan menggebrak meja bertanya kepada mereka berdua.
Gebrakan Rosella membuat kepalaku terbentur dan itu rasanya lebih sakit ketimbang aku sendiri yang membenturkannya dan membuat telingaku berdengung.
“Kau tidak sadar apa pura-pura lupa. Ucapanmu itu yang memberikan gizi buruk padanya” ujar Gio.
“Aku menyesal telah bertanya?” ungkap pelan Rosella dan duduk kembali.
“Aku membutuhkan pintu kemana saja ataupun bubuk peri” ucapku lemas.
“Apa yang ia katakan sebenarnya?” Tanya Rosella pada Gio dan Timmo.
“Dimana aku bisa mendapatkan itu semua?” aku menegakkan tubuhku dengan wajah seperti pintalan benang yang kusut.
“Mengapa tidak sekalian kita mampir ke toko sihirnya harry potter yang ada dibalik dinding entah dimana?” ucap Timmo sedikit kesal mendengar ucapanku.
“Ada apa denganmu, Qirani?” ujar Rosella mengoyangkan-goyangkan tubuhku.
“Sepertinya harus dibawa ke dokter ahli bedah. Kalau begitu bawa saja ke dokter pribadiku. Nanti akan kuberikan obat yang paling manjur dari semua obat yaitu jarum suntik” ucap Gio datar pura pura tidak rahu.
“Sialan kau” aku memukul kepalanya.
“Kalian lihatkan, dia langsung sembuh meski hanya mendengar namanya” tunjuk Gio bangga.
Mereka bertiga menertawakanku yang memang takut dan benci jarum suntik. Meski aku sadar suntikan itu seperti digigit semut tapi tetap saja mendengar namanya membuatku merinding sampai bulu kudukku mau rontok. Aku langsung pergi dan terdiam sebentar menatap mereka. Aku berbalik badan dan langsung pergi dari hadapan mereka.
“Qirani kau marah? Kau ingin kemana? Ingin ku antar?” ucap Gio bersalah.
Aku membalikkan badan lagi kearah mereka, menatap lagi tanpa berkata sepatahkatapun lalu membuka pintu.
“Hey kau…”
“Aku lapar. Aku ingin mencari makan” ucapku ketus.
“Benar juga. Aku merasa lapar meski aku telah menghabiskan makanan ini” ucap Timmo.
Aku keluar dari toko Rosella untuk membeli sebungkus nasi dengan lauk apapun itu yang penting aku suka. Jika untuk mereka, aku tidak perlu memililih lauk yang penting sudah aku belikan dengan gratis. Jadi awas saja kalau mereka berani untuk tawar menawar. Aku berhenti sejenak diluar toko kue Rosella. Aku melihat ke atas langit yang sebentar lagi akan berwarna hitam. Aku menyunggingkan bibirku teringat ucapan ibuku dan aku juga tahu ini menjelang malam tapi ternyata aku melupakan peringatan ibuku untuk pulang tepat waktu. Ujung-ujungnya jika sudah mengobrol tetap saja lupa waktu. Padahal aku hanya menjadi pendengar.
“Maafkan aku ibu…” desahku sembari memasukkan tanganku kedalam saku jaketku.
Aku berjalan di sebuah trotoar yang ditemani lampu jalan yang cukup tinggi dan terang menghias malam ini. Tiba-tiba Bintang, bulan dan lampu jalan seakan berlomba menerangiku. Aku senang tapi aku merasa tersinggung, dijalanan ini aku seperti pemeran utama dalam sebuah opera. Cahaya itu terus menerangiku berjalan. Aku sang aktris utama memerankan kisah seorang wanita yang selalu sendiri. Bagaimana tidak aku bisa mengatakan hal itu. Diantara semua orang yang ada dijalanan hanya aku yang tidak menggandeng seorang lelaki. Tidak dijalan, tidak didalam restoran mereka mengobrol dengan hangatnya. Penuh canda tawa, bisik-bisik dan romantisnya. Bahkan disebuah kendaraan bermotor mereka dengan senangnya berpelukan.
Aku keluar dari toko Rosella untuk menghindari obrolan itu, malah diluar aku justru diberikan lebih dari yang sedang diobrolkan, semua yang dilihat mataku membuat perasaanku semakin gundah gulana. Hhhhh… nasib… nasib. Aku menarik nafas panjang dan mengeluarkannya dengan cepat. Aku menyetting otakku agar hanya ada makanan yang ingin kupikirkan. Karena makanan apapun yang kumakan jika aku belum makan nasi aku akan terus kelaparan meski tetap saja tidak bisa menghalangi emosiku yang hanyut dalam perasaaan.
Lirik kiri kanan, menyunggingkan bibir dan cemberut. Aku sudah seperti mengikuti terapi wajah melihat keadaan kota dimalam ini. Mungkin karena ini juga aku menyukai dunia malam setidaknya para pasangan yang sedang menikmati kebersamaannya terlihat samar-samar oleh mataku tapi tetap saja mereka terlihat wanita dan lelaki. Semuanya serba salah dimataku. Tidak ada yang baik, tidak ada yang bagus dan tidak ada yang menyenangkan. Kini sejauh apapun aku berjalan menyusuri lorong kota ini untuk mencari makanan ujung-ujungnya aku membeli nasi padang yang tidak terlalu jauh, hanya beberapa blok dari toko Rosella.
Timmo pamit dan meninggalkan kami bertiga. Aku juga seharusnya sudah pulang sebelum jam 4 sore tadi. Kalau begini caranya aku harus mencari alasan agar tidak dimarahi oleh ibu, tapi sepertinya alasan itu juga mustahil. Ibukan seperti punya Six sense kalau sedang menghadapi anaknya. Ucapannya pasti akan membuatku menyesal seumur hidupku dan ini juga yang membuatku takut pulang kerumah. Sudahlah liat saja nanti. Pulang tidak pulang aku juga pasti akan kena marah
“Hey… ada apa dengan Timmo. Mengapa dia terlihat sedih?” tanyaku pada Rosella dan Gio.
“Tidak tahu” jawab Rosella.
“Tadi aku juga bertanya seperti itu. Dia mengatakan jika dia sedang pusing karena Masalahnya?” ungkap Gio.
“Maksudmu menikah?”
“Ya, dia tidak mempermasalahkan keinginan ibunya, hanya saja untuk melakukan itu butuh waktu dan biaya. Dia saja masih setahun lagi untuk lulus kuliah. Dan itu tidak mungkin cukup menyisihkan tabungan kuliah dan pernikahan, belum untuk biaya hidupnya. Dan ia juga berpikir saat ini saja ia sendiri, ia masih sulit untuk membiayai hidupnya apalagi nanti kelak jika ia sudah menikah” ujar Gio.
“Wahhh… Timmo ternyata sudah memikirkannya dengan cermat dan sejauh itu” ucapku.
“Pastinya, karena biaya menikah tidaklah murah” kata Rosella.
“Bagaimana kalau kita berikan ia uang. Meski tidak banyak bisa separuhnyakan?” ucapku memberi ide.
“Ide yang buruk” ketus Rosella.
“Apa kau bilang?”
‘Benar kata Rosella” tukas Gio.
“Kau juga sama” kesalku pada Gio.
“Kau ini seperti baru berteman saja dengan Timmo. Kau tahukan meski Timmo terlihat seperti orang yang serba kekurangan oleh mata kita. Tapi dia adalah orang yang paling kuat diantara kita. Dan satu hal lagi, jangankan kau memberinya uang dengan Cuma-Cuma, kau memberikan pinjaman saja pasti tidak akan diterima olehnya” jelas Rosella.
“Dia meminta waktu 2 tahun lagi kepada ibunya. Setidaknya ia harus lulus kuliah dulu sebelum menikah. Lalu mencari kerja, realistis saja membentuk sebuah keluarga kita tidak hanya butuh cinta tapi juga butuh makan” tambah Gio.
"Makan tuh Cinta...?" ucap Rosella.
"Wow... Sepertinya dari hati" ucapku melirik Gio, menyindir Rosella.
“Sudah malam. Lebih kalian pulang kerumah?” ucap Rosella.
“Kau mengusirku?” tanyaku padanya.
“Iya” ucapnya singkat.
“Gio antar aku pulang”
“Enak saja memangnya aku supirmu”
Aku hanya menyunggingkan bibirku pergi dari ruangan Rosella dan berpamitan kepada para pegawai Rosella yang sedang bergosip sembari menunggu pelanggan.
“Ba Qi, hati-hati dijalan. Lain kali mampirnya bawa oleh-oleh” ucap lola. Pegawai yang paling muda dan rempong dari ibu-ibu rempong, namun sepi jika tidak ada kehadirannya. Aku hanya tersenyum dan mengangguk.
Meski Gio menolak tetapi Gio tetap mengantarku pulang kerumah. Ia tidak tega jika melihat seorang wanita pulang sendiri dimalam hari. Jangankan diriku atau orang tuanya, terkadang seorang pembantu yang biasanya dianggap sebelah mata oleh kebanyakan orang, Gio rela mengantarnya jika itu memang udah malam. Bahkan ia mengantarnya sendiri dengan mobil mewahnya. Jika di pikir-pikir Gio bisa memanggil taxi untuk mengantar sang bibi, tapi Gio berbeda jika ia masih bisa mengantarnya, ia akan lakukan itu sendiri. Bahkan ia pernah mengantar sang bibi pergi kepasar dan ia juga tidak malu melakukan hal itu justru sang bibilah yang merasakan malu. Diantar kepasar menggunakan mobil mewah.
Aku selalu tertawa jika mendengar cerita bibi jika mampir kerumah Gio. Sampai bibi rela menjadi patung manekin Karena takut tidak sengaja menyentuh kiri dan kanan yang ada didalam mobil. Gio tidak pernah mempermasalahkan hal itu bahkan ia tidak peduli jika mendengar gosip alphabet yang ada diluar sana. Hal itu adalah hal yang paling menyenangkan baginya tapi ia tidak pernah sekalipun mengantar orang tuanya bepergian karena mereka berdua sudah memiliki supir pribadi masing-masing.
“Sampai sini saja Gio. Terima kasihnya” ucapku sesampainya didepan kompleks.
“Kau yakin tidak ingin kuantar sampai depan rumahmu” kata Gio.
“Tidak perlu, dari sini kerumahku tidak terlalu jauh. Kau pulanglah”
“Oke, bye”
Aku mengucapkan terima kasih dan melambaikan tangan padanya karena sudah mau mengantarku dengan selamat sampai kedepan kompleks rumahku. Bukan tanpa alasan aku memintanya menurukanku disini. Hanya saja aku masih penasaran dengan otakku ini yang mulai kusut amburadul. Aku ingin mencoba melihatnya untuk ketiga kalinya. Apa aku masih berdebar-debar ataukah hanya biasa saja.
@yurriansan Iya memnag sedihhh... Aku menulis ni diatas rasa sakit hatiku π... Eaaaaa
Comment on chapter 03. HITAM DAN PUTIH